Suatu pagi, seorang laki-laki pergi hendak berburu mencari rezeki yang halal. Namun sampai hampir malam, ia belum mendapatkan satupun binatang buruan. Ia lalu berdo'a sepenuh hati, "Ya Allah, anak-anakku menunggu kelaparan di rumah, berilah aku seekor binatang buruan."
Tidak lama setelah do'anya selesai ia panjatkan, Allah memberikannya rezeki, jala yang dibawa pemburu itu mengenai seekor ikan yang sangat besar. Ia pun bersyukur kepada Allah dan pulang ke rumah dengan penuh bahagia.
Di tengah perjalanan pulang, ia bertemu dengan kelompok raja yang hendak berburu juga. Raja heran dan takjub luar biasa begitu melihat ikan sebegitu besar yang dibawa pemburu itu. Lalu, ia menyuruh pengawal untuk mengambil ikan itu secara paksa dari tangan sang pemburu.
Dibawanya ikan itu pulang dengan bahagia. Ketika sampai di istana, ia keluarkan ikan itu dan bolak-balik sambil tertawa ria, tiba-tiba ikan itu menggigit jarinya dan mengakibatkan badannya jadi panas dingin, sehingga malam itu Raja tidak dapat tidur.
Dihadirkanlah seluruh dokter untuk mengobati sakitnya. Semua dokter menyarankan agar jarinya itu dipotong untuk menhindari tersebarnya racun ke anggota badan lainnya. Raja pun menyetujui nasehat mereka. Namun, setelah jarinya dipotong, ia tetap tidak dapat istirahat karena ternyata racun itu telah menyebar ke bagian tubuh lainnya.
Seluruh dokter akhirnya menyarankan agar tangan Raja sampai siku dipotong, Raja pun menyetujuinya. Setelah lengannya dipotong, sakit jasmaninya kini telah hilang, tetapi diri dan jiwanya tetap belum tenang. Semua dokter akhirnya menyarankan, agar Raja dibawa ke seorang dokter jiwa (ahli hikmah).
Dibawlah sang Raja menemui seorang dokter jiwa dan diceritakan seluruh kejadian seputar ikan yang ia rebut dari pemburu itu.
Mendengar itu, ahli hikmah berkata, "Jiwa Tuan tetap tidak akan tenang selamanya sampai pemburu itu memaafkan dosa dan kesalahan yang telah Tuan perbuat."
Dicarinya pemburu itu dan setelah didapatkan, Raja menceritakan kejadian yang dialaminya dan ia memohon agar si pemburu itu memaafkan semua kesalahannya. Si pemburu pun memaafkannya dan keduanya saling berjabat tangan.
Sang Raja penasaran ingin mengetahui apa yang dikatakan si Pemburu ketika Raja mengambil paksa ikannya, Ia bertanya, "Wahai pemburu, apa yang kau katakan ketika prajuritku merampas ikanmu itu?"
Pemburu itu menjawab, "Tidak ada kecuali aku hanya mengatakan, Ya Allah, sesungguhnya dia telah menampakkan kekuatannya kepadaku, perlihatkanlah kekuatan-Mu kepadanya."
Sungguh, do'a orang teraniaya sangat mustajab, maka berhati-hatilah dalam bertindak.
Jika ada yang mengancammu dengan kebinasaan, jawablah ancamannya dengan nasihat dan do'a.
(Ja'far Ash-Shadiq)
Sabtu, 20 Juni 2015
Jumat, 19 Juni 2015
Jamu Prabayar
Suatu malam, seorang penjual jamu yang telah lima tahun menjanda karena ditinggal mati suaminya didatangi oleh anak perempuannya yang sulung. Anak ini menyampaikan bahwa besok adalah hari terakhir pembayaran uang bangunan dan SPP.
Jika sampai besok tunggakan uang bangunan dan sekolah tidak dilunasi, dia akan dikeluarkan dari sekolah. Ibu penjual jamu ini terkejut mendengarnya. Sesaat, seolah dunia menjadi gelap. Dia kebingungan dan tak tahu harus berbuat apa. Ketika keterkejutan mulai mereda, dia diempaskan lagi oleh gelombang kekagetan berikutnya ketika si anak menyebutkan sejumlah angka sebagai total tunggakannya.
Nafas sang Ibu segera saja menderu, keringat dingin mulai meleleh di keningnya, tangannya gemetar, dan suaranya jadi lirih terputus-putus. Yang dapat ia ucapkan hanya mengulang nilai uang yang sudah disebutkan anaknya.
Tanpa bisa memberikan janji muluk-muluk kepada anaknya, wanita penjual jamu itu beranjak ke tempat tidur untuk beristirahat sejenak. Akan tetapi, alih-alih dapat tidur dengan nyenyak, semakin dia mencoba memejamkan mata, semakin gelisah pula dia dibuatnya.
Ketika matanya rapat menutup, silih berganti bayangan yang menakutkan dan lintasan kejadian pada masa depan yang suram tergambar di benaknya bak sebuah film horor yang terus-menerus menghantui.
Dia pun berusaha menenangkan diri dan membetulkan posisi tubuhnya dan berkali-kali dia menarik nafas dalam dan menghembuskannya panjang-panjang. Sedikit demi sedikit otaknya mulai dapat diajak berpikir.
Malangnya, setiap kali otaknya mengalkulasi, setiap kali itu pula dia merasa kepalanya dibenturkan ke sebuah dinding baja. Dengan segala macam tunggakan, utang di warung sebelah, bahan baku jamu yang belum terbayar semuanya, ketercukupan kebutuhan pangan hanya untuk sehari saja, dan beban harus membayar anaknya seolah melengkapi seluruh penderitaanya.
Hampir semalaman, dia tak dapat memicingkan matanya, kasur yang tipis terasa semakin tipis. Kamar yang pengan kini terasa semakin membekap. Memang, dunia tak pernah memberikan ampun kepada mereka-mereka yang kalah.
Sepertiga malam yang penghujung pun terlalui. Rasa letih pun pada akhirnya mengalahkan semuanya. Setelah gelombang kekalutannya beranjak surut, akhirnya dia sampai pada sebuah kesadaran bahwa kepasrahan adalah satu-satunya jalan untuk meringankan beban perasaan.
Apa sih, yang bisa dilakukan seorang wanita lemah semacam dirinya. Dia tidak punya apa-apa selain keinginan untuk keluar dari permasalahan tersebut. Dia pun sadar, hanya Allah lah satu-satunya yang dapat menolong. Ketika jalan sudah buntu, ke kiri jurang ke kanan jurang, tidak ada lagi yang bisa dimintai pertolongan selain Dzat yang mengatur segalanya.
Pada saat tetesan air mata yang jatuh dari pelupuk matanya, dia bergumam lirih, "Duh Gusti, hamba minta tolong dari segala kesulitan ini. Tidak ada yang bisa menjadi tempat bergantung selain pada-Mu."
Dibelainya kepala sang anak yang tertidur di sampingya perlahan. Damai terasa menyergap bersama dinginnya malam yang gelap. Dalam lelah, sang Ibu tertidur setengah bertelekan di tepian ranjang kayu. Tidur yang teramat singkat, tiga puluh menit saja mungkin lamanya.
Ketika adzan shubuh dari mushala sebelah berkumandang, sang Ibu merasa lebih segar. Pukul enam pagi, dia sudah berkemas dan siap memulai berjualan dengan berjalan kaki. Telombong segera dipondong, botol-botol yang semula kosong kini telah kembali tampil kinclong.
Dia telah membulatkan tekad untuk menawarkan sebuah opsi kepada seorang pelanggan setianya. Dia akan mengajukan sebuah proposal, suplai jamu terusan dengan setengah pembayaran di muka, tentu saja untuk membayar uang sekolah anaknya.
Singkat kata, dengan tutur kata yang halus, disampaikanlah maksudnya. Sayang, rencana manusia terkadang berjalan tak seirama dengan orkestrasi semula. Maksudnya itu dipahami, tetapi sang pelanggan tidak dapat membantunya. Lunglailah badan si Ibu penjual jamu itu.
Tak bersemangat lagi dia untuk menghadapi hari itu yang baginya terasa semakin mirip dengan neraka dunia. Rasa putus asa itu memang menghancurkan. Dia mengubah warna dari semula bak bianglala menjadi hegemoni tunggal hitam belaka.
Namun dengan sisa tenaga yang ada, dia terus mencoba, dan akhirnya pada rumah kelima, proposalnya diterima. Tepat pukul dua, dia sudah duduk di depan meja petugas tata usaha sekolah anaknya. Enam lembar uang lima puluh ribuan pun berpindah tangan dan segera bertukar dengan selembar kertas kuitansi. Selembar kertas kumal yang baginya tampak seindah pulau Bali.
Barang siapa hatinya dihadirkan oleh Allah kala berdo'a, niscaya do'a itu tidak akan ditolak.
(Yahya bin Muadz Ar-Razi)
Jika sampai besok tunggakan uang bangunan dan sekolah tidak dilunasi, dia akan dikeluarkan dari sekolah. Ibu penjual jamu ini terkejut mendengarnya. Sesaat, seolah dunia menjadi gelap. Dia kebingungan dan tak tahu harus berbuat apa. Ketika keterkejutan mulai mereda, dia diempaskan lagi oleh gelombang kekagetan berikutnya ketika si anak menyebutkan sejumlah angka sebagai total tunggakannya.
Nafas sang Ibu segera saja menderu, keringat dingin mulai meleleh di keningnya, tangannya gemetar, dan suaranya jadi lirih terputus-putus. Yang dapat ia ucapkan hanya mengulang nilai uang yang sudah disebutkan anaknya.
Tanpa bisa memberikan janji muluk-muluk kepada anaknya, wanita penjual jamu itu beranjak ke tempat tidur untuk beristirahat sejenak. Akan tetapi, alih-alih dapat tidur dengan nyenyak, semakin dia mencoba memejamkan mata, semakin gelisah pula dia dibuatnya.
Ketika matanya rapat menutup, silih berganti bayangan yang menakutkan dan lintasan kejadian pada masa depan yang suram tergambar di benaknya bak sebuah film horor yang terus-menerus menghantui.
Dia pun berusaha menenangkan diri dan membetulkan posisi tubuhnya dan berkali-kali dia menarik nafas dalam dan menghembuskannya panjang-panjang. Sedikit demi sedikit otaknya mulai dapat diajak berpikir.
Malangnya, setiap kali otaknya mengalkulasi, setiap kali itu pula dia merasa kepalanya dibenturkan ke sebuah dinding baja. Dengan segala macam tunggakan, utang di warung sebelah, bahan baku jamu yang belum terbayar semuanya, ketercukupan kebutuhan pangan hanya untuk sehari saja, dan beban harus membayar anaknya seolah melengkapi seluruh penderitaanya.
Hampir semalaman, dia tak dapat memicingkan matanya, kasur yang tipis terasa semakin tipis. Kamar yang pengan kini terasa semakin membekap. Memang, dunia tak pernah memberikan ampun kepada mereka-mereka yang kalah.
Sepertiga malam yang penghujung pun terlalui. Rasa letih pun pada akhirnya mengalahkan semuanya. Setelah gelombang kekalutannya beranjak surut, akhirnya dia sampai pada sebuah kesadaran bahwa kepasrahan adalah satu-satunya jalan untuk meringankan beban perasaan.
Apa sih, yang bisa dilakukan seorang wanita lemah semacam dirinya. Dia tidak punya apa-apa selain keinginan untuk keluar dari permasalahan tersebut. Dia pun sadar, hanya Allah lah satu-satunya yang dapat menolong. Ketika jalan sudah buntu, ke kiri jurang ke kanan jurang, tidak ada lagi yang bisa dimintai pertolongan selain Dzat yang mengatur segalanya.
Pada saat tetesan air mata yang jatuh dari pelupuk matanya, dia bergumam lirih, "Duh Gusti, hamba minta tolong dari segala kesulitan ini. Tidak ada yang bisa menjadi tempat bergantung selain pada-Mu."
Dibelainya kepala sang anak yang tertidur di sampingya perlahan. Damai terasa menyergap bersama dinginnya malam yang gelap. Dalam lelah, sang Ibu tertidur setengah bertelekan di tepian ranjang kayu. Tidur yang teramat singkat, tiga puluh menit saja mungkin lamanya.
Ketika adzan shubuh dari mushala sebelah berkumandang, sang Ibu merasa lebih segar. Pukul enam pagi, dia sudah berkemas dan siap memulai berjualan dengan berjalan kaki. Telombong segera dipondong, botol-botol yang semula kosong kini telah kembali tampil kinclong.
Dia telah membulatkan tekad untuk menawarkan sebuah opsi kepada seorang pelanggan setianya. Dia akan mengajukan sebuah proposal, suplai jamu terusan dengan setengah pembayaran di muka, tentu saja untuk membayar uang sekolah anaknya.
Singkat kata, dengan tutur kata yang halus, disampaikanlah maksudnya. Sayang, rencana manusia terkadang berjalan tak seirama dengan orkestrasi semula. Maksudnya itu dipahami, tetapi sang pelanggan tidak dapat membantunya. Lunglailah badan si Ibu penjual jamu itu.
Tak bersemangat lagi dia untuk menghadapi hari itu yang baginya terasa semakin mirip dengan neraka dunia. Rasa putus asa itu memang menghancurkan. Dia mengubah warna dari semula bak bianglala menjadi hegemoni tunggal hitam belaka.
Namun dengan sisa tenaga yang ada, dia terus mencoba, dan akhirnya pada rumah kelima, proposalnya diterima. Tepat pukul dua, dia sudah duduk di depan meja petugas tata usaha sekolah anaknya. Enam lembar uang lima puluh ribuan pun berpindah tangan dan segera bertukar dengan selembar kertas kuitansi. Selembar kertas kumal yang baginya tampak seindah pulau Bali.
Barang siapa hatinya dihadirkan oleh Allah kala berdo'a, niscaya do'a itu tidak akan ditolak.
(Yahya bin Muadz Ar-Razi)
Pelajaran Dari Ibrahim
Nabi Ibrahim Khalilullah pernah memanjatkan do'a di tempat penggembalaan ternaknya di sebuah bukit di Baitul Maqdis. Lalu, beliau bertemu dengan seorang laki-laki ahli ibadah. Kemudian, terjadilah dialog diantara keduanya.
Ibrahim bertanya, "Hari apakah yang paling mulia?"
Ahli ibadah itu menjawab, "Hari pembalasan, ketika manusia dibalas, antara yang satu dan sebagian yang lain."
"Apakah engkau bisa mengangkat tanganmu untuk berdo'a, sedangkan aku sendiri juga mengangkat tangan mengaminkan do'amu agar kita dihindarkan dari kesengsaraan hari itu?" Ungkap Ibrahim.
"Janganlah engkau mengaharapkan do'aku. Demi Allah, aku pernah berdo'a sejak tiga puluh tahun silam, tetapi sampai sekarang do'aku belum dikabulkan, "Jawabnya.
"Apakah engkau mau kuberitahu tentang sesuatu yang mengekang do'amu?"
Ahli ibadah itu menjawab, "Ya".
"Sesungguhnya jika Allah mencintai seorang hamba, niscaya Dia akan menahan do'anya agar dia selalu bermunajat, mengiba, dan memohon kepada-Nya. Sementara, jika Dia marah kepada seorang hamba, niscaya Dia akan cepat mengabulkan do'anya atau menghujamkan keputusasaan di dalam hatinya."
Jika do'a seorang hamba selalu dikabulkan setiap kali dia meminta, ketahuilah dia bukanlah hamba lagi. Dia diperintahkan berdo'a karena dia seorang hamba dan Allah melakukan apa saja yang Dia kehendaki.
(Al-Syaikh Al-Baha'i)
Ibrahim bertanya, "Hari apakah yang paling mulia?"
Ahli ibadah itu menjawab, "Hari pembalasan, ketika manusia dibalas, antara yang satu dan sebagian yang lain."
"Apakah engkau bisa mengangkat tanganmu untuk berdo'a, sedangkan aku sendiri juga mengangkat tangan mengaminkan do'amu agar kita dihindarkan dari kesengsaraan hari itu?" Ungkap Ibrahim.
"Janganlah engkau mengaharapkan do'aku. Demi Allah, aku pernah berdo'a sejak tiga puluh tahun silam, tetapi sampai sekarang do'aku belum dikabulkan, "Jawabnya.
"Apakah engkau mau kuberitahu tentang sesuatu yang mengekang do'amu?"
Ahli ibadah itu menjawab, "Ya".
"Sesungguhnya jika Allah mencintai seorang hamba, niscaya Dia akan menahan do'anya agar dia selalu bermunajat, mengiba, dan memohon kepada-Nya. Sementara, jika Dia marah kepada seorang hamba, niscaya Dia akan cepat mengabulkan do'anya atau menghujamkan keputusasaan di dalam hatinya."
Jika do'a seorang hamba selalu dikabulkan setiap kali dia meminta, ketahuilah dia bukanlah hamba lagi. Dia diperintahkan berdo'a karena dia seorang hamba dan Allah melakukan apa saja yang Dia kehendaki.
(Al-Syaikh Al-Baha'i)
Sabtu, 06 Juni 2015
Merindukan Mati Syahid
Menjelang Shubuh, Khalifah Umar bin Al-Khathab berkeliling kota membangunkankaum muslimin untuk shalat shubuh. ketika waktu shalat tiba, beliau sendiri yang mengatur saf (barisan) dan mengimami para jamaah.
Pada shubuh itu, tragedi besar dalam sejarah terjadi. Saat Khalifah mengucapkan takbiratul ihram, tiba-tiba seorang lelaki bernama Abu Lu'luah menikamkan sebilah pisau ke bahu, pinggang, dan ke bawah pusar beliau. Darah pun menyembur.
Namun, Khalifah yang berjuluk "Singa Padang Pasir" ini bergeming dari kekhusyukannya memimpin shalat. Padahal, waktu shalat masih bisa ditangguhkan beberapa saat sebelum terbitnya matahari. Sekuat apapun Umar, akhirnya ambruk juga. Walau demikian beliau masih sempat memerintahkan Abdurrahman bin 'Auf untuk menggantikan posisinya sebagai imam.
Beberapa saat setelah ditikam, kesadaran dan ketidaksadaran silih berganti mendatangi Khalifah Umar. Para sahabat yang mengelilinginya demikian cemas akan keselamatan Khalifah.
Salah seorang di antara mereka berkata, "Kalau beliau masih hidup, tidak ada yang bisa menyadarkannya selain kata-kata shalat!"
Lalu yang hadir serentak berkata, "Shalat, wahai Amirul Mukminin. Shalat telah hampir dilaksanakan."
Beliau langsung tersadar, "Shalat? Kalau demikian di sanalah Allah. Tiada keberuntungan dalam Islam bagi yang meninggalkan shalat." Lalu, beliau melaksanakan shalat dengan darah bercucuran. Tak lama kemudian, sahabat terbaik Rasulullah SAW ini pun wafat.
Sebenarnya, apa yang terjadi pada Umar Al-Faruq ini adalah buah dari do'a yang beliau panjatkan kepada Allah SWT. Alkisah, suatu ketika, saat sedang wukuf di Arafah, beliau membaca do'a, "Ya Allah, aku mohon mati syahid di jalan-Mu dan wafat di negeri Rasul-Mu (Madinah)." (HR Malik)
Sepulangnya dari menunaikan ibadah haji, Umar pun menceritakan soal do'anya itu kepada salah seorang sahabatnya di Madinah. Sahabat itu pun berkomentar, "Wahai Khalifah, jika engkau berharap mati syahid, tidak mungkin disini. Pergilah keluar untuk berjihad, niscaya engkau bakal menemuinya."
Dengan ringan, Umar menjawab, "Aku telah mengajukannya kepada Allah, terserah Allah."
Keesokan harinya, saat Umar mengimami shalat shubuh di masjid, seorang pengkhianat Majusi bernama Abu Lu'luah itu menghunuskan pisaunya ke tubuh Umar yang menyebabkan beliau mendapat tiga tusukan dalam dan tubuhnya pun roboh di samping mihrab.
Seperti itulah, Allah telah mengabulkan do'a Umar bin Al-Khathab untuk bisa syahid di Madinah dan dimakamkan berdampingan dengan Rasulullah SAW dan Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Pada shubuh itu, tragedi besar dalam sejarah terjadi. Saat Khalifah mengucapkan takbiratul ihram, tiba-tiba seorang lelaki bernama Abu Lu'luah menikamkan sebilah pisau ke bahu, pinggang, dan ke bawah pusar beliau. Darah pun menyembur.
Namun, Khalifah yang berjuluk "Singa Padang Pasir" ini bergeming dari kekhusyukannya memimpin shalat. Padahal, waktu shalat masih bisa ditangguhkan beberapa saat sebelum terbitnya matahari. Sekuat apapun Umar, akhirnya ambruk juga. Walau demikian beliau masih sempat memerintahkan Abdurrahman bin 'Auf untuk menggantikan posisinya sebagai imam.
Beberapa saat setelah ditikam, kesadaran dan ketidaksadaran silih berganti mendatangi Khalifah Umar. Para sahabat yang mengelilinginya demikian cemas akan keselamatan Khalifah.
Salah seorang di antara mereka berkata, "Kalau beliau masih hidup, tidak ada yang bisa menyadarkannya selain kata-kata shalat!"
Lalu yang hadir serentak berkata, "Shalat, wahai Amirul Mukminin. Shalat telah hampir dilaksanakan."
Beliau langsung tersadar, "Shalat? Kalau demikian di sanalah Allah. Tiada keberuntungan dalam Islam bagi yang meninggalkan shalat." Lalu, beliau melaksanakan shalat dengan darah bercucuran. Tak lama kemudian, sahabat terbaik Rasulullah SAW ini pun wafat.
Sebenarnya, apa yang terjadi pada Umar Al-Faruq ini adalah buah dari do'a yang beliau panjatkan kepada Allah SWT. Alkisah, suatu ketika, saat sedang wukuf di Arafah, beliau membaca do'a, "Ya Allah, aku mohon mati syahid di jalan-Mu dan wafat di negeri Rasul-Mu (Madinah)." (HR Malik)
Sepulangnya dari menunaikan ibadah haji, Umar pun menceritakan soal do'anya itu kepada salah seorang sahabatnya di Madinah. Sahabat itu pun berkomentar, "Wahai Khalifah, jika engkau berharap mati syahid, tidak mungkin disini. Pergilah keluar untuk berjihad, niscaya engkau bakal menemuinya."
Dengan ringan, Umar menjawab, "Aku telah mengajukannya kepada Allah, terserah Allah."
Keesokan harinya, saat Umar mengimami shalat shubuh di masjid, seorang pengkhianat Majusi bernama Abu Lu'luah itu menghunuskan pisaunya ke tubuh Umar yang menyebabkan beliau mendapat tiga tusukan dalam dan tubuhnya pun roboh di samping mihrab.
Seperti itulah, Allah telah mengabulkan do'a Umar bin Al-Khathab untuk bisa syahid di Madinah dan dimakamkan berdampingan dengan Rasulullah SAW dan Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Kamis, 04 Juni 2015
Tertundanya Kematian
Suatu ketika, Nabi Daud AS duduk di suatu tempat. Di sampingnya, ada seorang pemuda saleh duduk dengan tenang tanpa banyak bicara. Tiba-tiba, datang Malaikat Maut yang mengucapkan salam kepada Nabi Daud. Anehnya, Malaikat Maut terus memandang pemuda itu dengan serius.
Nabi Daud berkata kepadanya, "Mengapa engkau memandang dia?"
Malaikat Maut menjawab, "Aku diperintahkan untuk mencabut nyawanya tujuh hari lagi di tempat ini!"
Nabi Daud merasa iba dan kasihan kepada pemuda itu. Beliau pun berkata kepadanya, "Wahai anak muda, apakah engkau mempunyai isteri?"
"Tidak, saya belum pernah menikah," jawabnya.
"Datanglah engkau kepada si Fulan- seseorang yang sangat dihormati di kalangan Bani Israil, dan katakan kepadanya, "Daud menyuruhmu untuk mengawinkan anakmu denganku." Lalu, kau bawa perempuan itu malam ini juga. Bawalah bekal yang engkau perlukan dan tinggallah bersamanya. Setelah tujuh hari, temuilah aku di tempat ini."
Pemuda itu pergi dan melakukan apa yang dinasihatkan Nabi Daud kepadanya. Dia pun dinikahkan oleh orang tua si Gadis. Dia tinggal bersama isterinya selama tujuh hari. Pada hari kedelapan pernikahannya, dia menepati janjinya untuk bertemu dengan Daud.
"Wahai pemuda, bagaimana engkau melihat peristiwa itu?"
"Seumur hidpku, aku belum pernah merasakan kenikmatan dan kebahagiaan seperti yang kualami beberapa hari ini," jawabnya.
Kemudian, Nabi Daud memerintahkan pemuda itu untuk duduk di sampingnya guna menunggu kedatangan malaikat yang hendak menjemput kematiannya. Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Nabi Daud berkata, "Pulanglah kepada keluargamu dan kembalilah ke sini untuk menemuiku di tempat ini delapan hari setelah ini."
Pemuda itu pun pergi meninggalkan tempat itu menuju rumahnya. Pada hari kedelapan, dia menemui Nabi Daud di tempat tersebut dan duduk di sampingnya. Kemudian, kembali lagi pada minggu berikutnya, dan begitu seterusnya. Setelah sekian lama, datanglah Malaikat Maut kepada Nabi Daud.
"Bukankah engkau pernah mengatakan kepadaku bahwa engkau akan mencabut nyawa pemuda ini dalam waktu tujuh hari ke depan?"
Malaikat itu menjawab, "Ya."
Nabi Daud berkata lagi, "Telah berlalu delapan hari, delapan hari lagi, delapan hari lagi, dan engkau belum juga mencabut nyawanya."
"Wahai Daud, sesungguhnya Allah SWT merasa iba kepadanya lalu dia menunda ajalnya sampai tiga puluh tahun yang akan datang."
Pemuda dalam kisah ini adalah seseorang yang taat beribadah, ahli munajat, gemar berbuat kebaikan, dan sangat penyayang kepada keluarganya. Boleh jadi, karena amal saleh dan do'a-do'anyalah, Allah SWT berkenan menunda kematian sang pemuda hingga tiga puluh tahun lamanya.
Sungguh, suatu kaum akan ditimpa azab oleh Allah sebagai suatu ketetapan yang pasti. Namun, kemudian seorang anak di antara mereka membaca, "Alhamdulillahi Rabbil Alamin." Ucapan itu didengar Allah dan Dia mengangkat azab-Nya dari mereka karena bacaan itu selama 40 tahun.
(Fakhruddin Ar-Razi)
Nabi Daud berkata kepadanya, "Mengapa engkau memandang dia?"
Malaikat Maut menjawab, "Aku diperintahkan untuk mencabut nyawanya tujuh hari lagi di tempat ini!"
Nabi Daud merasa iba dan kasihan kepada pemuda itu. Beliau pun berkata kepadanya, "Wahai anak muda, apakah engkau mempunyai isteri?"
"Tidak, saya belum pernah menikah," jawabnya.
"Datanglah engkau kepada si Fulan- seseorang yang sangat dihormati di kalangan Bani Israil, dan katakan kepadanya, "Daud menyuruhmu untuk mengawinkan anakmu denganku." Lalu, kau bawa perempuan itu malam ini juga. Bawalah bekal yang engkau perlukan dan tinggallah bersamanya. Setelah tujuh hari, temuilah aku di tempat ini."
Pemuda itu pergi dan melakukan apa yang dinasihatkan Nabi Daud kepadanya. Dia pun dinikahkan oleh orang tua si Gadis. Dia tinggal bersama isterinya selama tujuh hari. Pada hari kedelapan pernikahannya, dia menepati janjinya untuk bertemu dengan Daud.
"Wahai pemuda, bagaimana engkau melihat peristiwa itu?"
"Seumur hidpku, aku belum pernah merasakan kenikmatan dan kebahagiaan seperti yang kualami beberapa hari ini," jawabnya.
Kemudian, Nabi Daud memerintahkan pemuda itu untuk duduk di sampingnya guna menunggu kedatangan malaikat yang hendak menjemput kematiannya. Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Nabi Daud berkata, "Pulanglah kepada keluargamu dan kembalilah ke sini untuk menemuiku di tempat ini delapan hari setelah ini."
Pemuda itu pun pergi meninggalkan tempat itu menuju rumahnya. Pada hari kedelapan, dia menemui Nabi Daud di tempat tersebut dan duduk di sampingnya. Kemudian, kembali lagi pada minggu berikutnya, dan begitu seterusnya. Setelah sekian lama, datanglah Malaikat Maut kepada Nabi Daud.
"Bukankah engkau pernah mengatakan kepadaku bahwa engkau akan mencabut nyawa pemuda ini dalam waktu tujuh hari ke depan?"
Malaikat itu menjawab, "Ya."
Nabi Daud berkata lagi, "Telah berlalu delapan hari, delapan hari lagi, delapan hari lagi, dan engkau belum juga mencabut nyawanya."
"Wahai Daud, sesungguhnya Allah SWT merasa iba kepadanya lalu dia menunda ajalnya sampai tiga puluh tahun yang akan datang."
Pemuda dalam kisah ini adalah seseorang yang taat beribadah, ahli munajat, gemar berbuat kebaikan, dan sangat penyayang kepada keluarganya. Boleh jadi, karena amal saleh dan do'a-do'anyalah, Allah SWT berkenan menunda kematian sang pemuda hingga tiga puluh tahun lamanya.
Sungguh, suatu kaum akan ditimpa azab oleh Allah sebagai suatu ketetapan yang pasti. Namun, kemudian seorang anak di antara mereka membaca, "Alhamdulillahi Rabbil Alamin." Ucapan itu didengar Allah dan Dia mengangkat azab-Nya dari mereka karena bacaan itu selama 40 tahun.
(Fakhruddin Ar-Razi)
Selasa, 02 Juni 2015
Cinta Seorang Anak Gembala
Pada zaman dahulu, hidup seorang gembala yang bersemangat bebas. Ia tidak punya uang dan tidak punya keinginan untuk memilikinya. Yang ia miliki hanyalah hati yang lembut dan penuh keikhlasan, hati yang berdetak dengan kecintaan kepada Tuhan.
Sepanjang hari ia menggembalakan ternaknya melewati lembah dan ladang melagukan jeritan hatinya kepada Tuhan yang dicintainya, 'Duhai Pangeran tercinta, dimanakah Engkau, supaya aku dapat persembahkan seluruh hidupku kepada-Mu? Dimanakah Engkau, supaya aku dapat menghambakan diriku pada-Mu? Wahai Tuhan, untuk-Mu aku hidup dan bernafas. Karena berkat-Mu aku hidup. Aku ingin mengorbankan dombaku kehadapan kemuliaan-Mu.
Suatu hari, Nabi Musa melewati padang gembalaan tersebut. Ia memperhatikan sang gembala tersebut. Ia Memperhatikan sang gembala yang sedang duduk di tengah ternaknya dengan kepala yang mendongkak ke langit. Sang gembala menyapa Tuhan, 'Ah, dimanakah Engkau, supaya aku dapat menjahit baju-Mu, memperbaiki kasur-Mu, dan mempersiapkan ranjang-Mu? Dimanakah Engkau, supaya aku dapat menyisir rambut-Mu dan mencium kaki-Mu? Dimanakah Engkau, supaya aku dapat mengkilapkan sepatu-Mu dan membawakan air susu untuk minuman-Mu?'
Nabi Musa mendekati gembala itu dan bertanya, 'Dengan siapa kamu berbicara?'
Gembala menjawab, 'Dengan Dia yang telah menciptakan kita. Dengan Dia yang menjadi Tuhan yang menguasai siang dan malam, bumi dan langit.
Nabi Musa murka mendengar jawaban gembala itu, 'Betapa beraninya kamu bicara kepada Tuhan seperti itu ! Apa yang kamu ucapkan adalah kekafiran. Kamu harus menyumbat mulutmu dengan kapas supaya kamu dapat mengendalikan lidahmu. Atau paling tidak, orang yang mendengarmu tidak menjadi marah dan tersinggung dengan kata-katamu yang telah meracuni seluruh angkasa ini. Kau harus berhenti bicara seperti itu sekarang juga karena nanti Tuhan akan menghukum seluruh penduduk bumi ini akibat dosa-dosamu!'
Sang gembala segera bangkit setelah mengetahui bahwa yang mengajaknya bicara adalah seorang nabi. Ia bergetar ketakutan.
Dengan air mata mengalir membasahi pipinya, ia mendengarkan Nabi Musa yang terus berkata, 'Apakah Tuhan adalah seorang manusia biasa sehingga Ia harus memakai sepatu dan alas kaki? Tentu saja tidak. Tuhan Maha sempurna di dalam diri-Nya. Tuhan tidak memerlukan siapapun. Dengan berbicara kepada Tuhan seperti yang telah engkau lakukan, engkau bukan saja telah merendahkan dirimu, tetapi kau juga telah merendahkan seluruh ciptaan Tuhan. Kau tidak lain dari seorang penghujat agama. Ayo, pergi dan minta maaf, kalau kau masih memiliki otak yang sehat!'
Gembala yang sederhana itu tidak mengerti bahwa apa yang dia sampaikan kepada Tuhan adalah kata-kata yang kasar. Dia juga tak mengerti mengapa Nabi yang mulia telah memanggilnya sebagai seorang musuh, tetapi ia tahu betul bahwa seorang nabi pastilah lebih mengetahui dari siapapun. Ia hampir tak dapat menahan tangisnya.
Ia berkata kepada Nabi Musa, 'Kau telah menyalakan api di dalam jiwaku. Sejak ini, aku berjanji akan menutup mulutku untuk selamanya.' Dengan keluhan yang panjang, ia berangkat meninggalkan ternaknya menuju padang pasir.
Dengan perasaan bahagia karena telah meluruskan jiwa yang tersesat, Musa melanjutkan perjalanannya menuju kota. Tiba-tiba Allah Yang Maha Kuasa menegurnya, 'Mengapa engkau berdiri diantara Kami dengan kekasih Kami yang setia? Mengapa engkau pisahkan pecinta dari yang dicintai-Nya? Kami telah mengutus engkau supaya engkau dapat menggabungkan kekasih dengan kekasihnya, bukan memisahkan ikatan diantaranya.'
Musa mendengarkan kata-kata langit itu dengan penuh kerendahan dan rasa takut.
Tuhan berfirman, 'Kami tidak menciptakan dunia supaya Kami memperoleh keuntungan darinya. Seluruh makhluk diciptakan untuk kepentingan makhluk itu sendiri. Kami tidak memerlukan pujian atau sanjungan. Kami tidak memerlukan ibadah atau pengabdian. Orang-orang yang beribadah itulah yang mengambil keuntungan dari ibadah yang mereka lakukan. Ingatlah, bahwa didalam cinta, kata-kata hanyalah bungkus luar yang tidak memiliki makna apa-apa. Kami tidak memperhatikan keindahan kata-kata atau komposisi kalimat. Yang Kami perhatikan adalah lubuk hati yang paling dalam dari orang itu. Dengan cara itulah Kami mengetahui ketulusan makhluk Kami walaupun kata-kata mereka bukan kata-kata yang indah. Buat mereka yang di bakar dengan api cinta, kata-kata tidak mempunyai makna.'
Suara dari langit terus berkata, 'Mereka yang ter-ikat dengan basa-basi bukanlah mereka yang terikat dengan cinta dan umat yang beragama bukanlah umat yang mengikuti cinta karena cinta tidak mempunyai agama selain kekasihnya sendiri.' Tuhan kemudian mengajarinya rahasia cinta.
Setelah memperoleh pelajaran itu, Nabi Musa mengerti kesalahannya. Sang Nabi pun merasa menderita penyesalan yang luar biasa. Dengan segera, ia berlari mencari gembala itu untuk meminta maaf. Berhari-hari, ia berkelana di padang rumput dan gurun pasir, menanyakan orang-orang apakah mereka mengetahui penggembala yang dicarinya.
Setiap orang yang ditanyainya menunjuk arah yang berbeda. Hampir, ia kehilangan harapan, tetapi akhirnya Allah SWT mempertemukannya dengan gembala itu. Ia tengah duduk di dekat mata air. Pakaiannya compang-camping, rambutnya kusut masai. Ia berada di tengah tafakur yang dalam sehingga ia tidak memeperhatikan Musa yang telah menunggunya cukup lama.
Akhirnya, gembala itu mengangkat kepalanya dan melihat Nabi Musa.
Musa berkata, 'Aku punya pesan penting untukmu. Tuhan telah berfirman kepadaku bahwa tidak diperlukan kata-kata yang indah bila kita ingin berbicara kepada-Nya. Kamu bebas berbicara kepada-Nya dengan cara apapun yang kamu sukai, dengan kata-kata apapun yang kamu pilih. Apa yang aku duga sebagai kekafiranmu ternyata adalah ungkapan dari keimanan dan kecintaan yang menyelamatkan dunia.'
Sang gembala hanya menjawab sederhana, 'Aku sudah melewati tahap kata-kata dan kalimat. Hatiku sekarang dipenuhi dengan kehadiran-Nya. Aku tak dapat menjelaskan keadaanku padamu dan kata-kata pun tak dapat melukiskan pengalaman ruhani yang ada dalam hatiku.' Kemudian, ia bangkit dan meninggalkan Nabi Musa.
Utusan Allah ini menatap sang gembala sampai ia tak terlihat lagi. Setelah itu, ia kembali berjalan ke kota terdekat, merenungkan pelajaran berharga yang didapatnya dari seorang gembala sederhana yang tidak berpendidikan.
Do'a sejati yang paling tinggi adalah perenungan Tuhan dengan kalbu yang murni, yang terlepas dari semua hasrat keduniawian, tidak terpaku pada sikap-sikap jasmaniah, tetapi dengan gerak-gerik jiwa.
(Ibnu Sina)
Sepanjang hari ia menggembalakan ternaknya melewati lembah dan ladang melagukan jeritan hatinya kepada Tuhan yang dicintainya, 'Duhai Pangeran tercinta, dimanakah Engkau, supaya aku dapat persembahkan seluruh hidupku kepada-Mu? Dimanakah Engkau, supaya aku dapat menghambakan diriku pada-Mu? Wahai Tuhan, untuk-Mu aku hidup dan bernafas. Karena berkat-Mu aku hidup. Aku ingin mengorbankan dombaku kehadapan kemuliaan-Mu.
Suatu hari, Nabi Musa melewati padang gembalaan tersebut. Ia memperhatikan sang gembala tersebut. Ia Memperhatikan sang gembala yang sedang duduk di tengah ternaknya dengan kepala yang mendongkak ke langit. Sang gembala menyapa Tuhan, 'Ah, dimanakah Engkau, supaya aku dapat menjahit baju-Mu, memperbaiki kasur-Mu, dan mempersiapkan ranjang-Mu? Dimanakah Engkau, supaya aku dapat menyisir rambut-Mu dan mencium kaki-Mu? Dimanakah Engkau, supaya aku dapat mengkilapkan sepatu-Mu dan membawakan air susu untuk minuman-Mu?'
Nabi Musa mendekati gembala itu dan bertanya, 'Dengan siapa kamu berbicara?'
Gembala menjawab, 'Dengan Dia yang telah menciptakan kita. Dengan Dia yang menjadi Tuhan yang menguasai siang dan malam, bumi dan langit.
Nabi Musa murka mendengar jawaban gembala itu, 'Betapa beraninya kamu bicara kepada Tuhan seperti itu ! Apa yang kamu ucapkan adalah kekafiran. Kamu harus menyumbat mulutmu dengan kapas supaya kamu dapat mengendalikan lidahmu. Atau paling tidak, orang yang mendengarmu tidak menjadi marah dan tersinggung dengan kata-katamu yang telah meracuni seluruh angkasa ini. Kau harus berhenti bicara seperti itu sekarang juga karena nanti Tuhan akan menghukum seluruh penduduk bumi ini akibat dosa-dosamu!'
Sang gembala segera bangkit setelah mengetahui bahwa yang mengajaknya bicara adalah seorang nabi. Ia bergetar ketakutan.
Dengan air mata mengalir membasahi pipinya, ia mendengarkan Nabi Musa yang terus berkata, 'Apakah Tuhan adalah seorang manusia biasa sehingga Ia harus memakai sepatu dan alas kaki? Tentu saja tidak. Tuhan Maha sempurna di dalam diri-Nya. Tuhan tidak memerlukan siapapun. Dengan berbicara kepada Tuhan seperti yang telah engkau lakukan, engkau bukan saja telah merendahkan dirimu, tetapi kau juga telah merendahkan seluruh ciptaan Tuhan. Kau tidak lain dari seorang penghujat agama. Ayo, pergi dan minta maaf, kalau kau masih memiliki otak yang sehat!'
Gembala yang sederhana itu tidak mengerti bahwa apa yang dia sampaikan kepada Tuhan adalah kata-kata yang kasar. Dia juga tak mengerti mengapa Nabi yang mulia telah memanggilnya sebagai seorang musuh, tetapi ia tahu betul bahwa seorang nabi pastilah lebih mengetahui dari siapapun. Ia hampir tak dapat menahan tangisnya.
Ia berkata kepada Nabi Musa, 'Kau telah menyalakan api di dalam jiwaku. Sejak ini, aku berjanji akan menutup mulutku untuk selamanya.' Dengan keluhan yang panjang, ia berangkat meninggalkan ternaknya menuju padang pasir.
Dengan perasaan bahagia karena telah meluruskan jiwa yang tersesat, Musa melanjutkan perjalanannya menuju kota. Tiba-tiba Allah Yang Maha Kuasa menegurnya, 'Mengapa engkau berdiri diantara Kami dengan kekasih Kami yang setia? Mengapa engkau pisahkan pecinta dari yang dicintai-Nya? Kami telah mengutus engkau supaya engkau dapat menggabungkan kekasih dengan kekasihnya, bukan memisahkan ikatan diantaranya.'
Musa mendengarkan kata-kata langit itu dengan penuh kerendahan dan rasa takut.
Tuhan berfirman, 'Kami tidak menciptakan dunia supaya Kami memperoleh keuntungan darinya. Seluruh makhluk diciptakan untuk kepentingan makhluk itu sendiri. Kami tidak memerlukan pujian atau sanjungan. Kami tidak memerlukan ibadah atau pengabdian. Orang-orang yang beribadah itulah yang mengambil keuntungan dari ibadah yang mereka lakukan. Ingatlah, bahwa didalam cinta, kata-kata hanyalah bungkus luar yang tidak memiliki makna apa-apa. Kami tidak memperhatikan keindahan kata-kata atau komposisi kalimat. Yang Kami perhatikan adalah lubuk hati yang paling dalam dari orang itu. Dengan cara itulah Kami mengetahui ketulusan makhluk Kami walaupun kata-kata mereka bukan kata-kata yang indah. Buat mereka yang di bakar dengan api cinta, kata-kata tidak mempunyai makna.'
Suara dari langit terus berkata, 'Mereka yang ter-ikat dengan basa-basi bukanlah mereka yang terikat dengan cinta dan umat yang beragama bukanlah umat yang mengikuti cinta karena cinta tidak mempunyai agama selain kekasihnya sendiri.' Tuhan kemudian mengajarinya rahasia cinta.
Setelah memperoleh pelajaran itu, Nabi Musa mengerti kesalahannya. Sang Nabi pun merasa menderita penyesalan yang luar biasa. Dengan segera, ia berlari mencari gembala itu untuk meminta maaf. Berhari-hari, ia berkelana di padang rumput dan gurun pasir, menanyakan orang-orang apakah mereka mengetahui penggembala yang dicarinya.
Setiap orang yang ditanyainya menunjuk arah yang berbeda. Hampir, ia kehilangan harapan, tetapi akhirnya Allah SWT mempertemukannya dengan gembala itu. Ia tengah duduk di dekat mata air. Pakaiannya compang-camping, rambutnya kusut masai. Ia berada di tengah tafakur yang dalam sehingga ia tidak memeperhatikan Musa yang telah menunggunya cukup lama.
Akhirnya, gembala itu mengangkat kepalanya dan melihat Nabi Musa.
Musa berkata, 'Aku punya pesan penting untukmu. Tuhan telah berfirman kepadaku bahwa tidak diperlukan kata-kata yang indah bila kita ingin berbicara kepada-Nya. Kamu bebas berbicara kepada-Nya dengan cara apapun yang kamu sukai, dengan kata-kata apapun yang kamu pilih. Apa yang aku duga sebagai kekafiranmu ternyata adalah ungkapan dari keimanan dan kecintaan yang menyelamatkan dunia.'
Sang gembala hanya menjawab sederhana, 'Aku sudah melewati tahap kata-kata dan kalimat. Hatiku sekarang dipenuhi dengan kehadiran-Nya. Aku tak dapat menjelaskan keadaanku padamu dan kata-kata pun tak dapat melukiskan pengalaman ruhani yang ada dalam hatiku.' Kemudian, ia bangkit dan meninggalkan Nabi Musa.
Utusan Allah ini menatap sang gembala sampai ia tak terlihat lagi. Setelah itu, ia kembali berjalan ke kota terdekat, merenungkan pelajaran berharga yang didapatnya dari seorang gembala sederhana yang tidak berpendidikan.
Do'a sejati yang paling tinggi adalah perenungan Tuhan dengan kalbu yang murni, yang terlepas dari semua hasrat keduniawian, tidak terpaku pada sikap-sikap jasmaniah, tetapi dengan gerak-gerik jiwa.
(Ibnu Sina)
Langganan:
Komentar (Atom)