Jumat, 18 Oktober 2019

Kisah Nabi Musa AS dan Fir'aun (1)

Secara umum, ‘hubungan’ Nabi Musa AS dan Fir’aun terbagi dalam dua periode, yakni ketika beliau dilahirkan dan berada dalam pengasuhan Fir’aun dan kedua ketika beliau telah diangkat sebagai Nabi dan mendakwahi ‘mantan’ bapak angkatnya tersebut. Pada kesempatan ini akan dipaparkan bagian pertamanya.
Nabi Musa AS bisa dikatakan sebagai Nabi dari kalangan Bani Israil yang paling besar dan paling banyak umatnya. Nama ‘Israil’ dinisbahkan (disandarkan) kepada Nabi Ya’kub AS, yang sebelumnya tinggal di negeri Kan’aan. Beliau akhirnya pindah ke Mesir atas permintaan salah satu puteranya, Nabi Yusuf AS yang ‘sukses berkarir’ di kerajaan Fir’aun tersebut sebagai salah seorang menteri bidang pangan dan pertanian. Jadi Bani Israil adalah anak keturunan dari putera-putera Nabi Yakub AS yang berjumlah duabelas orang.
Bani Israil berkembang cukup pesat di Mesir sehingga jumlahnya jadi mayoritas kedua setelah bangsa Qibti, penduduk asli Mesir. Tetapi kebanyakan dari mereka tetap menjadi masyarakat kelas dua, menjalani profesi kelas bawah seperti tukang bangunan, kuli, pelayan, pembantu dan pegawai rendahan lainnya. Hanya sedikit saja yang sukses, khususnya dalam hal perdagangan. Tetapi umumnya mereka dianggap sebagai orang-orang yang dapat dipercaya (saat itu) oleh masyarakat Mesir.
Masyarakat Mesir saat itu sangat menghargai dan meninggikan hal-hal yang bersifat ghaib. Sampai sekarang ini mungkin bisa kita temukan ‘jejak-jejaknya’ dari banyaknya misteri yang melingkupi Piramid dan berbagai macam peninggalan Mesir kuno lainnya. Karena itulah, profesi dukun (dukun klenik, bukan dukun pijat atau dukun bayi), ahli sihir, ahli tenung, ahli tafsir mimpi, tukang ramal dan sejenisnya mempunyai kedudukan tinggi di sisi Fir’aun. Masyarakat Mesir asli saat itu memang menyembah berbagai macam dewa-dewa dan yang tertinggi adalah dewa matahari (Dewa Ra). Mereka juga menyembah berhala-berhala, baik dalam bentuk binatang atau bentuk para leluhurnya dan sebagian dari mereka juga ‘menyembah Fir’aun sebagai tuhannya.
Pada tahun ketika Nabi Musa AS akan dilahirkan, para ahli sihir dan ahli tenung kerajaan memberitahukan kepada Fir’aun, bahwa akan dilahirkan seorang anak dari kalangan Bani Israil, yang akan menjadi sebab jatuhnya kedudukan dirinya sebagai penguasa dan ‘tuhan’nya orang-orang Mesir. Tentu informasi tersebut membuat Fir’aun menjadi marah. Berita tersebut walau mengandung kebenaran, tetapi lebih banyak kebohongannya dan hanya akan memancing kemaksiatan dan kedzaliman.
Memang, sebelum kelahiran Nabi SAW dan diutusnya beliau sebagai Rasul dan Rahmatan lil ‘Alamin, jin dan syaitan bebas bergerak naik ke langit dunia untuk ‘mencuri` berita-berita yang dibawa oleh Malaikat. Berita-berita tersebut dicampur-adukkan dengan seratus macam kebohongan dan disampaikan kepada para ahli sihir dan tukang tenung yang ‘menghamba` kepadanya. Tetapi setelah kehadiran Nabi SAW, jin dan syaitan yang berusaha naik ke langit akan dikejar dan dirajam oleh ‘bintang-bintang’ (meteor), yang bisa membuatnya cacat atau terbunuh. Namun, karena hal ini adalah salah satu ‘cara efektif’ untuk bisa menyesatkan manusia, syaitan-syaitan itu tidak pernah berhenti berusaha mencuri berita, demi mensupport ‘informasi’ bagi ahli sihir dan tukang tenung.
Fir’aun dan para punggawanya, termasuk penasehatnya dari para ahli nujum dan ahli sihir, mengadakan rapat kilat untuk membahas masalah itu. Akhirnya mereka mengambil keputusan untuk membunuh semua bayi laki-laki dari kalangan Bani Israil yang dilahirkan pada tahun itu. Dibuatlah ‘undang-undang’ untuk menjadi dasar tindakannya, setelah itu Fir’aun menyebarkan tentaranya ke seluruh pemukiman Bani Israil dan berjaga-jaga disana. Jika ada bayi laki-laki dilahirkan, mereka segera mengambilnya dan membawanya ke hadapan Fir’aun untuk dibunuh. Tidak terkira banyaknya bayi-bayi tidak berdosa yang menjadi korban kebijakan pemerintahan lalim Fir’aun itu.
Ibu Nabi Musa AS, sebagian riwayat menyebutkan namanya adalah Jukabad, sebagian lagi menyebutnya Imrah, dan Al-Qur’an hanya menyebutnya Ummu Musa, saat itu tengah mengandung tua dan berusaha menyembunyikan diri dari pengamatan pasukan Fir’aun. Tidak ada kejelasan tentang suaminya yang bernama Imran, kemungkinan besar saat itu telah meninggal, karena Al-Qur’an hanya menyebutkan keberadaan ibunya. Ketika tiba waktunya melahirkan, Jukabad hanya ditemani oleh puterinya yang bernama Maryam dan ternyata bayi itu adalah laki-laki. Tidak ada kejelasan riwayat, apakah saat itu Jukabad memberi nama bayinya Musa atau nama Musa itu diberikan oleh Fir’aun, karena nama Musa (Moses) artinya adalah ‘yang terhanyut atau terapung tetapi tidak tenggelam.’ Ia makin ketakutan dan hanya berdiam di rumah saja untuk tidak diketahui oleh mata-mata Fir’aun.
Walaupun telah ribuan atau mungkin puluhan ribu bayi laki-laki Bani Israil yang telah dibantai oleh Fir’aun dan bala tentaranya, tetapi para juru tenung dan juru ramal Fir’aun menyatakan bahwa bahaya itu belum hilang. Tentu semua informasi itu berasal dari jin kafir dan syaitan-syaitan yang tidak henti-hentinya mencuri berita dari langit. Fir’aun makin banyak menyebarkan tentara dan mata-matanya untuk menemukan bayi yang dimaksud. Mereka makin efektif menjelajah setiap pelosok Mesir untuk menemukan keluarga Bani Israil yang mengandung dan mempunyai anak bayi laki-laki dan diperintahkan untuk langsung membunuhnya jika ditemukan.
Wa makaruu wa makarallah wallahu khairal maakiriin (Mereka membuat rencana dan Allah juga memiliki rencana dan Allah sebaik-baiknya pembuat rencana). Sekuat dan sehebat apapun Fir’aun dan bala tentaranya berusaha, dia tidak akan bisa merubah rencana Allah. Jika Allah menghendaki terjadinya sesuatu, walau seluruh malaikat, jin dan manusia berkumpul untuk mencegahnya, niscaya tidak akan berhasil menggagalkannya. Begitupun sebaliknya, jika Allah tidak menghendaki terjadinya sesuatu, walau seluruh malaikat, jin dan manusia berkumpul untuk mewujudkannya, niscaya tidak akan berhasil.
Jukabad makin ketakutan dengan tindakan Fir’aun dan bala tentaranya. Ketika Musa berusia tiga bulan dan ia hampir tidak mampu lagi bersembunyi, Allah memberikan wahyu (ilham) kepada Jukabad, sebagaimana disebutkan dalam QS Al-Qashash ayat 7 :
Dan Kami wahyukan (ilhamkan) kepada ibu Musa; “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadinkannya (sebagai salah seorang ) dari para rasul.”
Ketika Allah mengangkat Musa sebagai Nabi dan menceritakan tentang ilham yang diturunkan kepada ibunya, Jukabad. Allah berfirman sebagaimana disitir dalam QS Thaha ayat 39 :
“Letakanlah ia (Musa) di dalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil), maka pasti sungai itu membawanya ke tepi, supaya diambil oleh (Fir’aun) musuh-Ku dan musuhnya. Dan Aku telah melimpahkan kepadamu (wahai Musa), kasih saying yang dating dari-Ku dan supaya kamu diasuh (oleh Fir’aun) dibawah pengawasan-Ku.”
Memperoleh ‘bisikan ghaib’ seperti itu, hati Jukabad menjadi lebih tenang. Ia segera menyusui Nabi Musa AS sepuas-puasnya, kemudian meletakkan Musa dalam sebuah peti kayu yang tidak tembus air dan dihanyutkan di sungai Nil pada malam harinya. Ia memerintahkan Maryam (saudari/kakak Musa) untuk mengikuti kemana aliran air sungai membawa Musa. Ia mengikutinya hingga terang tiba, ternyata peti itu mengarah ke istana Fir’aun dan seolah-olah berlabuh di depannya untuk bisa ditemukan oleh Fir’aun dan bala tentaranya. Ketika peti itu diambil dan dibawa masuk ke dalam istana oleh penjaga-penjaga istana, Maryam segera pulang untuk memberitahukan kepada ibunya. Hati Jukabad sempat khawatir, tetapi kemudian ia hanya tawakal kepada Allah SWT. Ia meyakini Allah akan tetap melindungi puteranya sebagaimana ilham yang diterimanya.
Begitu Fir’aun menerima laporan ditemukannya peti tersebut, ia segera memerintahkan untuk membukanya. Tampaknya seorang bayi lelaki cukup sehat yang sedang menghisap jempolnya. Logika Fir’aun berjalan, tentunya bayi itu dari kalangan Bani Israil, karena takut diketemukan dan dibunuh, maka dibuang ke sungai Nil. Para peramal dan ahli tenung juga mendukung pendapat Fir’aun, maka mereka bersiap membunuhnya seperti biasanya.
Walau keadaannya cukup kritis bagi bayi Musa, tetapi ternyata mudah sekali bagi Allah SWT untuk merubah situasi tersebut. Tiba-tiba isteri Fir’aun melihat bayi Musa dan dimunculkan-Nya rasa kasih saying dalam hatinya, ia berkata kepada suaminya, sebagaimana disitir dalam QS Al-Qashash ayat 9 :
“(Ia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya, mudah-mudahan ia bermanfaat kepada kita atau kita ambil ia menjadi anak.”
Dan mudah pula bagi Allah memercikan sedikit kasih sayang ke hati Fir’aun, sehingga ia menyetujui permintaan isterinya dna mengabaikan nasehat peramal dan juru tenung kerajaan. Bahkan akhirnya Fir’aun tenggelam dalam kegembiraan dengan kehadiran bayi Musa tersebut dan lupa tentang ancaman seseorang dari kalangan Bani Israil yang akan menjadi sebab kejatuhan dirinya dan kerajaannya. Tak jarang ia menggendong sendiri bayi Musa tersebut.
Fir’aun mencari orang-orang yang mau menyusui Musa, puluhan bahkan ratusan wanita melamar pekerjaan tersebut, tetapi Musa sama sekali tidak mau menyusu, bahkan tidak mau melepaskan jempolnya dari mulutnya. Kemudian Maryam mendatangi Fir’aun dan menawarkan diri untuk mencarikan seseorang yang bisa menyusui Musa. Setelah mendapat persetujuan, ia membawa Jukabad datang ke istana dan segera saja Musa mau menyusu kepada ibunya sendiri itu. Benarlah janji Allah, bahwa Dia akan menyelamatkan puteranya dan mengembalikannya lagi kepada dirinya.
Suatu ketika Fir’aun sedang bermain-main dengan si kecil Musa yang telah mulai merangkak, tanpa disangka-sangka Musa menarik jenggotnya dengan kerasnya. Fir’aun sangat marah dan tiba-tiba saja terpikirkan bahwa sangat mungkin bayi ini yang menjadi sebab kejatuhannya. Isterinya berusaha mendinginkan hati Fir’aun dan menyatakan kalua Musa masih kecil dan tidak mengerti apa yang dilakukannya. Fir’aun tidak bisa menerima alasan itu begitu saja, ia berkata, “Aku akan menguji dirinya, benarkah ia belum mengerti? Kalau ia berbuat seperti itu karena pengertiannya, tentu aku akan membunuhnya!”
Fir’aun memerintahkan pembantunya untuk menyediakan sepotong roti dan sebuah bara api. Kemudian Fir’aun membiarkan Musa merangkak menghampiri dua benda tersebut, jika ia mengambil roti, berarti ia punya pengertian dan ketika menarik jenggotnya adalah dengan kesengajaan. Ketika merangkak menghampiri dua benda tersebut, sebenarnya tangan Musa terulur ke arah roti, tetapi Malaikat Jibril memukul tangannya sehingga terpegang bara, yang langsung dimasukkan ke mulutnya sebagaimana umumnya anak kecil. Seketika itu lidah Musa terpanggang sehingga mengkerut, tetapi segera diselamatkan oleh orang-orang di sekitarnya. Karena keadaan lidahnya tersebut, hingga dewasa Nabi Musa AS agak susah dalam berbicara, suara yang keluar cenderung cedal. Itulah sebabnya, ketika Musa diangkat sebagai nabi, ia meminta kepada Allah untuk mengangkat saudaranya, Harun sebagai nabi juga sekaligus juru bicara yang menjelaskan dakwah-dakwahnya.
Melihat keadaan tersebut, amarah Fir’aun jadi mereda, dan ia makin sayang kepada Musa. Ia memelihara dan membesarkannya hingga remaja, sehingga Musa layaknya seorang pembesar dan bangsawan Qibti lainnya. Musa baru berpisah dan melarikan diri dari kerajaan Fir’aun, setelah ia membantu seorang Bani Israil yang terlibat pertengkaran dengan seorang Qibti. Seperti biasanya, orang Qibti itu berbuat sewenang-wenang kepada Bani Israil yang dianggapnya sebagai rakyat kelas dua. Tampaknya bahan kenabian yang tertanam di dalam dirinya tidak bisa membiarkannya berdiam diri, Musa berusaha melerai. Tetapi ketika orang Qibti itu bersikap arogan, ia memukulnya dan seketika itu mati.
Mendengar berita tersebut, Fir’aun mengirimkan pasukannya untuk menangkap dan mengeksekusi pembunuh orang Qibti itu, yakni Musa. Ada seseorang yang memberitahukan rencana Fir’aun kepada Musa, dan ia segera melarikan diri. Ia berjalan meninggalkan Mesir menuju negeri Madyan, dan di sana ia diambil menantu oleh Nabi Syu’aib.

Minggu, 31 Juli 2016

Kisah Taubatnya Hasan Al-Bashri

Imam Hasan Al-Bashri adalah seorang ulama tasauf yang sangat zuhud dari kalangan tabi'in, yang lahir pada tahun 21 Hijriah, dua hari sebelum terbunuhnya khalifah Umar bin Khaththab dan meninggal tahun 110 Hijriah. Ia lahir, tumbuh dan tinggal di Kota Bashrah, sehingga dinisbatkan menjadi namanya Al-Bashri. Tidak kurang dari 370 sahabat, 70 orang diantaranya adalah ahlul Badar, yang menjadi guru dan rujukan Hasan Al-Bashri dalam menuntut ilmu. Termasuk diantaranya adalah Ali bin Abi Thalib, yang digelari Nabi SAW sebagai pintunya ilmu. Namun kisah taubatnya Hasan Al-Bashri termasuk unik dan memilukan.
Sebelumnya, Hasan adalah seorang pemuda tampan yang hidup berkelimpahan harta. Ia selalu memakai pakaian yang indah-indah dan suka berkeliling kota untuk bersenang-senang. Suatu ketika ia melihat seorang wanita yang sangat cantik dan tubuh sangat memikat, Hasan berjalan di belakangnya dan mengikuti langkahnya kemanapun ia pergi. Tiba-tiba wanita itu berpaling kepada Hasan dan berkata, "Tidakkah engkau malu??"
Hasan berkata, "Malu kepada siapa??"
Wanita itu menjawab, "Malu kepada Zat yang Maha Mengetahui apa yang ada di balik pandangan matamu, dan apa yang tersimpan di dalam dadamu!!"
Hasan sempat tertegun dengan perkataan wanita itu, yang rasanya menghujam jauh ke dalam hatinya. Sempat terjadi pergolakan, tetapi kecantikan dan pesona wanita itu seolah membetot sukmanya, terutama dua matanya yang jeli dan memikat. Ia benar-benar jatuh hati dan tidak mampu rasanya untuk berpaling, karena itu ia terus mengikutinya. Ketika tiba di depan rumahnya, lagi-lagi wanita itu berpaling dan berkata, "Mengapa engkau mengikuti hingga ke sini??"
Hasan berkata, "Aku terfitnah (tergoda) dengan keindahan dua matamu!!"
Sesaat terdiam, kemudian wanita itu berkata, "Baiklah kalau begitu, duduklah sebentar, aku akan memenuhi apa yang engkau inginkan!!"
Hati Hasan sangat gembira, dikiranya wanita itu juga jatuh hati kepadanya dan akan bersedia menjadi isterinya. Bagaimanapun juga ia seorang pemuda yang tampan dan kaya, sangat mungkin kalau wanita itu akan menerima cintanya. Tidak lama berselang, muncul pelayan wanita dengan membawa baki tertutup  sebuah sapu tangan, yang langsung menyerahkannya kepada Hasan. Ia membuka sapu tangan itu, dan seketika wajahnya menjadi pucat pasi. Dua bola mata, dengan sedikit percikan darah tergeletak di atas baki itu. Pelayan wanita itu berkata, "Tuan puteri saya berpesan kepada tuan : Aku tidak menginginkan mata yang menyebabkan fitnah bagi orang lain!!"
Tubuh Hasan bergetar hebat penuh ketakutan, dan ia segera berlari pulang. Tubuhnya lunglai seolah tidak memiliki tulang belulang. Sambil memegang jenggotnya, ia berkata kepada dirinya sendiri, "Oh, alangkah hinanya engkau, percuma saja berjenggot, tetapi engkau jauh lebih hina daripada wanita itu!!"
Semalaman itu Hasan hanya menangis penuh penyesalan dan bertaubat kepada Allah. Pagi harinya ia mendatangi rumah wanita itu untuk meminta maaf dan kehalalan dari dirinya. Tetapi rumah wanita itu dalam keadaan tertutup, dan terdengar tangisan dari dalamnya. Salah seorang tetangganya memberitahukan kalau wanita pemilik rumah itu telah meninggal. Hasan makin tenggelam dalam kesedihan dan penyesalan. Tiga hari lamanya ia tidak keluar rumah, waktunya hanya berisi tangis penyesalan atas apa yang telah dilakukannya, dan bertaubat kepada Allah.
Pada hari ketiga, ia bermimpi melihat wanita itu sedang duduk di surga. Hasan menghampirinya dan berkata, "Berilah aku maaf dan kehalalan atas apa yang aku lakukan!!"
Wanita itu berkata, "Aku telah memaafkan dan menghalalkanmu, karena aku telah memperoleh kebaikan yang banyak dari Allah, dengan sebab dirimu!!"
Hasan berkata lagi, "Berilah aku nasehat!!"
Wanita itu berkata, "Ketika engkau dalam kesendirian (kesunyian), berdzikirlah kepada Allah Ta'ala. Ketika engkau berada di pagi dan sore hari, beristighfarlah dan bertaubatlah kepada Allah!!"
Setelah terbangun dari mimpinya itu, hati Hasan menjadi lega. Ia merubah total pola hidupnya selama ini. Semua harta yang dimilikinya di sedekahkan di jalan Allah, ia hidup dalam keadaan zuhud dan selalu dalam keta'atan, memperdalam ilmu dari para sahabat Nabi SAW yang memang banyak yang tinggal di kota Bashrah.

Kamis, 28 Juli 2016

Kesibukan Malaikat Pada Bulan Ramadhan

Surga selalu dihias dan diberi harum-haruman dari tahun ke tahun karena masuknya bulan Ramadhan. Pada malam pertama Rammadhan itu, muncullah angin dari bawah Arsy yang disebut Al-Mutsirah. Karena hembusan Al-Mutsirah ini, daun-daunan dari pepohonan di surga bergoyang dan daun-daun pintunya bergerak, sehingga menimbulkan suatu rangkaian suara yang begitu indahnya. Tidak ada seorang atau makhluk apapun yang pernah mendengar suara seindah suara itu, sehingga hal itu menarik perhatian para bidadari yang bermata jeli. Mereka berdiri di tempat tinggi dan berkata, "Apakah ada orang-orang yang melamar kepada Allah, kemudian Allah akan mengawinkannya dengan kami??"
Tidak ada jawaban atau penjelasan apapun, maka para bidadari itu bertanya kepada malaikat penjaga surga, "Wahai Malaikat Ridwan, malam apakah ini??"
Malaikat berkata, "Wahai para bidadari yang cantik jelita, malam ini adalah malam pertama bulan Ramadhan!!"
Para bidadari itu berdo'a, "Ya Allah, berikanlah kepada kami suami-suami dari hamba-Mu pada bulan ini!!"
Maka tidak ada seorang pun yang berpuasa di bulan Ramadhan (dan diterima puasanya) kecuali Allah akan mengawinkannya dengan para bidadari itu, kelak di dalam kemah-kemah di surga.
Kemudian terdengar seruan Firman Allah, "Wahai Ridwan, bukalah pintu-pintu surga untuk umat Muhammad yang berpuasa pada bulan ini. Wahai Malik (Malaikat penjaga neraka), tutuplah pintu-pintu neraka untuk mereka yang berpuasa bulan ini. Wahai Jibril, turunlah ke bumi, kemudian ikatlah setan-setan yang jahat dengan rantai-rantai dan singkirkan mereka ke dasar lautan yang dalam, sehingga mereka tidak bisa merusak (mengganggu) puasa dari umat kekasih-Ku, Muhammad!!"
Para malaikat itu segera melaksanakan perintah Allah tersebut. Itulah sebabnya di dalam Bulan Ramadhan itu kebanyakan umat Islam sangat mudah untuk berbuat amal kebaikan. Suatu hal yang sangat sulit untuk diamalkan pada bulan-bulan lainnya. Gangguan setan (dari kalangan jin) dan hawa panas neraka untuk sementara ditiadakan, hawa sejuk surga yang penuh rahmat dan kasih sayang Allah melimpah ruah membangkitkan semangat untuk terus beribadah kepada-Nya. Musuh yang harus dihadapi tinggal gangguan setan dalam bentuk manusia dan hawa nafsu, yang mereka itu juga telah dilemahkan dengan adanya kewajiban puasa.
Pada riwayat lain disebutkan, pada malam pertama Bulan Ramadhan itu Allah berfirman, "Barang siapa yang mencintai-Ku maka Aku akan mencintainya, barang siapa yang mencari-Ku maka Aku akan mencarinya, dan barang siapa yang memohon ampunan kepada-Ku maka Aku akan mengampuninya berkat kehormatan Bulan Ramadhan ini (dan puasa yang dijalankannya)!!"
Kemudian Allah memerintahkan malaikat Kiramal Katibin (malaikat-malaikat pencatat amalan manusia) untuk mencatat amal kebaikan dari tiga kelompok orang-orang tersebut dan menggandakannya, serta memerintahkan untuk membiarkan (tidak mencatat) amal keburukannya, bahkan Allah juga menghapus dosa-dosa mereka yang terdahulu.
Pada setiap malam dari Bulan Ramadhan itu, Allah akan berseru tiga kali, "Barang siapa yang memohon, maka Aku akan memenuhi permohonannya. Barang siapa yang kembali (Taa-ibin, taubat) maka Aku akan menerimanya kembali (menerima taubatnya). Barang siapa yang memohon ampunan (maghfirah) atas dosa-dosanya, maka Aku akan mengampuninya.!!"
Pada malam yang ditetapkan Allah sebagai Lailatul Qadr, Allah memerintahkan Jibril dan rombongan besar malaikat turun ke bumi. Jibril turun dengan membawa panji hijau yang kemudian diletakkan di punggung Ka'bah. Ia mempunyai 600 sayap, dua diantaranya tidak pernah dipergunakan kecuali pada Lailatul Qadr, yang bentangan dua sayapnya itu meliputi timur dan barat. Kemudian Jibril memerintahkan para malaikat yang mengikutinya untuk mendatangi umat Nabi Muhammad SAW. Mereka mengucapkan salam pada setiap orang yang sedang beribadah dengan duduk, berdiri dan berbaring, yang sedang shalat dan berdzikir, dan berbagai macam ibadah lainnya pada malam itu. Mereka menjabat tangan dan mengaminkan do'a umat Nabi Muhammad SAW hingga terbit fajar.
Ketika fajar telah muncul di ufuk timur, Jibril berkata, "Wahai para malaikat, kembali, kembali!!"
Para malaikat itu tampaknya enggan untuk beranjak dari kaum muslimin yang sedang beribadah kepada Allah. Ada kekaguman dan keasyikan berada di tengah-tengah umat Nabi Muhammad SAW, yang di antara berbagai kelemahan dan keterbatasannya, berbagai dosa dan kelalaiannya, mereka tetap beribadah mendekatkan diri kepada Allah, tidak pernah berputus asa dari rahmat Allah. Mendengar seruan Jibril untuk kembali, mereka berkata, "Wahai Jibril, apa yang diperbuat Allah untuk memenuhi permintaan (kebutuhan) orang-orang yang mukmin dari umat Nabi Muhammad ini??"
Jibril berkata, "Sesungguhnya Allah melihat kepada mereka dengan pandangan kasih sayang, memaafkan dan mengampuni mereka, kecuali empat macam manusia.!!"
Mereka berkata, "Siapakah empat macam orang itu?"
Jibril berkata, "Orang-orang yang suka minum minuman keras (khamr, alkohol, narkoba, dan sejenisnya), orang-orang yang durhaka kepada orang tuanya, orang-orang yang suka memutuskan hubungan silaturahmi dan kaum musyahin!!"
Para malaikat itu cukup puas dengan penjelasan Jibril dan mereka kembali naik ke langit, ke tempat dan cara ibadahnya masing-masing seperti semula.
Ketika Nabi SAW menceritakan hal ini kepada para sahabat, salah seorang dari mereka berkata, "Wahai Rasulullah, siapakah kaum musyahin itu?"
Nabi SAW bersabda, "Orang yang suka memutuskan persaudaraan, yaitu orang yang tidak mau berbicara (karena perasaan marah, dendam dan sejenisnya) kepada saudaranya lebih dari tiga hari!!"
Malam berakhirnya bulan Ramadhan, yakni saat buka puasa terakhir dan memasuki malam Idul Fitri, Allah menamakannya dengan malam hadiah (Lailatul Jaaizah). Ketika fajar menyingsing, Allah memerintahkan para malaikat untuk turun dan menyebar ke seluruh penjuru negeri-negeri yang di dalamnya ada orang-orang yang berpuasa. Mereka berdiri di jalan-jalan dan berseru, dengan seruan yang didengar oleh seluruh makhluk kecuali jin dan manusia, "Wahai umat Muhammad, keluarlah kamu kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, yang memberikan rahmat begitu banyak dan mengampuni dosa besar!!"
Ketika kaum muslimin keluar menuju tempat-tempat shalat Idul Fitri dilaksanakan, Allah berfirman kepada para malaikat, "Wahai para malaikat-Ku, apakah balasan bagi pekerja jika ia telah menyelesaikan pekerjaannya??"
Mereka berkata, "Wahai Allah, balasannya adalah dibayarkan upah-upahnya!!"
Allah berfirman, "Wahai para malaikat, Aku persaksikan kepada kalian semua, bahwa balasan bagi mereka yang berpuasa di Bulan Ramadhan, dan shalat-shalat malam mereka adalah keridhaan dan ampunan-Ku!!"

Senin, 18 Juli 2016

Karena Mengabaikan Orang Fakir

Ahmad bin Muhammad bin Husin Al-Jariri, atau lebih dikenal dengan nama kunyahnya saja Abu Muhammad Al-Jariri, adalah seorang ulama sufi yang tinggal di Baghdad. Ia hidup se-zaman dengan tokoh sufi lainnya, Junaid Al-Baghdadi, bahkan menjadi sahabatnya. Ketika Junaid wafat, ia menduduki (menggantikan) maqam Junaid, yakni pemimpin atau sesepuh tokoh sufi lainnya pada masa itu.
Ketika masih dalam pencarian (suluk, tarikat, mengaji hakikat dll), ia pernah mengalami suatu peristiwa yang tidak akan pernah terlupakan. Suatu ketika setelah shalat ashar berlalu, seorang pemuda masuk ke mesjid di lokasi pondok (thariqah) Abu Muhammad Al-Jariri belajar. Wajah pemuda itu tampak pucat dan rambut terurai tidak beraturan tanpa memakai tutup kepala (kopiah, serban atau sejenisnya). Ia berwudhu kemudian shalat sunnah dua rakaat, setelah itu ia duduk dengan meletakkan kepalanya di antara (di atas) lututnya dan tangan ditangkupkan. Saat maghrib tiba, ia berjamaah dengan mereka setelah itu duduk lagi seperti sebelumnya.
Tiba-tiba datang utusan Raja yang mengundang mereka untuk jamuan makan di tempat tinggalnya. Hal itu memang secara rutin dilakukan oleh sang Raja. Ketika teman-temannya berlalu untuk memenuhi undangan itu, ia sempat membangunkan sang pemuda dan berkata, "Apakah anda mau ikut bersama kami untuk makan-makan di tempat raja??"
Pemuda itu mengangkat kepalanya dan berkata, "Saya tidak ingin ke istana Raja, tetapi kalau anda tidak keberatan, bawakanlah untukku asidah (suatu nama makanan) yang hangat!!"
Abu Muhammad mengabaikan permintaan pemuda itu. Dalam hati ia berkata, "Diajak baik-baik tidak mau, tetapi malah meminta dibawakan sesuatu!! Mungkin ia baru saja belajar tarikat dan belum mengetahui adab (tata krama, sopan santun) yang lazim berlaku!!"
Ketika malam agak larut, barulah mereka pulang dari istana Raja dalam keadaan kenyang. Ketika memasuki mesjid di pondoknya, Abu Muhammad melihat pemuda itu masih dalam posisi yang sama ketika ditinggalkannya, mungkin tertidur. Abu Muhammad duduk di sajadahnya, tetapi belum ia berdzikir, rasa kantuk menguasai dirinya dan ia jatuh tertidur.
Dalam tidurnya itu Abu Muhammad bermimpi, ia melihat suatu rombongan besar berlalu di hadapannya. Tiba-tiba ada seruan, "Itu adalah rombongan Rasulullah SAW beserta para Nabi dan Rasul!!"
Mendengar seruan itu, ia segera berlari ke arah depan rombongan dan menemui Rasulullah SAW. Ia mengucap salam, tetapi Nabi SAW berpaling dari dirinya tanpa menjawab salamnya. Beberapa kali ia mengulang salamnya tetapi masih saja beliau berpaling. Abu Muhammad jadi gemetar ketakutan, dengan tergagap ia berkata, "Wahai Rasulullah, apakah dosa saya sehingga engkau berpaling dari saya??"
Nabi SAW menatapnya dengan tajam dan berkata, "Seorang yang fakir dari umatku ingin sesuatu darimu, lalu engkau mengabaikannya!!"
Abu Muhammad tersentak kaget dan terbangun dari tidurny. Segera saja ia teringat kepada pemuda yang meminta dibawakan asidah itu. Ia segera ke tempat pemuda itu, tetapi ternyata tidak ada siapapun di sana. Ia mendengar suara pintu dibuka, yang ternyata adalah pemuda itu yang hendak keluar mesjid. Ia segera mendekatinya dan berkata, "Wahai pemuda, sabarlah barang sejenak. Aku akan segera menyiapkan untukmu, apa yang engkau inginkan!!"
Pemuda itu menoleh kepadanya dan berkata, "Jika seorang fakir menyampaikan keinginannya kepadamu, engkau tidak mau memenuhinya, kecuali setelah dimintakan oleh Nabi SAW dan seratus duapuluh empat ribu nabi-nabi lainnya. Kini aku tidak menghajatkan apa-apa lagi darimu!!"
Pemuda itu melangkah keluar, meninggalkannya dalam keadaan terpana dengan kaki terpaku di tanah. Setelah peristiwa itu, Abu Muhammad tidak pernah mengabaikan orang lain, sesepele dan sefakir apapun keadaannya, karena takut ia akan diabaikan oleh Rasulullah SAW di yaumul makhsyar kelak.

Kamis, 23 Juni 2016

Takut Yang menyelamatkan

Ada seorang lelaki di masa lalu (masa sebelum Nabi SAW), ia diberi kelimpahan harta dan anak-anak. Tetapi ia sama sekali tidak pernah berbuat kebaikan walau tidak sampai kehilangan keimanannya kepada Allah. Ketika kematian hampir menjemputnya, ia baru menyadari betapa buruknya apa yang telah dilakukannya selama ini. Hampir tidak ada sedikitpun bekal kebaikan yang dimilikinya untuk memasuki alam barzah (kubur) dan alam akhirat.
Didorong oleh rasa kekhawatirannya menghadap Allah tanpa sedikitpun amal kebaikan, ia memanggil anak-anaknya dan berkata, "Wahai anak-anakku, ayah macam apakah aku ini bagi kalian??"
Mereka berkata, "Sebaik-baiknya ayah bagi kami!!"
Ia berkata, "Sesungguhnya aku in tidak sedikitpun menyimpan atau menanam kebaikan di sisi Allah. Kalau Allah menghendaki, pastilah Dia akan menimpakan suatu siksaan kepadaku, dengan siksaan yang tidak akan pernah ditimpakan kepada orang lain.."
Sesaat lelaki itu terdiam, kemudian melanjutkan, "Aku ingin mengikat perjanjian dengan kalian, kalau aku telah meninggal, hendaklah kalian melaksanakan wasiatku, bagaimanapun juga keadaannya!!"
Kemudian ia menjabat tangan anak-anaknya satu persatu dan meminta dengan tegas untuk melaksanakan pesan (wasiat)-nya.
Ia berkata lagi, sebagai wasiat terakhir yang harus dilaksanakan anak-anaknya, "Perhatikanlah wasiatku ini, apabila aku telah mati, kumpulkanlah kayu bakar yang banyak dan bakarlah jenazahku. Dan jika telah tinggal tulang-tulangnya, ambillah dan tumbuklah sampai halus seperti debu, dan tebarkanlah di atas sungai pada hari yang sangan panas dan berangin!!"
Pada beberapa riwayat lainnya, "...tebarkanlah pada hari yang berangin di lautan!!"
Wasiat yang sungguh 'mengerikan', dan tidak pantas untuk dilakukan, tetapi  karena mereka telah diikat dengan kuat oleh ayahnya dengan suatu perjanjian, maka mereka melaksanakan wasiat tersebut dengan sebaik-baiknya.
Maka Allah memerintahkan bumi untuk mengumpulkan debu dari jenazah lelaki itu, dan dengan kalimat 'kun' Dia menghidupkan dan mendatangkan lelaki itu di hadirat-Nya, dan berfirman, "Wahai hamba-Ku, apakah yang mendorongmu berbuat seperti itu?"
Lelaki itu berkata, "Wahai Tuhanku, aku melakukan semua itu karena aku takut kepada-Mu, takut Engkau akan memisahkanku dari-Mu!!"
Dengan jawaban seperti itu, Allah melimpahkan rahmat kepadanya dan mengampuni semua dosa dan kesalahan yang telah dilakukannya.
Tentu saja 'konsep' penebusan diri, atau penistaan diri sendiri seperti itu sebagai 'kaffarat' atas dosa dan berbagai amal kejelekan yang dilakukan seseorang, tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW. Allah telah membukakan pintu taubat dan ampunan seluas-luasnya bagi kita, umat Rasulullah SAW. Bahkan seandainya telah meninggal dunia belum juga bertaubat, masih ada 'kemungkinan' dosa-dosa itu diampuni, asalkan bukan dosa syirik. Inilah salah satu bentuk kemurahan dan kasih sayang Allah kepada Nabi SAW, yang berimbas kepada kita umat beliau.
Tentu saja idealnya, kita harus segera bertaubat jika melakukan suatu dosa atau kesalahan, dan jangan pernah berputus asa dari rahmat Allah, walau mungkin kita masih akan terjatuh juga pada dosa yang sama. Allah tidak akan pernah 'bosan' menerima taubat seorang hamba, kecuali jika hamba itu sendiri yang 'bosan' bertaubat dan putus asa dari rahmat Allah. Dan rasa takut kepada Allah, baik karena dosa-dosa yang dilakukannya, atau karena mengetahui dan melihat keagungan Allah, atau kegentaran menghadapi yaumul hisab, akan sangat mungkin mengundang kasih sayang dan maghfirah Allah, sebagaimana kisah di atas.
Wallahu 'Alam.

Jumat, 17 Juni 2016

Mengharap Keuntungan Yang Lebih Besar

Seorang ulama dan guru yang saleh, mengisi sebagian waktunya dengan bekerja sebagai pedagang. Suatu ketika ia memberi madu seharga 30.000 dirham untuk mengisi persediaan barang dagangannya yang telah menipis.
Keesokan harinya ternyata harga madu meningkat drastis hingga dua kali lipatnya. Sang penjual jadi menyesal telah melepaskan (menjual) pada hari sebelumnya itu. Tetapi penyesalan selalu datang terlambat, mena mungkin untuk membatalkan sedangkan uangnya telah ia terima, dan barang-barangnya telah dibawa oleh sang pembeli, guru yang saleh itu. Sedih dan penyesalan itu begitu menggelayuti pikirannya, sehingga mengundang perhatian teman-temannya.
Setelah mengetahui permasalahannya, salah seorang temannya yang sangat mengenal akhlak guru yang saleh, sang pembeli madu itu, berkata, "Besok pagi, datanglah shalat subuh bersama guru yang saleh, pembeli madumu itu, dengan membawa uang 30.000 dirham. Setelah beliau selesai shalat dan berdo'a, mendekatlah dan berkata : Saya menyesal telah menjual maduku itu pada tuan!! Itu saja, jangan ditambah dan dikurangi, insyaallah engkau tidak akan mengalami kerugian sedikitpun!!"
Ia menuruti saran temannya. Usai shalat dan berdo'a, ia segera menghadap pada sang guru dan berkata, "Wahai Tuan Guru, saya menyesal telah menjual maduku itu pada tuan!!"
Guru yang saleh itu memandangnya sesaat dan berkata kepada pembantu/pegawainya, "Bangunlah, dan kembalikan madu yang kita beli itu kepada orang ini!!"
Sang penjual sangat gembira dan mengembalikan uang 30.000 dirham yang telah diterimanya itu. Salah seorang jamaah yang hadir ada yang berkata, "Wahai Tuan Guru, sejak kemarin harga madu telah meningkat dua kali lipatnya, mengapa hanya dikembalikan begitu saja??"
Sang Guru berkata, "Mengapa tidak?? Sungguh aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda : Barang siapa mau membatalkan pembeliannya kepada orang yang menyesal dalam penjualannya, maka Allah akan memaafkan dosa-dosanya pada hari kiamat kelak. Tidakkah sepantasnya aku membeli maafnya Allah atas dosa-dosaku dengan (calon keuntunganku) 30.000 dirham, sedang tidak sedikitpun aku dirugikan??"

Rabu, 15 Juni 2016

Ketakutan Seorang Anak Kecil

Ada seorang syaikh sedang berjalan-jalan di tepian sebuah sungai, ia melihat seorang anak kecil yang belum mencapai usia baligh, sedang berwudhu sambil menangis. Hal itu menarik perhatiannya, maka ia bertanya, "Wahai anak kecil, apa yang membuatmu menangis??"
Anak itu berkata, "Wahai Tuan, aku sedang membaca Al-Qur'an, hingga sampai pada firman Allah (yakni Surah At-Tahrim ayat 6, yang artinya) :
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Para penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka, dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya (kepada mereka). Wahai Tuan, setelah membaca ayat ini, aku sangat ketakutan kalau-kalau Allah akan memasukkan aku ke dalam neraka!!"
Sang syaikh tersenyum bijak, dan berkata, "Wahai anak kecil, engkau seorang anak yang terjaga, maka janganlah kamu takut, engkau tidak patut masuk neraka!!"
Tentu saja jawabannya itu didasari kenyataan yang dilihatnya, bahwa anak sekecil itu sedang berwudhu, membaca Al-Qur'an, bahkan bisa menangis ketika menangkap makna ayat-ayat Al-Qur'an.
Tetapi mendengar jawaban sang syaikh, anak itu memandang dengan keheranan, dan berkata, "Wahai Tuan, bukankan engkau orang yang berakal sehat? Tidakkah engkau tahu, ketika manusia akan menyalakan api, ia akan membutuhkan kayu-kayu yang lebih kecil terlebih dahulu, baru kemudian kayu-kayu yang lebih besar!!"
Jawaban dari logika anak kecil, yang mungkin belum banyak memperoleh pengajaran tentang ilmu-ilmu keislaman. Tetapi hal itu sangat menyentuh sang syaikh, ia menangis lebih keras daripada tangisan anak kecil itu, dan berkata, "Anak sekecil ini lebih takut kepada neraka, bagaimana dengan keadaan kami??"