Imam Hasan Al-Bashri adalah seorang ulama tasauf yang sangat zuhud dari kalangan tabi'in, yang lahir pada tahun 21 Hijriah, dua hari sebelum terbunuhnya khalifah Umar bin Khaththab dan meninggal tahun 110 Hijriah. Ia lahir, tumbuh dan tinggal di Kota Bashrah, sehingga dinisbatkan menjadi namanya Al-Bashri. Tidak kurang dari 370 sahabat, 70 orang diantaranya adalah ahlul Badar, yang menjadi guru dan rujukan Hasan Al-Bashri dalam menuntut ilmu. Termasuk diantaranya adalah Ali bin Abi Thalib, yang digelari Nabi SAW sebagai pintunya ilmu. Namun kisah taubatnya Hasan Al-Bashri termasuk unik dan memilukan.
Sebelumnya, Hasan adalah seorang pemuda tampan yang hidup berkelimpahan harta. Ia selalu memakai pakaian yang indah-indah dan suka berkeliling kota untuk bersenang-senang. Suatu ketika ia melihat seorang wanita yang sangat cantik dan tubuh sangat memikat, Hasan berjalan di belakangnya dan mengikuti langkahnya kemanapun ia pergi. Tiba-tiba wanita itu berpaling kepada Hasan dan berkata, "Tidakkah engkau malu??"
Hasan berkata, "Malu kepada siapa??"
Wanita itu menjawab, "Malu kepada Zat yang Maha Mengetahui apa yang ada di balik pandangan matamu, dan apa yang tersimpan di dalam dadamu!!"
Hasan sempat tertegun dengan perkataan wanita itu, yang rasanya menghujam jauh ke dalam hatinya. Sempat terjadi pergolakan, tetapi kecantikan dan pesona wanita itu seolah membetot sukmanya, terutama dua matanya yang jeli dan memikat. Ia benar-benar jatuh hati dan tidak mampu rasanya untuk berpaling, karena itu ia terus mengikutinya. Ketika tiba di depan rumahnya, lagi-lagi wanita itu berpaling dan berkata, "Mengapa engkau mengikuti hingga ke sini??"
Hasan berkata, "Aku terfitnah (tergoda) dengan keindahan dua matamu!!"
Sesaat terdiam, kemudian wanita itu berkata, "Baiklah kalau begitu, duduklah sebentar, aku akan memenuhi apa yang engkau inginkan!!"
Hati Hasan sangat gembira, dikiranya wanita itu juga jatuh hati kepadanya dan akan bersedia menjadi isterinya. Bagaimanapun juga ia seorang pemuda yang tampan dan kaya, sangat mungkin kalau wanita itu akan menerima cintanya. Tidak lama berselang, muncul pelayan wanita dengan membawa baki tertutup sebuah sapu tangan, yang langsung menyerahkannya kepada Hasan. Ia membuka sapu tangan itu, dan seketika wajahnya menjadi pucat pasi. Dua bola mata, dengan sedikit percikan darah tergeletak di atas baki itu. Pelayan wanita itu berkata, "Tuan puteri saya berpesan kepada tuan : Aku tidak menginginkan mata yang menyebabkan fitnah bagi orang lain!!"
Tubuh Hasan bergetar hebat penuh ketakutan, dan ia segera berlari pulang. Tubuhnya lunglai seolah tidak memiliki tulang belulang. Sambil memegang jenggotnya, ia berkata kepada dirinya sendiri, "Oh, alangkah hinanya engkau, percuma saja berjenggot, tetapi engkau jauh lebih hina daripada wanita itu!!"
Semalaman itu Hasan hanya menangis penuh penyesalan dan bertaubat kepada Allah. Pagi harinya ia mendatangi rumah wanita itu untuk meminta maaf dan kehalalan dari dirinya. Tetapi rumah wanita itu dalam keadaan tertutup, dan terdengar tangisan dari dalamnya. Salah seorang tetangganya memberitahukan kalau wanita pemilik rumah itu telah meninggal. Hasan makin tenggelam dalam kesedihan dan penyesalan. Tiga hari lamanya ia tidak keluar rumah, waktunya hanya berisi tangis penyesalan atas apa yang telah dilakukannya, dan bertaubat kepada Allah.
Pada hari ketiga, ia bermimpi melihat wanita itu sedang duduk di surga. Hasan menghampirinya dan berkata, "Berilah aku maaf dan kehalalan atas apa yang aku lakukan!!"
Wanita itu berkata, "Aku telah memaafkan dan menghalalkanmu, karena aku telah memperoleh kebaikan yang banyak dari Allah, dengan sebab dirimu!!"
Hasan berkata lagi, "Berilah aku nasehat!!"
Wanita itu berkata, "Ketika engkau dalam kesendirian (kesunyian), berdzikirlah kepada Allah Ta'ala. Ketika engkau berada di pagi dan sore hari, beristighfarlah dan bertaubatlah kepada Allah!!"
Setelah terbangun dari mimpinya itu, hati Hasan menjadi lega. Ia merubah total pola hidupnya selama ini. Semua harta yang dimilikinya di sedekahkan di jalan Allah, ia hidup dalam keadaan zuhud dan selalu dalam keta'atan, memperdalam ilmu dari para sahabat Nabi SAW yang memang banyak yang tinggal di kota Bashrah.
Minggu, 31 Juli 2016
Kamis, 28 Juli 2016
Kesibukan Malaikat Pada Bulan Ramadhan
Surga selalu dihias dan diberi harum-haruman dari tahun ke tahun karena masuknya bulan Ramadhan. Pada malam pertama Rammadhan itu, muncullah angin dari bawah Arsy yang disebut Al-Mutsirah. Karena hembusan Al-Mutsirah ini, daun-daunan dari pepohonan di surga bergoyang dan daun-daun pintunya bergerak, sehingga menimbulkan suatu rangkaian suara yang begitu indahnya. Tidak ada seorang atau makhluk apapun yang pernah mendengar suara seindah suara itu, sehingga hal itu menarik perhatian para bidadari yang bermata jeli. Mereka berdiri di tempat tinggi dan berkata, "Apakah ada orang-orang yang melamar kepada Allah, kemudian Allah akan mengawinkannya dengan kami??"
Tidak ada jawaban atau penjelasan apapun, maka para bidadari itu bertanya kepada malaikat penjaga surga, "Wahai Malaikat Ridwan, malam apakah ini??"
Malaikat berkata, "Wahai para bidadari yang cantik jelita, malam ini adalah malam pertama bulan Ramadhan!!"
Para bidadari itu berdo'a, "Ya Allah, berikanlah kepada kami suami-suami dari hamba-Mu pada bulan ini!!"
Maka tidak ada seorang pun yang berpuasa di bulan Ramadhan (dan diterima puasanya) kecuali Allah akan mengawinkannya dengan para bidadari itu, kelak di dalam kemah-kemah di surga.
Kemudian terdengar seruan Firman Allah, "Wahai Ridwan, bukalah pintu-pintu surga untuk umat Muhammad yang berpuasa pada bulan ini. Wahai Malik (Malaikat penjaga neraka), tutuplah pintu-pintu neraka untuk mereka yang berpuasa bulan ini. Wahai Jibril, turunlah ke bumi, kemudian ikatlah setan-setan yang jahat dengan rantai-rantai dan singkirkan mereka ke dasar lautan yang dalam, sehingga mereka tidak bisa merusak (mengganggu) puasa dari umat kekasih-Ku, Muhammad!!"
Para malaikat itu segera melaksanakan perintah Allah tersebut. Itulah sebabnya di dalam Bulan Ramadhan itu kebanyakan umat Islam sangat mudah untuk berbuat amal kebaikan. Suatu hal yang sangat sulit untuk diamalkan pada bulan-bulan lainnya. Gangguan setan (dari kalangan jin) dan hawa panas neraka untuk sementara ditiadakan, hawa sejuk surga yang penuh rahmat dan kasih sayang Allah melimpah ruah membangkitkan semangat untuk terus beribadah kepada-Nya. Musuh yang harus dihadapi tinggal gangguan setan dalam bentuk manusia dan hawa nafsu, yang mereka itu juga telah dilemahkan dengan adanya kewajiban puasa.
Pada riwayat lain disebutkan, pada malam pertama Bulan Ramadhan itu Allah berfirman, "Barang siapa yang mencintai-Ku maka Aku akan mencintainya, barang siapa yang mencari-Ku maka Aku akan mencarinya, dan barang siapa yang memohon ampunan kepada-Ku maka Aku akan mengampuninya berkat kehormatan Bulan Ramadhan ini (dan puasa yang dijalankannya)!!"
Kemudian Allah memerintahkan malaikat Kiramal Katibin (malaikat-malaikat pencatat amalan manusia) untuk mencatat amal kebaikan dari tiga kelompok orang-orang tersebut dan menggandakannya, serta memerintahkan untuk membiarkan (tidak mencatat) amal keburukannya, bahkan Allah juga menghapus dosa-dosa mereka yang terdahulu.
Pada setiap malam dari Bulan Ramadhan itu, Allah akan berseru tiga kali, "Barang siapa yang memohon, maka Aku akan memenuhi permohonannya. Barang siapa yang kembali (Taa-ibin, taubat) maka Aku akan menerimanya kembali (menerima taubatnya). Barang siapa yang memohon ampunan (maghfirah) atas dosa-dosanya, maka Aku akan mengampuninya.!!"
Pada malam yang ditetapkan Allah sebagai Lailatul Qadr, Allah memerintahkan Jibril dan rombongan besar malaikat turun ke bumi. Jibril turun dengan membawa panji hijau yang kemudian diletakkan di punggung Ka'bah. Ia mempunyai 600 sayap, dua diantaranya tidak pernah dipergunakan kecuali pada Lailatul Qadr, yang bentangan dua sayapnya itu meliputi timur dan barat. Kemudian Jibril memerintahkan para malaikat yang mengikutinya untuk mendatangi umat Nabi Muhammad SAW. Mereka mengucapkan salam pada setiap orang yang sedang beribadah dengan duduk, berdiri dan berbaring, yang sedang shalat dan berdzikir, dan berbagai macam ibadah lainnya pada malam itu. Mereka menjabat tangan dan mengaminkan do'a umat Nabi Muhammad SAW hingga terbit fajar.
Ketika fajar telah muncul di ufuk timur, Jibril berkata, "Wahai para malaikat, kembali, kembali!!"
Para malaikat itu tampaknya enggan untuk beranjak dari kaum muslimin yang sedang beribadah kepada Allah. Ada kekaguman dan keasyikan berada di tengah-tengah umat Nabi Muhammad SAW, yang di antara berbagai kelemahan dan keterbatasannya, berbagai dosa dan kelalaiannya, mereka tetap beribadah mendekatkan diri kepada Allah, tidak pernah berputus asa dari rahmat Allah. Mendengar seruan Jibril untuk kembali, mereka berkata, "Wahai Jibril, apa yang diperbuat Allah untuk memenuhi permintaan (kebutuhan) orang-orang yang mukmin dari umat Nabi Muhammad ini??"
Jibril berkata, "Sesungguhnya Allah melihat kepada mereka dengan pandangan kasih sayang, memaafkan dan mengampuni mereka, kecuali empat macam manusia.!!"
Mereka berkata, "Siapakah empat macam orang itu?"
Jibril berkata, "Orang-orang yang suka minum minuman keras (khamr, alkohol, narkoba, dan sejenisnya), orang-orang yang durhaka kepada orang tuanya, orang-orang yang suka memutuskan hubungan silaturahmi dan kaum musyahin!!"
Para malaikat itu cukup puas dengan penjelasan Jibril dan mereka kembali naik ke langit, ke tempat dan cara ibadahnya masing-masing seperti semula.
Ketika Nabi SAW menceritakan hal ini kepada para sahabat, salah seorang dari mereka berkata, "Wahai Rasulullah, siapakah kaum musyahin itu?"
Nabi SAW bersabda, "Orang yang suka memutuskan persaudaraan, yaitu orang yang tidak mau berbicara (karena perasaan marah, dendam dan sejenisnya) kepada saudaranya lebih dari tiga hari!!"
Malam berakhirnya bulan Ramadhan, yakni saat buka puasa terakhir dan memasuki malam Idul Fitri, Allah menamakannya dengan malam hadiah (Lailatul Jaaizah). Ketika fajar menyingsing, Allah memerintahkan para malaikat untuk turun dan menyebar ke seluruh penjuru negeri-negeri yang di dalamnya ada orang-orang yang berpuasa. Mereka berdiri di jalan-jalan dan berseru, dengan seruan yang didengar oleh seluruh makhluk kecuali jin dan manusia, "Wahai umat Muhammad, keluarlah kamu kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, yang memberikan rahmat begitu banyak dan mengampuni dosa besar!!"
Ketika kaum muslimin keluar menuju tempat-tempat shalat Idul Fitri dilaksanakan, Allah berfirman kepada para malaikat, "Wahai para malaikat-Ku, apakah balasan bagi pekerja jika ia telah menyelesaikan pekerjaannya??"
Mereka berkata, "Wahai Allah, balasannya adalah dibayarkan upah-upahnya!!"
Allah berfirman, "Wahai para malaikat, Aku persaksikan kepada kalian semua, bahwa balasan bagi mereka yang berpuasa di Bulan Ramadhan, dan shalat-shalat malam mereka adalah keridhaan dan ampunan-Ku!!"
Tidak ada jawaban atau penjelasan apapun, maka para bidadari itu bertanya kepada malaikat penjaga surga, "Wahai Malaikat Ridwan, malam apakah ini??"
Malaikat berkata, "Wahai para bidadari yang cantik jelita, malam ini adalah malam pertama bulan Ramadhan!!"
Para bidadari itu berdo'a, "Ya Allah, berikanlah kepada kami suami-suami dari hamba-Mu pada bulan ini!!"
Maka tidak ada seorang pun yang berpuasa di bulan Ramadhan (dan diterima puasanya) kecuali Allah akan mengawinkannya dengan para bidadari itu, kelak di dalam kemah-kemah di surga.
Kemudian terdengar seruan Firman Allah, "Wahai Ridwan, bukalah pintu-pintu surga untuk umat Muhammad yang berpuasa pada bulan ini. Wahai Malik (Malaikat penjaga neraka), tutuplah pintu-pintu neraka untuk mereka yang berpuasa bulan ini. Wahai Jibril, turunlah ke bumi, kemudian ikatlah setan-setan yang jahat dengan rantai-rantai dan singkirkan mereka ke dasar lautan yang dalam, sehingga mereka tidak bisa merusak (mengganggu) puasa dari umat kekasih-Ku, Muhammad!!"
Para malaikat itu segera melaksanakan perintah Allah tersebut. Itulah sebabnya di dalam Bulan Ramadhan itu kebanyakan umat Islam sangat mudah untuk berbuat amal kebaikan. Suatu hal yang sangat sulit untuk diamalkan pada bulan-bulan lainnya. Gangguan setan (dari kalangan jin) dan hawa panas neraka untuk sementara ditiadakan, hawa sejuk surga yang penuh rahmat dan kasih sayang Allah melimpah ruah membangkitkan semangat untuk terus beribadah kepada-Nya. Musuh yang harus dihadapi tinggal gangguan setan dalam bentuk manusia dan hawa nafsu, yang mereka itu juga telah dilemahkan dengan adanya kewajiban puasa.
Pada riwayat lain disebutkan, pada malam pertama Bulan Ramadhan itu Allah berfirman, "Barang siapa yang mencintai-Ku maka Aku akan mencintainya, barang siapa yang mencari-Ku maka Aku akan mencarinya, dan barang siapa yang memohon ampunan kepada-Ku maka Aku akan mengampuninya berkat kehormatan Bulan Ramadhan ini (dan puasa yang dijalankannya)!!"
Kemudian Allah memerintahkan malaikat Kiramal Katibin (malaikat-malaikat pencatat amalan manusia) untuk mencatat amal kebaikan dari tiga kelompok orang-orang tersebut dan menggandakannya, serta memerintahkan untuk membiarkan (tidak mencatat) amal keburukannya, bahkan Allah juga menghapus dosa-dosa mereka yang terdahulu.
Pada setiap malam dari Bulan Ramadhan itu, Allah akan berseru tiga kali, "Barang siapa yang memohon, maka Aku akan memenuhi permohonannya. Barang siapa yang kembali (Taa-ibin, taubat) maka Aku akan menerimanya kembali (menerima taubatnya). Barang siapa yang memohon ampunan (maghfirah) atas dosa-dosanya, maka Aku akan mengampuninya.!!"
Pada malam yang ditetapkan Allah sebagai Lailatul Qadr, Allah memerintahkan Jibril dan rombongan besar malaikat turun ke bumi. Jibril turun dengan membawa panji hijau yang kemudian diletakkan di punggung Ka'bah. Ia mempunyai 600 sayap, dua diantaranya tidak pernah dipergunakan kecuali pada Lailatul Qadr, yang bentangan dua sayapnya itu meliputi timur dan barat. Kemudian Jibril memerintahkan para malaikat yang mengikutinya untuk mendatangi umat Nabi Muhammad SAW. Mereka mengucapkan salam pada setiap orang yang sedang beribadah dengan duduk, berdiri dan berbaring, yang sedang shalat dan berdzikir, dan berbagai macam ibadah lainnya pada malam itu. Mereka menjabat tangan dan mengaminkan do'a umat Nabi Muhammad SAW hingga terbit fajar.
Ketika fajar telah muncul di ufuk timur, Jibril berkata, "Wahai para malaikat, kembali, kembali!!"
Para malaikat itu tampaknya enggan untuk beranjak dari kaum muslimin yang sedang beribadah kepada Allah. Ada kekaguman dan keasyikan berada di tengah-tengah umat Nabi Muhammad SAW, yang di antara berbagai kelemahan dan keterbatasannya, berbagai dosa dan kelalaiannya, mereka tetap beribadah mendekatkan diri kepada Allah, tidak pernah berputus asa dari rahmat Allah. Mendengar seruan Jibril untuk kembali, mereka berkata, "Wahai Jibril, apa yang diperbuat Allah untuk memenuhi permintaan (kebutuhan) orang-orang yang mukmin dari umat Nabi Muhammad ini??"
Jibril berkata, "Sesungguhnya Allah melihat kepada mereka dengan pandangan kasih sayang, memaafkan dan mengampuni mereka, kecuali empat macam manusia.!!"
Mereka berkata, "Siapakah empat macam orang itu?"
Jibril berkata, "Orang-orang yang suka minum minuman keras (khamr, alkohol, narkoba, dan sejenisnya), orang-orang yang durhaka kepada orang tuanya, orang-orang yang suka memutuskan hubungan silaturahmi dan kaum musyahin!!"
Para malaikat itu cukup puas dengan penjelasan Jibril dan mereka kembali naik ke langit, ke tempat dan cara ibadahnya masing-masing seperti semula.
Ketika Nabi SAW menceritakan hal ini kepada para sahabat, salah seorang dari mereka berkata, "Wahai Rasulullah, siapakah kaum musyahin itu?"
Nabi SAW bersabda, "Orang yang suka memutuskan persaudaraan, yaitu orang yang tidak mau berbicara (karena perasaan marah, dendam dan sejenisnya) kepada saudaranya lebih dari tiga hari!!"
Malam berakhirnya bulan Ramadhan, yakni saat buka puasa terakhir dan memasuki malam Idul Fitri, Allah menamakannya dengan malam hadiah (Lailatul Jaaizah). Ketika fajar menyingsing, Allah memerintahkan para malaikat untuk turun dan menyebar ke seluruh penjuru negeri-negeri yang di dalamnya ada orang-orang yang berpuasa. Mereka berdiri di jalan-jalan dan berseru, dengan seruan yang didengar oleh seluruh makhluk kecuali jin dan manusia, "Wahai umat Muhammad, keluarlah kamu kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, yang memberikan rahmat begitu banyak dan mengampuni dosa besar!!"
Ketika kaum muslimin keluar menuju tempat-tempat shalat Idul Fitri dilaksanakan, Allah berfirman kepada para malaikat, "Wahai para malaikat-Ku, apakah balasan bagi pekerja jika ia telah menyelesaikan pekerjaannya??"
Mereka berkata, "Wahai Allah, balasannya adalah dibayarkan upah-upahnya!!"
Allah berfirman, "Wahai para malaikat, Aku persaksikan kepada kalian semua, bahwa balasan bagi mereka yang berpuasa di Bulan Ramadhan, dan shalat-shalat malam mereka adalah keridhaan dan ampunan-Ku!!"
Senin, 18 Juli 2016
Karena Mengabaikan Orang Fakir
Ahmad bin Muhammad bin Husin Al-Jariri, atau lebih dikenal dengan nama kunyahnya saja Abu Muhammad Al-Jariri, adalah seorang ulama sufi yang tinggal di Baghdad. Ia hidup se-zaman dengan tokoh sufi lainnya, Junaid Al-Baghdadi, bahkan menjadi sahabatnya. Ketika Junaid wafat, ia menduduki (menggantikan) maqam Junaid, yakni pemimpin atau sesepuh tokoh sufi lainnya pada masa itu.
Ketika masih dalam pencarian (suluk, tarikat, mengaji hakikat dll), ia pernah mengalami suatu peristiwa yang tidak akan pernah terlupakan. Suatu ketika setelah shalat ashar berlalu, seorang pemuda masuk ke mesjid di lokasi pondok (thariqah) Abu Muhammad Al-Jariri belajar. Wajah pemuda itu tampak pucat dan rambut terurai tidak beraturan tanpa memakai tutup kepala (kopiah, serban atau sejenisnya). Ia berwudhu kemudian shalat sunnah dua rakaat, setelah itu ia duduk dengan meletakkan kepalanya di antara (di atas) lututnya dan tangan ditangkupkan. Saat maghrib tiba, ia berjamaah dengan mereka setelah itu duduk lagi seperti sebelumnya.
Tiba-tiba datang utusan Raja yang mengundang mereka untuk jamuan makan di tempat tinggalnya. Hal itu memang secara rutin dilakukan oleh sang Raja. Ketika teman-temannya berlalu untuk memenuhi undangan itu, ia sempat membangunkan sang pemuda dan berkata, "Apakah anda mau ikut bersama kami untuk makan-makan di tempat raja??"
Pemuda itu mengangkat kepalanya dan berkata, "Saya tidak ingin ke istana Raja, tetapi kalau anda tidak keberatan, bawakanlah untukku asidah (suatu nama makanan) yang hangat!!"
Abu Muhammad mengabaikan permintaan pemuda itu. Dalam hati ia berkata, "Diajak baik-baik tidak mau, tetapi malah meminta dibawakan sesuatu!! Mungkin ia baru saja belajar tarikat dan belum mengetahui adab (tata krama, sopan santun) yang lazim berlaku!!"
Ketika malam agak larut, barulah mereka pulang dari istana Raja dalam keadaan kenyang. Ketika memasuki mesjid di pondoknya, Abu Muhammad melihat pemuda itu masih dalam posisi yang sama ketika ditinggalkannya, mungkin tertidur. Abu Muhammad duduk di sajadahnya, tetapi belum ia berdzikir, rasa kantuk menguasai dirinya dan ia jatuh tertidur.
Dalam tidurnya itu Abu Muhammad bermimpi, ia melihat suatu rombongan besar berlalu di hadapannya. Tiba-tiba ada seruan, "Itu adalah rombongan Rasulullah SAW beserta para Nabi dan Rasul!!"
Mendengar seruan itu, ia segera berlari ke arah depan rombongan dan menemui Rasulullah SAW. Ia mengucap salam, tetapi Nabi SAW berpaling dari dirinya tanpa menjawab salamnya. Beberapa kali ia mengulang salamnya tetapi masih saja beliau berpaling. Abu Muhammad jadi gemetar ketakutan, dengan tergagap ia berkata, "Wahai Rasulullah, apakah dosa saya sehingga engkau berpaling dari saya??"
Nabi SAW menatapnya dengan tajam dan berkata, "Seorang yang fakir dari umatku ingin sesuatu darimu, lalu engkau mengabaikannya!!"
Abu Muhammad tersentak kaget dan terbangun dari tidurny. Segera saja ia teringat kepada pemuda yang meminta dibawakan asidah itu. Ia segera ke tempat pemuda itu, tetapi ternyata tidak ada siapapun di sana. Ia mendengar suara pintu dibuka, yang ternyata adalah pemuda itu yang hendak keluar mesjid. Ia segera mendekatinya dan berkata, "Wahai pemuda, sabarlah barang sejenak. Aku akan segera menyiapkan untukmu, apa yang engkau inginkan!!"
Pemuda itu menoleh kepadanya dan berkata, "Jika seorang fakir menyampaikan keinginannya kepadamu, engkau tidak mau memenuhinya, kecuali setelah dimintakan oleh Nabi SAW dan seratus duapuluh empat ribu nabi-nabi lainnya. Kini aku tidak menghajatkan apa-apa lagi darimu!!"
Pemuda itu melangkah keluar, meninggalkannya dalam keadaan terpana dengan kaki terpaku di tanah. Setelah peristiwa itu, Abu Muhammad tidak pernah mengabaikan orang lain, sesepele dan sefakir apapun keadaannya, karena takut ia akan diabaikan oleh Rasulullah SAW di yaumul makhsyar kelak.
Ketika masih dalam pencarian (suluk, tarikat, mengaji hakikat dll), ia pernah mengalami suatu peristiwa yang tidak akan pernah terlupakan. Suatu ketika setelah shalat ashar berlalu, seorang pemuda masuk ke mesjid di lokasi pondok (thariqah) Abu Muhammad Al-Jariri belajar. Wajah pemuda itu tampak pucat dan rambut terurai tidak beraturan tanpa memakai tutup kepala (kopiah, serban atau sejenisnya). Ia berwudhu kemudian shalat sunnah dua rakaat, setelah itu ia duduk dengan meletakkan kepalanya di antara (di atas) lututnya dan tangan ditangkupkan. Saat maghrib tiba, ia berjamaah dengan mereka setelah itu duduk lagi seperti sebelumnya.
Tiba-tiba datang utusan Raja yang mengundang mereka untuk jamuan makan di tempat tinggalnya. Hal itu memang secara rutin dilakukan oleh sang Raja. Ketika teman-temannya berlalu untuk memenuhi undangan itu, ia sempat membangunkan sang pemuda dan berkata, "Apakah anda mau ikut bersama kami untuk makan-makan di tempat raja??"
Pemuda itu mengangkat kepalanya dan berkata, "Saya tidak ingin ke istana Raja, tetapi kalau anda tidak keberatan, bawakanlah untukku asidah (suatu nama makanan) yang hangat!!"
Abu Muhammad mengabaikan permintaan pemuda itu. Dalam hati ia berkata, "Diajak baik-baik tidak mau, tetapi malah meminta dibawakan sesuatu!! Mungkin ia baru saja belajar tarikat dan belum mengetahui adab (tata krama, sopan santun) yang lazim berlaku!!"
Ketika malam agak larut, barulah mereka pulang dari istana Raja dalam keadaan kenyang. Ketika memasuki mesjid di pondoknya, Abu Muhammad melihat pemuda itu masih dalam posisi yang sama ketika ditinggalkannya, mungkin tertidur. Abu Muhammad duduk di sajadahnya, tetapi belum ia berdzikir, rasa kantuk menguasai dirinya dan ia jatuh tertidur.
Dalam tidurnya itu Abu Muhammad bermimpi, ia melihat suatu rombongan besar berlalu di hadapannya. Tiba-tiba ada seruan, "Itu adalah rombongan Rasulullah SAW beserta para Nabi dan Rasul!!"
Mendengar seruan itu, ia segera berlari ke arah depan rombongan dan menemui Rasulullah SAW. Ia mengucap salam, tetapi Nabi SAW berpaling dari dirinya tanpa menjawab salamnya. Beberapa kali ia mengulang salamnya tetapi masih saja beliau berpaling. Abu Muhammad jadi gemetar ketakutan, dengan tergagap ia berkata, "Wahai Rasulullah, apakah dosa saya sehingga engkau berpaling dari saya??"
Nabi SAW menatapnya dengan tajam dan berkata, "Seorang yang fakir dari umatku ingin sesuatu darimu, lalu engkau mengabaikannya!!"
Abu Muhammad tersentak kaget dan terbangun dari tidurny. Segera saja ia teringat kepada pemuda yang meminta dibawakan asidah itu. Ia segera ke tempat pemuda itu, tetapi ternyata tidak ada siapapun di sana. Ia mendengar suara pintu dibuka, yang ternyata adalah pemuda itu yang hendak keluar mesjid. Ia segera mendekatinya dan berkata, "Wahai pemuda, sabarlah barang sejenak. Aku akan segera menyiapkan untukmu, apa yang engkau inginkan!!"
Pemuda itu menoleh kepadanya dan berkata, "Jika seorang fakir menyampaikan keinginannya kepadamu, engkau tidak mau memenuhinya, kecuali setelah dimintakan oleh Nabi SAW dan seratus duapuluh empat ribu nabi-nabi lainnya. Kini aku tidak menghajatkan apa-apa lagi darimu!!"
Pemuda itu melangkah keluar, meninggalkannya dalam keadaan terpana dengan kaki terpaku di tanah. Setelah peristiwa itu, Abu Muhammad tidak pernah mengabaikan orang lain, sesepele dan sefakir apapun keadaannya, karena takut ia akan diabaikan oleh Rasulullah SAW di yaumul makhsyar kelak.
Kamis, 23 Juni 2016
Takut Yang menyelamatkan
Ada seorang lelaki di masa lalu (masa sebelum Nabi SAW), ia diberi kelimpahan harta dan anak-anak. Tetapi ia sama sekali tidak pernah berbuat kebaikan walau tidak sampai kehilangan keimanannya kepada Allah. Ketika kematian hampir menjemputnya, ia baru menyadari betapa buruknya apa yang telah dilakukannya selama ini. Hampir tidak ada sedikitpun bekal kebaikan yang dimilikinya untuk memasuki alam barzah (kubur) dan alam akhirat.
Didorong oleh rasa kekhawatirannya menghadap Allah tanpa sedikitpun amal kebaikan, ia memanggil anak-anaknya dan berkata, "Wahai anak-anakku, ayah macam apakah aku ini bagi kalian??"
Mereka berkata, "Sebaik-baiknya ayah bagi kami!!"
Ia berkata, "Sesungguhnya aku in tidak sedikitpun menyimpan atau menanam kebaikan di sisi Allah. Kalau Allah menghendaki, pastilah Dia akan menimpakan suatu siksaan kepadaku, dengan siksaan yang tidak akan pernah ditimpakan kepada orang lain.."
Sesaat lelaki itu terdiam, kemudian melanjutkan, "Aku ingin mengikat perjanjian dengan kalian, kalau aku telah meninggal, hendaklah kalian melaksanakan wasiatku, bagaimanapun juga keadaannya!!"
Kemudian ia menjabat tangan anak-anaknya satu persatu dan meminta dengan tegas untuk melaksanakan pesan (wasiat)-nya.
Ia berkata lagi, sebagai wasiat terakhir yang harus dilaksanakan anak-anaknya, "Perhatikanlah wasiatku ini, apabila aku telah mati, kumpulkanlah kayu bakar yang banyak dan bakarlah jenazahku. Dan jika telah tinggal tulang-tulangnya, ambillah dan tumbuklah sampai halus seperti debu, dan tebarkanlah di atas sungai pada hari yang sangan panas dan berangin!!"
Pada beberapa riwayat lainnya, "...tebarkanlah pada hari yang berangin di lautan!!"
Wasiat yang sungguh 'mengerikan', dan tidak pantas untuk dilakukan, tetapi karena mereka telah diikat dengan kuat oleh ayahnya dengan suatu perjanjian, maka mereka melaksanakan wasiat tersebut dengan sebaik-baiknya.
Maka Allah memerintahkan bumi untuk mengumpulkan debu dari jenazah lelaki itu, dan dengan kalimat 'kun' Dia menghidupkan dan mendatangkan lelaki itu di hadirat-Nya, dan berfirman, "Wahai hamba-Ku, apakah yang mendorongmu berbuat seperti itu?"
Lelaki itu berkata, "Wahai Tuhanku, aku melakukan semua itu karena aku takut kepada-Mu, takut Engkau akan memisahkanku dari-Mu!!"
Dengan jawaban seperti itu, Allah melimpahkan rahmat kepadanya dan mengampuni semua dosa dan kesalahan yang telah dilakukannya.
Tentu saja 'konsep' penebusan diri, atau penistaan diri sendiri seperti itu sebagai 'kaffarat' atas dosa dan berbagai amal kejelekan yang dilakukan seseorang, tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW. Allah telah membukakan pintu taubat dan ampunan seluas-luasnya bagi kita, umat Rasulullah SAW. Bahkan seandainya telah meninggal dunia belum juga bertaubat, masih ada 'kemungkinan' dosa-dosa itu diampuni, asalkan bukan dosa syirik. Inilah salah satu bentuk kemurahan dan kasih sayang Allah kepada Nabi SAW, yang berimbas kepada kita umat beliau.
Tentu saja idealnya, kita harus segera bertaubat jika melakukan suatu dosa atau kesalahan, dan jangan pernah berputus asa dari rahmat Allah, walau mungkin kita masih akan terjatuh juga pada dosa yang sama. Allah tidak akan pernah 'bosan' menerima taubat seorang hamba, kecuali jika hamba itu sendiri yang 'bosan' bertaubat dan putus asa dari rahmat Allah. Dan rasa takut kepada Allah, baik karena dosa-dosa yang dilakukannya, atau karena mengetahui dan melihat keagungan Allah, atau kegentaran menghadapi yaumul hisab, akan sangat mungkin mengundang kasih sayang dan maghfirah Allah, sebagaimana kisah di atas.
Wallahu 'Alam.
Didorong oleh rasa kekhawatirannya menghadap Allah tanpa sedikitpun amal kebaikan, ia memanggil anak-anaknya dan berkata, "Wahai anak-anakku, ayah macam apakah aku ini bagi kalian??"
Mereka berkata, "Sebaik-baiknya ayah bagi kami!!"
Ia berkata, "Sesungguhnya aku in tidak sedikitpun menyimpan atau menanam kebaikan di sisi Allah. Kalau Allah menghendaki, pastilah Dia akan menimpakan suatu siksaan kepadaku, dengan siksaan yang tidak akan pernah ditimpakan kepada orang lain.."
Sesaat lelaki itu terdiam, kemudian melanjutkan, "Aku ingin mengikat perjanjian dengan kalian, kalau aku telah meninggal, hendaklah kalian melaksanakan wasiatku, bagaimanapun juga keadaannya!!"
Kemudian ia menjabat tangan anak-anaknya satu persatu dan meminta dengan tegas untuk melaksanakan pesan (wasiat)-nya.
Ia berkata lagi, sebagai wasiat terakhir yang harus dilaksanakan anak-anaknya, "Perhatikanlah wasiatku ini, apabila aku telah mati, kumpulkanlah kayu bakar yang banyak dan bakarlah jenazahku. Dan jika telah tinggal tulang-tulangnya, ambillah dan tumbuklah sampai halus seperti debu, dan tebarkanlah di atas sungai pada hari yang sangan panas dan berangin!!"
Pada beberapa riwayat lainnya, "...tebarkanlah pada hari yang berangin di lautan!!"
Wasiat yang sungguh 'mengerikan', dan tidak pantas untuk dilakukan, tetapi karena mereka telah diikat dengan kuat oleh ayahnya dengan suatu perjanjian, maka mereka melaksanakan wasiat tersebut dengan sebaik-baiknya.
Maka Allah memerintahkan bumi untuk mengumpulkan debu dari jenazah lelaki itu, dan dengan kalimat 'kun' Dia menghidupkan dan mendatangkan lelaki itu di hadirat-Nya, dan berfirman, "Wahai hamba-Ku, apakah yang mendorongmu berbuat seperti itu?"
Lelaki itu berkata, "Wahai Tuhanku, aku melakukan semua itu karena aku takut kepada-Mu, takut Engkau akan memisahkanku dari-Mu!!"
Dengan jawaban seperti itu, Allah melimpahkan rahmat kepadanya dan mengampuni semua dosa dan kesalahan yang telah dilakukannya.
Tentu saja 'konsep' penebusan diri, atau penistaan diri sendiri seperti itu sebagai 'kaffarat' atas dosa dan berbagai amal kejelekan yang dilakukan seseorang, tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW. Allah telah membukakan pintu taubat dan ampunan seluas-luasnya bagi kita, umat Rasulullah SAW. Bahkan seandainya telah meninggal dunia belum juga bertaubat, masih ada 'kemungkinan' dosa-dosa itu diampuni, asalkan bukan dosa syirik. Inilah salah satu bentuk kemurahan dan kasih sayang Allah kepada Nabi SAW, yang berimbas kepada kita umat beliau.
Tentu saja idealnya, kita harus segera bertaubat jika melakukan suatu dosa atau kesalahan, dan jangan pernah berputus asa dari rahmat Allah, walau mungkin kita masih akan terjatuh juga pada dosa yang sama. Allah tidak akan pernah 'bosan' menerima taubat seorang hamba, kecuali jika hamba itu sendiri yang 'bosan' bertaubat dan putus asa dari rahmat Allah. Dan rasa takut kepada Allah, baik karena dosa-dosa yang dilakukannya, atau karena mengetahui dan melihat keagungan Allah, atau kegentaran menghadapi yaumul hisab, akan sangat mungkin mengundang kasih sayang dan maghfirah Allah, sebagaimana kisah di atas.
Wallahu 'Alam.
Jumat, 17 Juni 2016
Mengharap Keuntungan Yang Lebih Besar
Seorang ulama dan guru yang saleh, mengisi sebagian waktunya dengan bekerja sebagai pedagang. Suatu ketika ia memberi madu seharga 30.000 dirham untuk mengisi persediaan barang dagangannya yang telah menipis.
Keesokan harinya ternyata harga madu meningkat drastis hingga dua kali lipatnya. Sang penjual jadi menyesal telah melepaskan (menjual) pada hari sebelumnya itu. Tetapi penyesalan selalu datang terlambat, mena mungkin untuk membatalkan sedangkan uangnya telah ia terima, dan barang-barangnya telah dibawa oleh sang pembeli, guru yang saleh itu. Sedih dan penyesalan itu begitu menggelayuti pikirannya, sehingga mengundang perhatian teman-temannya.
Setelah mengetahui permasalahannya, salah seorang temannya yang sangat mengenal akhlak guru yang saleh, sang pembeli madu itu, berkata, "Besok pagi, datanglah shalat subuh bersama guru yang saleh, pembeli madumu itu, dengan membawa uang 30.000 dirham. Setelah beliau selesai shalat dan berdo'a, mendekatlah dan berkata : Saya menyesal telah menjual maduku itu pada tuan!! Itu saja, jangan ditambah dan dikurangi, insyaallah engkau tidak akan mengalami kerugian sedikitpun!!"
Ia menuruti saran temannya. Usai shalat dan berdo'a, ia segera menghadap pada sang guru dan berkata, "Wahai Tuan Guru, saya menyesal telah menjual maduku itu pada tuan!!"
Guru yang saleh itu memandangnya sesaat dan berkata kepada pembantu/pegawainya, "Bangunlah, dan kembalikan madu yang kita beli itu kepada orang ini!!"
Sang penjual sangat gembira dan mengembalikan uang 30.000 dirham yang telah diterimanya itu. Salah seorang jamaah yang hadir ada yang berkata, "Wahai Tuan Guru, sejak kemarin harga madu telah meningkat dua kali lipatnya, mengapa hanya dikembalikan begitu saja??"
Sang Guru berkata, "Mengapa tidak?? Sungguh aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda : Barang siapa mau membatalkan pembeliannya kepada orang yang menyesal dalam penjualannya, maka Allah akan memaafkan dosa-dosanya pada hari kiamat kelak. Tidakkah sepantasnya aku membeli maafnya Allah atas dosa-dosaku dengan (calon keuntunganku) 30.000 dirham, sedang tidak sedikitpun aku dirugikan??"
Keesokan harinya ternyata harga madu meningkat drastis hingga dua kali lipatnya. Sang penjual jadi menyesal telah melepaskan (menjual) pada hari sebelumnya itu. Tetapi penyesalan selalu datang terlambat, mena mungkin untuk membatalkan sedangkan uangnya telah ia terima, dan barang-barangnya telah dibawa oleh sang pembeli, guru yang saleh itu. Sedih dan penyesalan itu begitu menggelayuti pikirannya, sehingga mengundang perhatian teman-temannya.
Setelah mengetahui permasalahannya, salah seorang temannya yang sangat mengenal akhlak guru yang saleh, sang pembeli madu itu, berkata, "Besok pagi, datanglah shalat subuh bersama guru yang saleh, pembeli madumu itu, dengan membawa uang 30.000 dirham. Setelah beliau selesai shalat dan berdo'a, mendekatlah dan berkata : Saya menyesal telah menjual maduku itu pada tuan!! Itu saja, jangan ditambah dan dikurangi, insyaallah engkau tidak akan mengalami kerugian sedikitpun!!"
Ia menuruti saran temannya. Usai shalat dan berdo'a, ia segera menghadap pada sang guru dan berkata, "Wahai Tuan Guru, saya menyesal telah menjual maduku itu pada tuan!!"
Guru yang saleh itu memandangnya sesaat dan berkata kepada pembantu/pegawainya, "Bangunlah, dan kembalikan madu yang kita beli itu kepada orang ini!!"
Sang penjual sangat gembira dan mengembalikan uang 30.000 dirham yang telah diterimanya itu. Salah seorang jamaah yang hadir ada yang berkata, "Wahai Tuan Guru, sejak kemarin harga madu telah meningkat dua kali lipatnya, mengapa hanya dikembalikan begitu saja??"
Sang Guru berkata, "Mengapa tidak?? Sungguh aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda : Barang siapa mau membatalkan pembeliannya kepada orang yang menyesal dalam penjualannya, maka Allah akan memaafkan dosa-dosanya pada hari kiamat kelak. Tidakkah sepantasnya aku membeli maafnya Allah atas dosa-dosaku dengan (calon keuntunganku) 30.000 dirham, sedang tidak sedikitpun aku dirugikan??"
Rabu, 15 Juni 2016
Ketakutan Seorang Anak Kecil
Ada seorang syaikh sedang berjalan-jalan di tepian sebuah sungai, ia melihat seorang anak kecil yang belum mencapai usia baligh, sedang berwudhu sambil menangis. Hal itu menarik perhatiannya, maka ia bertanya, "Wahai anak kecil, apa yang membuatmu menangis??"
Anak itu berkata, "Wahai Tuan, aku sedang membaca Al-Qur'an, hingga sampai pada firman Allah (yakni Surah At-Tahrim ayat 6, yang artinya) :
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Para penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka, dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya (kepada mereka). Wahai Tuan, setelah membaca ayat ini, aku sangat ketakutan kalau-kalau Allah akan memasukkan aku ke dalam neraka!!"
Sang syaikh tersenyum bijak, dan berkata, "Wahai anak kecil, engkau seorang anak yang terjaga, maka janganlah kamu takut, engkau tidak patut masuk neraka!!"
Tentu saja jawabannya itu didasari kenyataan yang dilihatnya, bahwa anak sekecil itu sedang berwudhu, membaca Al-Qur'an, bahkan bisa menangis ketika menangkap makna ayat-ayat Al-Qur'an.
Tetapi mendengar jawaban sang syaikh, anak itu memandang dengan keheranan, dan berkata, "Wahai Tuan, bukankan engkau orang yang berakal sehat? Tidakkah engkau tahu, ketika manusia akan menyalakan api, ia akan membutuhkan kayu-kayu yang lebih kecil terlebih dahulu, baru kemudian kayu-kayu yang lebih besar!!"
Jawaban dari logika anak kecil, yang mungkin belum banyak memperoleh pengajaran tentang ilmu-ilmu keislaman. Tetapi hal itu sangat menyentuh sang syaikh, ia menangis lebih keras daripada tangisan anak kecil itu, dan berkata, "Anak sekecil ini lebih takut kepada neraka, bagaimana dengan keadaan kami??"
Anak itu berkata, "Wahai Tuan, aku sedang membaca Al-Qur'an, hingga sampai pada firman Allah (yakni Surah At-Tahrim ayat 6, yang artinya) :
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Para penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka, dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya (kepada mereka). Wahai Tuan, setelah membaca ayat ini, aku sangat ketakutan kalau-kalau Allah akan memasukkan aku ke dalam neraka!!"
Sang syaikh tersenyum bijak, dan berkata, "Wahai anak kecil, engkau seorang anak yang terjaga, maka janganlah kamu takut, engkau tidak patut masuk neraka!!"
Tentu saja jawabannya itu didasari kenyataan yang dilihatnya, bahwa anak sekecil itu sedang berwudhu, membaca Al-Qur'an, bahkan bisa menangis ketika menangkap makna ayat-ayat Al-Qur'an.
Tetapi mendengar jawaban sang syaikh, anak itu memandang dengan keheranan, dan berkata, "Wahai Tuan, bukankan engkau orang yang berakal sehat? Tidakkah engkau tahu, ketika manusia akan menyalakan api, ia akan membutuhkan kayu-kayu yang lebih kecil terlebih dahulu, baru kemudian kayu-kayu yang lebih besar!!"
Jawaban dari logika anak kecil, yang mungkin belum banyak memperoleh pengajaran tentang ilmu-ilmu keislaman. Tetapi hal itu sangat menyentuh sang syaikh, ia menangis lebih keras daripada tangisan anak kecil itu, dan berkata, "Anak sekecil ini lebih takut kepada neraka, bagaimana dengan keadaan kami??"
Ketika Asy Syibli Dituduh Bakhil
Dalf bin Jahdar Asy Syibli, atau lebih dikenal dengan nama kunyahnya Abu Bakar Asy Syibli, adalah seorang tokoh dan ulama tasauf yang tinggal di Baghdad pada abad ke 3-4 hijriah. Suatu ketika ia sedang tafakkur, tiba-tiba ia mendengar seruan dalam hatinya, "Engkau bakhil (kikir)??"
Dengan tegas Asy Syibli menolak tuduhan dalam hatinya itu dan berkata (di dalam hati tentunya), "Aku tidak bakhil!!"
Tetapi suara itu terus-menerus 'menuduhnya' seperti itu, "Benar, engkau memang seorang yang bakhil!!"
Karena ia tak mampu menghentikan 'suara-suara' tuduhan itu, Asy Syibli ber-azam (berniat dengan tekad sangat kuat) dalam hatinya, "Jika aku menerima rizqi pada hari ini, aku akan menyedekahkan semuanya untuk orang miskin yang pertama kali aku temui!!"
Seperti kebanyakan ulama sufi pada zamannya, sebenarnya Asy Syibli tidak pernah menumpuk atau mengumpulkan harta, sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi SAW dan para sahabat. Ia hidup sangat sederhana dan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk beribadah. Bahkan tidak jarang pada malam harinya ia bercelak dicampur dengan garam agar matanya tetap terbuka, agar tidak tertidur, dan makin banyak terisi dengan ibadah demi ibadah.
Tidak begitu lama kemudian, datang seseorang yang menyedekahkan kepadanya uang sebanyak 50 dinar. Dinar adalah uang emas, dengan kadar sekitar 22 karat dan berat hampir 4 gram. Jadi 50 dinar adalah hampir 200 gram emas berkadar 22 karat. Dengan kurs sekarang ini, jika harga emas 22 karat adalah Rp 300.000,-per gram, itu berarti sekitar Rp 60 juta. Sesuai dengan yang diniatkannya, ia berjalan berkeliling untuk mencari seorang miskin, untuk memberikan 50 dinar tersebut.
Asy Syibli berkata, "Wahai tuan, ini adalah uang-uang dinar, dan jumlahnya 50 dinar!!"
Maksud Asy Sybli adalah terlalu banyak jika semuanya itu untuk ongkos cukur, mungkin bisa disimpan sendiri oleh orang miskin dan buta itu, untuk memenuhi kebutuhannya dan memudahkan kehidupannya. Orang yang sedang bercukur itu mengangkat kepalanya, dan 'memandang' kepada Asy Syibli dengan matanya yang buta, kemudian berkata, "Bukankah telah dikatakan kepadamu, bahwa engkau adalah orang yang bakhil!!"
Asy Syibli tersentak kaget, tidak disangkanya orang buta itu mengetahui 'perdebatan' yang sedang berlangsung dalam hatinya. Dan tidak disangkanya pula bahwa sedikit 'rasa sayangnya' untuk menyerahkan 50 dinar itu kepada tukang cukur sebagai bentuk dari rasa bakhilnya. Ia berpaling kepada tukang cukur itu, yang keadaanya-pun tampaknya tidak lebih baik dari orang buta yang sedang dicukurnya. Tetapi ketika Asy Syibli menyerahkan 50 dinar itu, lagi-lagi ia mendapat 'tamparan' untuk yang kedua kalinya. Tukang cukur itu menolaknya dan berkata, "Wahai tuan, sejak orang buta ini duduk di hadapanku minta dicukur, aku telah berniat kepada Allah, tidak akan menerima bayaran apapun. Karena itu aku tidak mau menerima uang itu!!"
Asy Syibli berlalu dari kedua orang miskin tersebut dengan menangis, sambil terus mengucap istighfar, kemudian ia membuang uang 50 dinar itu ke laut.
Dengan tegas Asy Syibli menolak tuduhan dalam hatinya itu dan berkata (di dalam hati tentunya), "Aku tidak bakhil!!"
Tetapi suara itu terus-menerus 'menuduhnya' seperti itu, "Benar, engkau memang seorang yang bakhil!!"
Karena ia tak mampu menghentikan 'suara-suara' tuduhan itu, Asy Syibli ber-azam (berniat dengan tekad sangat kuat) dalam hatinya, "Jika aku menerima rizqi pada hari ini, aku akan menyedekahkan semuanya untuk orang miskin yang pertama kali aku temui!!"
Seperti kebanyakan ulama sufi pada zamannya, sebenarnya Asy Syibli tidak pernah menumpuk atau mengumpulkan harta, sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi SAW dan para sahabat. Ia hidup sangat sederhana dan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk beribadah. Bahkan tidak jarang pada malam harinya ia bercelak dicampur dengan garam agar matanya tetap terbuka, agar tidak tertidur, dan makin banyak terisi dengan ibadah demi ibadah.
Tidak begitu lama kemudian, datang seseorang yang menyedekahkan kepadanya uang sebanyak 50 dinar. Dinar adalah uang emas, dengan kadar sekitar 22 karat dan berat hampir 4 gram. Jadi 50 dinar adalah hampir 200 gram emas berkadar 22 karat. Dengan kurs sekarang ini, jika harga emas 22 karat adalah Rp 300.000,-per gram, itu berarti sekitar Rp 60 juta. Sesuai dengan yang diniatkannya, ia berjalan berkeliling untuk mencari seorang miskin, untuk memberikan 50 dinar tersebut.
Asy Syibli berkata, "Wahai tuan, ini adalah uang-uang dinar, dan jumlahnya 50 dinar!!"
Maksud Asy Sybli adalah terlalu banyak jika semuanya itu untuk ongkos cukur, mungkin bisa disimpan sendiri oleh orang miskin dan buta itu, untuk memenuhi kebutuhannya dan memudahkan kehidupannya. Orang yang sedang bercukur itu mengangkat kepalanya, dan 'memandang' kepada Asy Syibli dengan matanya yang buta, kemudian berkata, "Bukankah telah dikatakan kepadamu, bahwa engkau adalah orang yang bakhil!!"
Asy Syibli tersentak kaget, tidak disangkanya orang buta itu mengetahui 'perdebatan' yang sedang berlangsung dalam hatinya. Dan tidak disangkanya pula bahwa sedikit 'rasa sayangnya' untuk menyerahkan 50 dinar itu kepada tukang cukur sebagai bentuk dari rasa bakhilnya. Ia berpaling kepada tukang cukur itu, yang keadaanya-pun tampaknya tidak lebih baik dari orang buta yang sedang dicukurnya. Tetapi ketika Asy Syibli menyerahkan 50 dinar itu, lagi-lagi ia mendapat 'tamparan' untuk yang kedua kalinya. Tukang cukur itu menolaknya dan berkata, "Wahai tuan, sejak orang buta ini duduk di hadapanku minta dicukur, aku telah berniat kepada Allah, tidak akan menerima bayaran apapun. Karena itu aku tidak mau menerima uang itu!!"
Asy Syibli berlalu dari kedua orang miskin tersebut dengan menangis, sambil terus mengucap istighfar, kemudian ia membuang uang 50 dinar itu ke laut.
Karena Terlalu Mencintai Dunia
Suatu ketika Nabi Isa AS sedang berjalan bersama para sahabat dan penolong beliau, kaum hawariyyun yang jumlahnya 12 orang, untuk berdakwah dari satu tempat ke tempat lainnya. Mereka memasuki suatu desa yang tampak kosong, tetapi anehnya para penduduknya meninggal bergelimpangan di jalan-jalan dan di halaman rumahnya. Nabi Isa berkata, "Wahai para hawariku, sesungguhnya orang-orang ini meninggal karena kemarahan (Allah). Seandainya tidak karena hal itu, tentulah mereka masih sempat untuk menguburkan satu sama lainnya!!"
Kaum hawariyyun itu berkata, "Wahai kekasih Allah, kami ingin mengetahui cerita tentang mereka ini!!"
Nabi Isa AS berdo'a kepada Allah SWT agar diberitahukan kisah penduduk desa tersebut, maka Allah menurunkan wahyu kepada beliau, "Apabila waktu malam telah tiba, panggilah mereka, niscaya mereka akan memenuhi panggilanmu!!"
Pada malam harinya, diikuti para hawariyyun, Nabi Isa naik di tempat yang agak tinggi kemudian beliau berseru, "Wahai penduduk desa!!"
Dan suatu mu'jizat yang memang dianugerahkan Allah kepada Nabi Isa, munculah dari arah kegelapan desa itu seseorang yang berkata, "Kami memenuhi panggilanmu, wahai kekasih Allah!!"
Setelah orang itu mendekat, Nabi Isa berkata, "Bagaimana keadaanmu, dan bagaimana pula kisahmu??"
Orang itu berkata, "Kami bermalam dalam keadaan sehat wal afiat, tetapi kami bangun pagi-pagi dalam neraka hawiyah!!"
"Bagaimana hal itu bisa terjadi??" Tanya Nabi Isa AS.
Orang itu menjelaskan, "Semua itu karena kami terlalu mencintai dunia, dan kami patuh kepada orang-orang yang suka berbuat maksiat (ahlul ma'siyah)!!"
Nabi Isa bertanya lagi, "Bagaimana kecintaanmu terhadap dunia??"
Orang itu berkata, "Kami, para penduduk desa ini mencintai dunia sebagaimana seorang anak kecil mencintai ibunya. Jika dunia itu (yakni harta benda duniawiah) datang, kami merasa sangat gembira. Tetapi jika dunia itu tidak ada, maka kami sedih dan menangis karenanya!!"
Nabi Isa bertanya, "Bagaimana keadaan teman-temanmu? Mengapa ia tidak hadir memenuhi panggilanku?"
Orang itu berkata lagi, "Karena mereka dikendalikan dengan kendali api neraka, di tangan para malaikat yang kasar dan keras!!"
"Tetapi bagaimana engkau bisa menjawab panggilanku dan hadir di sini, sedang engkau ada di antara mereka?" Tanya Nabi Isa lagi.
Orang itu berkata, "Saya memang berada di antara mereka, tetapi saya tidak termasuk di antara mereka (maksudnya, tidak termasuk yang terlalu mencintai dunia, dan mematuhi orang yang suka berbuat maksiat). Ketika siksaan Allah itu turun kepada mereka, siksaan itu menimpa saya juga. Karena itu saya hanya tergantung di tepian neraka, tidak sampai terjatuh ke dalamnya. Tetapi saya tidak tahu, apakah saya akan selamat atau akhirnya akan jatuh juga ke dalam neraka?? Dan Allah mengijinkan saya untuk datang ke sini ketika engkau memanggil kami!!"
Nabi Isa mengucapkan terima kasih atas penjelasannya, kemudian ia berlalu dan menghilang lagi di kegelapan desanya. Setelah itu Nabi Isa bersabda kepada para hawariyyun, "Sungguh, makan sepotong roti sya'ir (roti yang kasar dan berkualitas rendah), memakai pakaian bulu hitam (pakaian yang sangat sederhana saat itu), dan tidur di dekat tempat sampah itu lebih banyak membawa keselamatan dunia dan akhirat!!"
Kaum hawariyyun itu berkata, "Wahai kekasih Allah, kami ingin mengetahui cerita tentang mereka ini!!"
Nabi Isa AS berdo'a kepada Allah SWT agar diberitahukan kisah penduduk desa tersebut, maka Allah menurunkan wahyu kepada beliau, "Apabila waktu malam telah tiba, panggilah mereka, niscaya mereka akan memenuhi panggilanmu!!"
Pada malam harinya, diikuti para hawariyyun, Nabi Isa naik di tempat yang agak tinggi kemudian beliau berseru, "Wahai penduduk desa!!"
Dan suatu mu'jizat yang memang dianugerahkan Allah kepada Nabi Isa, munculah dari arah kegelapan desa itu seseorang yang berkata, "Kami memenuhi panggilanmu, wahai kekasih Allah!!"
Setelah orang itu mendekat, Nabi Isa berkata, "Bagaimana keadaanmu, dan bagaimana pula kisahmu??"
Orang itu berkata, "Kami bermalam dalam keadaan sehat wal afiat, tetapi kami bangun pagi-pagi dalam neraka hawiyah!!"
"Bagaimana hal itu bisa terjadi??" Tanya Nabi Isa AS.
Orang itu menjelaskan, "Semua itu karena kami terlalu mencintai dunia, dan kami patuh kepada orang-orang yang suka berbuat maksiat (ahlul ma'siyah)!!"
Nabi Isa bertanya lagi, "Bagaimana kecintaanmu terhadap dunia??"
Orang itu berkata, "Kami, para penduduk desa ini mencintai dunia sebagaimana seorang anak kecil mencintai ibunya. Jika dunia itu (yakni harta benda duniawiah) datang, kami merasa sangat gembira. Tetapi jika dunia itu tidak ada, maka kami sedih dan menangis karenanya!!"
Nabi Isa bertanya, "Bagaimana keadaan teman-temanmu? Mengapa ia tidak hadir memenuhi panggilanku?"
Orang itu berkata lagi, "Karena mereka dikendalikan dengan kendali api neraka, di tangan para malaikat yang kasar dan keras!!"
"Tetapi bagaimana engkau bisa menjawab panggilanku dan hadir di sini, sedang engkau ada di antara mereka?" Tanya Nabi Isa lagi.
Orang itu berkata, "Saya memang berada di antara mereka, tetapi saya tidak termasuk di antara mereka (maksudnya, tidak termasuk yang terlalu mencintai dunia, dan mematuhi orang yang suka berbuat maksiat). Ketika siksaan Allah itu turun kepada mereka, siksaan itu menimpa saya juga. Karena itu saya hanya tergantung di tepian neraka, tidak sampai terjatuh ke dalamnya. Tetapi saya tidak tahu, apakah saya akan selamat atau akhirnya akan jatuh juga ke dalam neraka?? Dan Allah mengijinkan saya untuk datang ke sini ketika engkau memanggil kami!!"
Nabi Isa mengucapkan terima kasih atas penjelasannya, kemudian ia berlalu dan menghilang lagi di kegelapan desanya. Setelah itu Nabi Isa bersabda kepada para hawariyyun, "Sungguh, makan sepotong roti sya'ir (roti yang kasar dan berkualitas rendah), memakai pakaian bulu hitam (pakaian yang sangat sederhana saat itu), dan tidur di dekat tempat sampah itu lebih banyak membawa keselamatan dunia dan akhirat!!"
Selasa, 14 Juni 2016
Syahidnya Di Atas Sajadah
Manshur bin Ammar, seorang ulama sufi yang tinggal di daerah Marwa, termasuk wilayah Bashrah, suatu ketika melaksanakan ibadah haji. Dalam perjalanan itu ia singgah dan tinggal di Kufah beberapa waktu lamanya.
Suatu malam ia keluar dari penginapannya dan berjalan menyusuri jalanan yang gelap. Tiba-tiba dari suatu rumah ia mendengar suara seseorang sedang munajat (berdo'a), "Ya Rabbi, demi Keagungan dan Kebesaran-Mu, sungguh aku berbuat maksiat itu bukanlah kumaksudkan untuk menentang-Mu, dan bukan juga karena kebodohanku (akan hukum-hukum syariat-Mu), tetapi semua itu terjadi karena kesalahanku, karena kelengahanku, karena aku terlalu mengandalkan kemurahan-Mu akan menolong keadaanku. Ya Rabbi, betapa bodohnya aku telah berbuat maksiat ini, tetapi terimalah hujjahku (pengakuan dan alasanku), karena jika tidak, kesedihan yang panjang akan selalu menyiksaku!!"
Ibnu Ammar menunggu beberapa saat lamanya, tetapi tidak terdengar lagi lanjutan munajat itu. Seketika itu ia membaca cukup keras, sekiranya bisa didengar oleh orang yang munajat tersebut, salah satu ayat Al-Qur'an, "Yaa ayyuhalladziina aamanuu, quu 'anfusakumwa ahliikum naaron, wa quuduhannaasu wal hijaaratu, 'alaihaa malaa-ikatun ghilaazhun syidaadun laa ya'shuunallaaha maa amarahum wa yaf'aluuna maa yu'miruun..!!"
Ayat tersebut terdapat pada Al-Qur'an surat At-Tahrim ayat 6, yang artinya adalah : Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (Allah kepada mereka).
Setelah membaca ayat tersebut, Ibnu Ammar mendengar suara jeritan keras serta seruan yang menggetarkan. Tetapi setelah itu ia berlalu pergi kembali ke penginapannya.
Keesokan harinya Manshur bin Ammar kembali melewati rumah itu, dan ia mendengar suara ratap tangis seorang wanita di dalamnya. Beberapa orang tampak datang melayat/bertakziah karena ada yang meninggal di dalam rumah tersebut. Ia mendengar beberapa percakapan, dan wanita yang sedang menangis itu berkata, "Sesungguhnya putraku ini sedang shalat tahajud (qiyamul lail) tadi malam, setelah selesai bermunajat kepada Allah, tiba-tiba terdengar seseorang di luar rumah yang melantunkan ayat tentang ancaman neraka kepada anakku. Mendengar ayat tersebut anakku langsung kejang dan ia meninggal. Semoga Allah tidak memberikan pahala kepada orang yang melantunkan ayat tersebut!!"
Ibnu Ammar sangat terkejut mendengar perkataan tersebut. Ia segera pulang dan menangis penuh penyesalan, tidak disangkanya kalau ayat yang dilantunkannya itu menyebabkan pemuda, yakni putra sang ibu itu meninggal. Mungkin kalau didiagnosa secara medis sekarang ini bisa dikatakan terkena serangan jantung. Rasa terkejut dan takut yang begitu mendadak sehingga jantung berhenti berdetak. Ia terus menerus bertaubat kepada Allah atas 'kelancangannya' membacakan ayat sehingga menyebabkan kematian orang lain.
Pada malam harinya, Ibnu Ammar bermimpi bertemu dengan seorang pemuda dalam keadaan sebaik-baiknya. Entah kenapa ia mengenali pemuda itu adalah yang meninggal karena lantunan Surat At-Tahrim ayat 6 yang dibacanya. Padahal ia belum pernah bertemu atau mengenal dia sebelumnya, seolah ada bisikan ghaib yang memberitahukan hal itu kepadanya. Ia berkata kepada pemuda itu, "Bagaimana Allah memperlakukan dirimu??"
Pemuda itu berkata, "Allah menganggapku sebagai mati syuhada' (mati syahid), sebagaimana para syuhada' di Perang Badar!!"
Ibnu Ammar menatap pemuda itu penuh ketakjuban, sekaligus keheranan. Ia berkata, "Bagaimana bisa begitu??"
Pemuda itu berkata, "Para syuhada Perang Badar itu ditebas oleh pedang-pedang orang kafir hingga tewas, sedangkan aku ditebas oleh pedang Allah Yang Maha Pengampun!!"
Segera setelah itu Manshur bin Ammar terbangun, ia tidak lagi bersedih, justru bahagia karena telah menjadi jalan bagi pemuda itu memperoleh derajad syahid di sisi Allah.
Suatu malam ia keluar dari penginapannya dan berjalan menyusuri jalanan yang gelap. Tiba-tiba dari suatu rumah ia mendengar suara seseorang sedang munajat (berdo'a), "Ya Rabbi, demi Keagungan dan Kebesaran-Mu, sungguh aku berbuat maksiat itu bukanlah kumaksudkan untuk menentang-Mu, dan bukan juga karena kebodohanku (akan hukum-hukum syariat-Mu), tetapi semua itu terjadi karena kesalahanku, karena kelengahanku, karena aku terlalu mengandalkan kemurahan-Mu akan menolong keadaanku. Ya Rabbi, betapa bodohnya aku telah berbuat maksiat ini, tetapi terimalah hujjahku (pengakuan dan alasanku), karena jika tidak, kesedihan yang panjang akan selalu menyiksaku!!"
Ibnu Ammar menunggu beberapa saat lamanya, tetapi tidak terdengar lagi lanjutan munajat itu. Seketika itu ia membaca cukup keras, sekiranya bisa didengar oleh orang yang munajat tersebut, salah satu ayat Al-Qur'an, "Yaa ayyuhalladziina aamanuu, quu 'anfusakumwa ahliikum naaron, wa quuduhannaasu wal hijaaratu, 'alaihaa malaa-ikatun ghilaazhun syidaadun laa ya'shuunallaaha maa amarahum wa yaf'aluuna maa yu'miruun..!!"
Ayat tersebut terdapat pada Al-Qur'an surat At-Tahrim ayat 6, yang artinya adalah : Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (Allah kepada mereka).
Setelah membaca ayat tersebut, Ibnu Ammar mendengar suara jeritan keras serta seruan yang menggetarkan. Tetapi setelah itu ia berlalu pergi kembali ke penginapannya.
Keesokan harinya Manshur bin Ammar kembali melewati rumah itu, dan ia mendengar suara ratap tangis seorang wanita di dalamnya. Beberapa orang tampak datang melayat/bertakziah karena ada yang meninggal di dalam rumah tersebut. Ia mendengar beberapa percakapan, dan wanita yang sedang menangis itu berkata, "Sesungguhnya putraku ini sedang shalat tahajud (qiyamul lail) tadi malam, setelah selesai bermunajat kepada Allah, tiba-tiba terdengar seseorang di luar rumah yang melantunkan ayat tentang ancaman neraka kepada anakku. Mendengar ayat tersebut anakku langsung kejang dan ia meninggal. Semoga Allah tidak memberikan pahala kepada orang yang melantunkan ayat tersebut!!"
Ibnu Ammar sangat terkejut mendengar perkataan tersebut. Ia segera pulang dan menangis penuh penyesalan, tidak disangkanya kalau ayat yang dilantunkannya itu menyebabkan pemuda, yakni putra sang ibu itu meninggal. Mungkin kalau didiagnosa secara medis sekarang ini bisa dikatakan terkena serangan jantung. Rasa terkejut dan takut yang begitu mendadak sehingga jantung berhenti berdetak. Ia terus menerus bertaubat kepada Allah atas 'kelancangannya' membacakan ayat sehingga menyebabkan kematian orang lain.
Pada malam harinya, Ibnu Ammar bermimpi bertemu dengan seorang pemuda dalam keadaan sebaik-baiknya. Entah kenapa ia mengenali pemuda itu adalah yang meninggal karena lantunan Surat At-Tahrim ayat 6 yang dibacanya. Padahal ia belum pernah bertemu atau mengenal dia sebelumnya, seolah ada bisikan ghaib yang memberitahukan hal itu kepadanya. Ia berkata kepada pemuda itu, "Bagaimana Allah memperlakukan dirimu??"
Pemuda itu berkata, "Allah menganggapku sebagai mati syuhada' (mati syahid), sebagaimana para syuhada' di Perang Badar!!"
Ibnu Ammar menatap pemuda itu penuh ketakjuban, sekaligus keheranan. Ia berkata, "Bagaimana bisa begitu??"
Pemuda itu berkata, "Para syuhada Perang Badar itu ditebas oleh pedang-pedang orang kafir hingga tewas, sedangkan aku ditebas oleh pedang Allah Yang Maha Pengampun!!"
Segera setelah itu Manshur bin Ammar terbangun, ia tidak lagi bersedih, justru bahagia karena telah menjadi jalan bagi pemuda itu memperoleh derajad syahid di sisi Allah.
Senin, 13 Juni 2016
Kesabaran Di Jalan Allah
Di masa nabi-nabi terdahulu, sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW, ada seorang rahib yang menghabiskan waktunya hanya untuk beribadah kepada Allah di biaranya. Begitu gencarnya beribadah sehingga ia mencapai derajat keimanan yang tinggi, beberapa malaikat diizinkan Allah untuk mengunjunginya pagi dan sore hari, untuk menanyakan keperluannya. Tetapi tidak ada yang dimintanya, kecuali sekedar makanan dan minuman untuk bisa membuatnya tetap kuat beribadah. Maka Allah menumbuhkan pohon anggur di biaranya, yang buahnya bisa dipetiknya setiap kali ia membutuhkan. Jika merasa haus, ia cukup menadahkan tangan ke udara, maka akan mengucur air dari udara untuk minumannya.
Tetapi tidak ada keimanan yang sebenarnya, kecuali harus mengalami pengujian. Allah telah berfirman dalam Al-Qur'an Surat Al-Ankabut ayat 2 dan 3, "Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan : 'Kami telah beriman', sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami (Allah) telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta."
Begitu juga yang terjadi pada sang rahib. Pada suatu malam datang seorang wanita sangat cantik, berseru di depan biaranya, "Wahai pendeta, saya mohon pertolonganmu. Demi Tuhan yang engkau sembah, berilah aku tempat bermalam karena rumahku sangat jauh..!!"
Sebagai seseorang yang berakhlak mulia, segera saja sang rahib berkata, "Naiklah, silahkan bermalam di tempat ini!!"
Wanita itu masuk ke dalam biara. Mungkin memang dikehendaki Allah untuk menjadi 'batu ujian' bagi sang rahib, tiba-tiba ia merasakan cinta dan suka kepada sang rahib yang tampak sangat sederhana tetapi menenangkan itu, perasaan gairah yang menggelora seakan tidak tertahankan. Untuk menarik nafsu sang rahib, wanita itu melepaskan semua pakaiannya, kemudian berlenggak-lenggok di depannya.
Sang rahib segera menutup matanya dengan kedua tangannya, dan berkata, "Kenakanlah kembali pakaianmu, janganlah telanjang!!"
Wanita itu berkata, "Saya sangat ingin bersenang-senang denganmu malam ini!!"
Bagaimana juga sang rahib itu masih lelaki yang normal. Nafsunya terbangkitkan ketika sepintas melihat keindahan tubuh dan mendengar keinginan wanita itu, karena itu terjadi perdebatan di dalam dirinya, antara akal sehat (kalbu)-nya dan nafsunya. Dan dengan kehendak Allah, wanita itu bisa 'mendengarkan' perdebatan tersebut.
Akal sehatnya berkata, "Bertaqwalah kepada Allah!!"
Sang nafsu berkata, "Ini kesempatan emas, kapan lagi engkau bisa bersenang-senang dengan seorang wanita yang secantik ini!!"
Akal sehatnya berkata, "Celaka dirimu, engkau akan menghilangkan ibadahku, dan akan merasakan kepadaku pakaian aspal dari neraka. Aku khawatirkan atasmu siksaan api neraka yang takkan pernah padam, siksaan yang tidak pernah terhenti, bahkan lebih berat dari semua itu, aku sangat takut akan kemurkaan Allah, dan kehilangan keridhaan-Nya..!!"
Tetapi sang nafsu terus saja merayunya untuk mau melayani keinginan wanita cantik itu. Ia terus merengek-rengek seperti anak kecil yang minta dibelikan es oleh ibunya. Akal sehatnya hampir tak mampu lagi mencegah rengekan sang nafsu itu. Maka sang rahib, yakni akal sehatnya, berkata kepada nafsunya, "Kini engkau semakin kuat saja, baiklah kalau begitu!! Aku akan mencoba dirimu dengan api yang kecil, jika engkau memang kuat menahannya, aku akan memenuhi keinginanmu memuaskan dirimu dengan wanita cantik ini!!"
Lalu sang rahib mengisikan minyak pada lampunya, dan membesarkan nyalanya. Sementara itu sang wanita cantik, yang bisa 'mengikuti' percakapan dalam diri sang rahib tampak was-was dan khawatir. Benar saja yang dikhawatirkan, sang rahib memasukkan jari-jari tangannya ke dalam api. Pertama ibu jarinya terbakar, kemudian telunjuk, menyusul kemudian jari-jemarinya yang lain. Melihat pemandangan yang mengerikan itu, sang wanita tak kuat menahan perasaannya. Antara tidak tega dan mungkin ketakutan akan siksa neraka sebagaimana digambarkan oleh akal sehat sang rahib, kemudian ia menjerit keras sekali, begitu kerasnya hingga jantungnya berhenti berdetak dan ia meninggal seketika.
Begitu melihat wanita itu mati, nafsunya segera saja padam. Sang rahib menutupi jenazah wanita itu dengan kain dan ia mematikan lampunya. Tanpa memperdulikan tangannya yang sakit akibat terbakar, sang rahib meneruskan shalat dan ibadahnya.
Keesokan harinya, Iblis yang menjelma menjadi salah seorang penduduk kampung itu menyebarkan berita kalau sang rahib telah berzina dan membunuh wanita yang dizinainya. Kabar itu sampai di telinga sang raja, yang segera saja mendatangi sang rahib beserta pengawal dan bala tentaranya. Sampai di biara, sang raja berkata, "Wahai rahib, dimanakah Fulanah binti Fulan (yakni wanita cantik itu)??"
Rahib berkata, "Ia ada di dalam biara!!"
Raja berkata, "Suruhlah ia keluar!!"
Rahib berkata, "Ia telah mati!!"
Raja berkata dengan murka, "Biadab sekali engkau ini, tidak cukup engkau menzinainya, bahkan engkau membunuhnya setelah itu!!"
Maka raja memerintahkan pengawalnya untuk menangkap dan mengikat sang rahib, tanpa mau mendengarkan alasan dan penjelasannya lebih lanjut. Mungkin fitnah yang disebarkan oleh iblis yang menyerupai penduduk kampung itu begitu hebatnya, sehingga sang raja tidak lagi mau mendengar penjelasan peristiwa itu dari sisi sang rahib. Mereka membawanya ke alun-alun dimana hukuman biasa dilaksanakan, jenazah wanita itu dibawa serta seolah-olah sebagai saksi atas kejahatan yang dilakukan kepadanya.
Dengan kaki, tangan dan leher terikat, sang algojo meletakan gergaji di atas kepalanya. Ketika gergaji mulai membelah batok kepalanya, sang rahib sempat mengeluh pelan. Seketika itu Allah memerintahkan Malaikat Jibril turun ke bumi, sambil berfirman, "Katakan kepada rahib itu, janganlah mengeluh untuk kedua kalinya, karena sesungguhnya Aku melihat semua itu. Katakan juga kepadanya bahwa kesabarannya (sejak ia digoda sang wanita cantik hingga saat itu), telah membuat penduduk langit menangis, begitu juga dengan hamalatul arsy (malaikat penyangga arsy). Demi kemuliaan dan kebesaran-Ku, jika engkau mengeluh sekali lagi, tentulah akan Aku binasakan langit dan Aku longsorkan bumi!!"
Jibril segera turun dan menyampaikan firman Allah tersebut, maka sang rahib menahan dirinya untuk tidak mengeluh, sesakit apapun yang dirasakannya. Ia tidak ingin menjadi penyebab kemurkaan Allah, sehingga alam semesta ini hancur. Mulutnya terus mengucap dzikir dan istighfar hingga akhirnya malaikat maut menjemputnya.
Setelah sang rahib wafat, dan banyak sekali orang yang menghinakan dirinya, Allah berkenan mengembalikan ruh sang wanita itu untuk sesaat. Seketika itu sang wanita bangun, yang membuat orang-orang di sekitarnya, termasuk raja dan para pengawal serta bala tentaranya terkejut dan ketakutan. Wanita itu berkata, "Demi Allah, rahib itu teraniaya, dia tidak berzina denganku dan tidak pula dia membunuhku.."
Kemudian wanita itu menceritakan secara lengkap peristiwa yang dialaminya, dan ia menutup perkataannya dengan kalimat, "..kalau kalian tidak percaya, periksalah tangannya yang dalam keadaan terbakar!!"
Setelah itu sang wanita meninggal lagi. Mereka segera memeriksa tangan sang rahib, dan benar seperti dikatakan wanita tersebut. Mereka menyesal telah bersikap gegabah, sang raja berkata, "Andaikan kami mengetahui yang sebenarnya, tentulah kami tidak akan menggergaji engkau!!"
Mereka segera merawat dua jenazah tersebut dan menguburkannya dalam satu lubang. Setelah tanah mulai menutupi jenazah keduanya, tercium bau harum kasturi keluar dari lubang kubur tersebut. Kemudian terdengar hatif (suara tanpa wujud), "Allah telah menegakkan mizan (timbangan) dan mempersaksikan kepada para malaikat-Nya : Aku persaksikan kepada kalian semua, bahwa Aku telah mengawinkan mereka dan juga (mengawinkan rahib itu) dengan 50 bidadari di surga Firdaus. Demikian itulah balasan bagi orang-orang yang selalu waspada dan bersabar di jalan-Ku!!"
Tetapi tidak ada keimanan yang sebenarnya, kecuali harus mengalami pengujian. Allah telah berfirman dalam Al-Qur'an Surat Al-Ankabut ayat 2 dan 3, "Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan : 'Kami telah beriman', sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami (Allah) telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta."
Begitu juga yang terjadi pada sang rahib. Pada suatu malam datang seorang wanita sangat cantik, berseru di depan biaranya, "Wahai pendeta, saya mohon pertolonganmu. Demi Tuhan yang engkau sembah, berilah aku tempat bermalam karena rumahku sangat jauh..!!"
Sebagai seseorang yang berakhlak mulia, segera saja sang rahib berkata, "Naiklah, silahkan bermalam di tempat ini!!"
Wanita itu masuk ke dalam biara. Mungkin memang dikehendaki Allah untuk menjadi 'batu ujian' bagi sang rahib, tiba-tiba ia merasakan cinta dan suka kepada sang rahib yang tampak sangat sederhana tetapi menenangkan itu, perasaan gairah yang menggelora seakan tidak tertahankan. Untuk menarik nafsu sang rahib, wanita itu melepaskan semua pakaiannya, kemudian berlenggak-lenggok di depannya.
Sang rahib segera menutup matanya dengan kedua tangannya, dan berkata, "Kenakanlah kembali pakaianmu, janganlah telanjang!!"
Wanita itu berkata, "Saya sangat ingin bersenang-senang denganmu malam ini!!"
Bagaimana juga sang rahib itu masih lelaki yang normal. Nafsunya terbangkitkan ketika sepintas melihat keindahan tubuh dan mendengar keinginan wanita itu, karena itu terjadi perdebatan di dalam dirinya, antara akal sehat (kalbu)-nya dan nafsunya. Dan dengan kehendak Allah, wanita itu bisa 'mendengarkan' perdebatan tersebut.
Akal sehatnya berkata, "Bertaqwalah kepada Allah!!"
Sang nafsu berkata, "Ini kesempatan emas, kapan lagi engkau bisa bersenang-senang dengan seorang wanita yang secantik ini!!"
Akal sehatnya berkata, "Celaka dirimu, engkau akan menghilangkan ibadahku, dan akan merasakan kepadaku pakaian aspal dari neraka. Aku khawatirkan atasmu siksaan api neraka yang takkan pernah padam, siksaan yang tidak pernah terhenti, bahkan lebih berat dari semua itu, aku sangat takut akan kemurkaan Allah, dan kehilangan keridhaan-Nya..!!"
Tetapi sang nafsu terus saja merayunya untuk mau melayani keinginan wanita cantik itu. Ia terus merengek-rengek seperti anak kecil yang minta dibelikan es oleh ibunya. Akal sehatnya hampir tak mampu lagi mencegah rengekan sang nafsu itu. Maka sang rahib, yakni akal sehatnya, berkata kepada nafsunya, "Kini engkau semakin kuat saja, baiklah kalau begitu!! Aku akan mencoba dirimu dengan api yang kecil, jika engkau memang kuat menahannya, aku akan memenuhi keinginanmu memuaskan dirimu dengan wanita cantik ini!!"
Lalu sang rahib mengisikan minyak pada lampunya, dan membesarkan nyalanya. Sementara itu sang wanita cantik, yang bisa 'mengikuti' percakapan dalam diri sang rahib tampak was-was dan khawatir. Benar saja yang dikhawatirkan, sang rahib memasukkan jari-jari tangannya ke dalam api. Pertama ibu jarinya terbakar, kemudian telunjuk, menyusul kemudian jari-jemarinya yang lain. Melihat pemandangan yang mengerikan itu, sang wanita tak kuat menahan perasaannya. Antara tidak tega dan mungkin ketakutan akan siksa neraka sebagaimana digambarkan oleh akal sehat sang rahib, kemudian ia menjerit keras sekali, begitu kerasnya hingga jantungnya berhenti berdetak dan ia meninggal seketika.
Begitu melihat wanita itu mati, nafsunya segera saja padam. Sang rahib menutupi jenazah wanita itu dengan kain dan ia mematikan lampunya. Tanpa memperdulikan tangannya yang sakit akibat terbakar, sang rahib meneruskan shalat dan ibadahnya.
Keesokan harinya, Iblis yang menjelma menjadi salah seorang penduduk kampung itu menyebarkan berita kalau sang rahib telah berzina dan membunuh wanita yang dizinainya. Kabar itu sampai di telinga sang raja, yang segera saja mendatangi sang rahib beserta pengawal dan bala tentaranya. Sampai di biara, sang raja berkata, "Wahai rahib, dimanakah Fulanah binti Fulan (yakni wanita cantik itu)??"
Rahib berkata, "Ia ada di dalam biara!!"
Raja berkata, "Suruhlah ia keluar!!"
Rahib berkata, "Ia telah mati!!"
Raja berkata dengan murka, "Biadab sekali engkau ini, tidak cukup engkau menzinainya, bahkan engkau membunuhnya setelah itu!!"
Maka raja memerintahkan pengawalnya untuk menangkap dan mengikat sang rahib, tanpa mau mendengarkan alasan dan penjelasannya lebih lanjut. Mungkin fitnah yang disebarkan oleh iblis yang menyerupai penduduk kampung itu begitu hebatnya, sehingga sang raja tidak lagi mau mendengar penjelasan peristiwa itu dari sisi sang rahib. Mereka membawanya ke alun-alun dimana hukuman biasa dilaksanakan, jenazah wanita itu dibawa serta seolah-olah sebagai saksi atas kejahatan yang dilakukan kepadanya.
Dengan kaki, tangan dan leher terikat, sang algojo meletakan gergaji di atas kepalanya. Ketika gergaji mulai membelah batok kepalanya, sang rahib sempat mengeluh pelan. Seketika itu Allah memerintahkan Malaikat Jibril turun ke bumi, sambil berfirman, "Katakan kepada rahib itu, janganlah mengeluh untuk kedua kalinya, karena sesungguhnya Aku melihat semua itu. Katakan juga kepadanya bahwa kesabarannya (sejak ia digoda sang wanita cantik hingga saat itu), telah membuat penduduk langit menangis, begitu juga dengan hamalatul arsy (malaikat penyangga arsy). Demi kemuliaan dan kebesaran-Ku, jika engkau mengeluh sekali lagi, tentulah akan Aku binasakan langit dan Aku longsorkan bumi!!"
Jibril segera turun dan menyampaikan firman Allah tersebut, maka sang rahib menahan dirinya untuk tidak mengeluh, sesakit apapun yang dirasakannya. Ia tidak ingin menjadi penyebab kemurkaan Allah, sehingga alam semesta ini hancur. Mulutnya terus mengucap dzikir dan istighfar hingga akhirnya malaikat maut menjemputnya.
Setelah sang rahib wafat, dan banyak sekali orang yang menghinakan dirinya, Allah berkenan mengembalikan ruh sang wanita itu untuk sesaat. Seketika itu sang wanita bangun, yang membuat orang-orang di sekitarnya, termasuk raja dan para pengawal serta bala tentaranya terkejut dan ketakutan. Wanita itu berkata, "Demi Allah, rahib itu teraniaya, dia tidak berzina denganku dan tidak pula dia membunuhku.."
Kemudian wanita itu menceritakan secara lengkap peristiwa yang dialaminya, dan ia menutup perkataannya dengan kalimat, "..kalau kalian tidak percaya, periksalah tangannya yang dalam keadaan terbakar!!"
Setelah itu sang wanita meninggal lagi. Mereka segera memeriksa tangan sang rahib, dan benar seperti dikatakan wanita tersebut. Mereka menyesal telah bersikap gegabah, sang raja berkata, "Andaikan kami mengetahui yang sebenarnya, tentulah kami tidak akan menggergaji engkau!!"
Mereka segera merawat dua jenazah tersebut dan menguburkannya dalam satu lubang. Setelah tanah mulai menutupi jenazah keduanya, tercium bau harum kasturi keluar dari lubang kubur tersebut. Kemudian terdengar hatif (suara tanpa wujud), "Allah telah menegakkan mizan (timbangan) dan mempersaksikan kepada para malaikat-Nya : Aku persaksikan kepada kalian semua, bahwa Aku telah mengawinkan mereka dan juga (mengawinkan rahib itu) dengan 50 bidadari di surga Firdaus. Demikian itulah balasan bagi orang-orang yang selalu waspada dan bersabar di jalan-Ku!!"
Selasa, 17 Mei 2016
Berperan Membagikan Rezeki Allah
Syaqiq bin Ibrahim, nama kunyahnya Abu Ali, adalah seorang guru dan ulama sufi yang tinggal di kota Balkh, termasuk wilayah Khurasan, sehingga lebih dikenal dengan nama Syaqiq Al-Balkhi. Ia berasal dari keluarga saudagar yang kaya raya, dan akhirnya mewarisi pekerjaan manjadi pedagang yang sukses juga. Ia wafat pada tahun 194 Hijriah atau 810 Masehi. Hidupnya selalu bergelimang kekayaan dan kemewahan dunia, hingga ia mengalami suatu peristiwa yang mengubah jalan hidupnya menjadi seorang sufi yang zuhud.
Suatu ketika ia sedang membawa kafilahnya ke Turki, dengan membawa bermacam-macam barang dagangan. Di sana ia melihat sebuah tempat penyembahan berhala, dengan para pelayan atau pekerjanya yang berkepala gundul dan mencukur halus jenggotnya, serta berpakaian serba hijau. Mungkin kalau di Asia (Indonesia, India, Cina, Thailand dan lain-lainnya) seperti para biksu atau pendeta Budha yang berpakaian kuning. Syaqiq tertarik untuk memasuki tempat tersebut sekaligus berdakwah kepada mereka untuk meninggalkan penyembahan berhala dan memeluk agama Islam.
Setelah masuk dan bertemu salah seorang pelayan rumah ibadah itu, Syaqiq berkata, "Wahai pelayan, sesungguhnya kamu mempunyai Tuhan Yang Maha Menciptakan, Maha Hidup, Maha Mengetahui dan Maha Kuasa, maka sembahlah Dia, janganlah engkau menyembah berhala-berhala ini, yang tidak bisa mencelakakan ataupun menguntungkan!!"
Pelayan itu menatap tajam Syaqiq yang berpakaian bagus, yang menunjukan kalau ia seorang pedagang yang kaya, kemudian berkata, "Jika yang engkau ucapkan itu memeng benar, bahwa Tuhanmu itu Maha Kuasa, tentulah Ia bisa memberikan rezeki kamu di negerimu sendiri, mengapa pula kamu susah-susah datang kemari untuk berdagang??"
Apa yang disampaikan oleh pelayan itu mungkin hanya berupa argumentasi sederhana untuk membela diri, karena Syaqiq telah 'menonjok' aqidah dan keyakinannya, satu hal yang sifatnya pribadi, yang seharusnya disampaikan dengan cara lebih bijaksana. Tetapi justru karena perkataanya yang sederhana itu, seolah-olah Syaqiq diingatkan kalau selama ini ia terlalu sibuk dengan urusan dunianya. Berkelana dengan kafilah dagangnya dari satu negeri ke negeri lainnya hanya untuk menumpuk kekayaan, sementara untuk urusan bekal akhirat, ia melakukan hanya sekedarnya saja. Segera saja ia mengemasi perniagaannya dan kembali ke Khurasan, kemudian menjalani kehidupannya dengan lebih zuhud terhadap dunia.
Tidak hanya itu saja, tetapi ada beberapa peristiwa lagi yang membuat tekad Syaqiq semakin kuat untuk meninggalkan perniagaan dan segala kesibukan dunianya. Misalnya, suatu ketika di masa paceklik dan perekonomian yang sangat sulit, Syaqiq melihat seorang budak yang bermain dan bersenang-senang saja, sementara orang-orang mengerumuni dirinya. Dengan heran Syaqiq berkata kepada budak tersebut, "Apa yang engkau lakukan ini? Tidaklah engkau melihat orang-orang mengalami kesulitan di masa paceklik ini?? Sebaiknya engkau mengerjakan sesuatu yang bisa menghasilkan bagi tuanmu!!"
Tetapi dengan santainya budak itu berkata, "Saya tidak perlu bersusah payah walau masa paceklik seperti ini. Tuanku seorang yang sangat kaya, ia mempunyai banyak sekali ladang di desa, yang kami semua bebas mengambil hasilnya, apapun yang kami butuhkan!!"
Lagi-lagi hanya jawaban dengan logika sederhana, tetapi mampu merasuk ke lubuk hatinya yang terdalam, ia menggumam, "Kalau tuannya budak ini hanya seorang kaya di satu atau beberapa desa, yang sebenarnya ia miskin, dan budak ini tidak ambil pusing dengan rezekinya. Maka, bagaimana mungkin seorang muslim akan dipusingkan dengan rezekinya, sedang 'tuan'-nya adalah Allah Yang Maha Kaya??"
Suatu ketika ia beribadah haji ke Mekkah dan ia bertemu dengan Ibrahim bin Adham, yang sebelumnya adalah putra raja di Balkh, daerah tempat tinggalnya. Dalam pertemuan itu, Ibrahim berkata kepada Syaqiq, "Apakah yang menyebabkan kamu memutuskan untuk menempuh jalan ini??"
Yakni, memilih jalan hidup seorang sufi yang zuhud. Sebagai seorang putra raja, sedikit banyak Ibrahim mengenal latar belakang keluarga Syaqiq, sehingga perubahan sikap hidupnya itu, seperti juga yang dialaminya sendiri, adalah sesuatu hal yang luar biasa.
Dari banyak peristiwa yang dialaminya sehingga memantapkan dirinya menempuh jalan hidup seorang sufi, Syaqiq menceritakan salah satunya. Ia berkata, "Aku pernah melewati suatu padang yang sangat luas, dan kulihat seekor burung yang patah kedua sayapnya, tetapi ia masih hidup. Maka aku berkata pada diriku sendiri : Perhatikanlah, dari jalan manakah Allah akan memberikan rezeki pada burung ini??"
Setelah itu Syaqiq duduk agak jauh sambil memperhatikan burung tersebut. Cukup lama ia bersabar, sampai akhirnya muncul seekor burung lainnya dengan belalang di paruhnya. Belalang itu ditaruh di paruh atau mulut burung yang patah sayapnya itu, yang segera memakannya. Ia berkata dalam hatinya, "Sesungguhnya Allah telah mendatangkan burung ini dengan membawa makanan bagi burung yang patah sayapnya, yang tidak mampu berusaha sendiri untuk memperoleh bagian rezekinya. Karena itu, tentulah Allah sangat mampu (berkuasa) untuk mendatangkan rezeki padaku dimanapun aku berada!!"
Mengakhiri ceritanya itu, Syaqiq berkata kepada Ibrahim bin Adham, "Setelah peristiwa itu saya meninggalkan semua aktivitas dunia perniagaan, mengisi waktu hanya dengan beribadah kepada Allah dan menuntut ilmu..!!"
Mendengar penjelasannya itu, Ibrahim berkata, "Mengapa engkau tidak memilih menjadi burung yang sehat itu, yang menyampaikan rezeki Allah (memberi makan) kepada burung yang sakit?? Tidaklah engkau pernah mendengar sabda Rasulullah SAW : Tangan yang di atas lebih utama daripada tangan yang di bawah? Juga sabda beliau : Dan diantara tanda-tanda seorang mukmin itu ialah mencari yang lebih tinggi tingkatannya (sesuai kemampuannya) dari dua derajat dalam segala urusannya, sehingga ia mencapai derajat orang-orang yang berbuat kebaikan (mukhsinin)..!!"
Syaqiq tersentak kaget dengan perkataan Ibrahim bin Adham tersebut. Disangkanya, kehidupan 'tajrid', yakni hanya berpasrah kepada rezeki yang dibagikan Allah tanpa banyak berusaha, kemudian menghabiskan waktu semata-mata untuk beribadah adalah derajat tertinggi, bagi orang-orang yang memutuskan untuk menempuh jalan sufi, jalan hidup yang zuhud terhadap dunia. Tetapi dengan perkataan Ibrahim itu ia tersadarkan, bahwa tidak mesti seperti itu. Masing-masing orang mungkin memiliki amalan berbeda dalam memperoleh derajat tinggi di sisi Allah, sesuai dengan kondisi yang diadakan Allah untuk dirinya.
Syaqiq segera memegang tangan Ibrahim bin Adham dan berkata, "Wahai Abu Ishaq, engkau adalah guru kami, bimbinglah kami di jalan ini!!"
Setelah itu Syaqiq terjun kembali di dunia perniagaan, walaupun hanya sekedarnya saja. Sekedar untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya secara sederhana, dan memenuhi kebutuhan hidupnya secara sederhana, dan membantu orang-orang di sekitarnya yang membutuhkan pertolongan secara finansial. Porsi waktunya masih tetap lebih banyak dihabiskan untuk beribadah kepada Allah dan menuntut ilmu. Inilah derajat dan amalan yang dicontohkan oleh beberapa sahabat Nabi SAW, seperti Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Qais bin Sa'ad dan banyak lagi sahabat lainnya.
Suatu ketika ia sedang membawa kafilahnya ke Turki, dengan membawa bermacam-macam barang dagangan. Di sana ia melihat sebuah tempat penyembahan berhala, dengan para pelayan atau pekerjanya yang berkepala gundul dan mencukur halus jenggotnya, serta berpakaian serba hijau. Mungkin kalau di Asia (Indonesia, India, Cina, Thailand dan lain-lainnya) seperti para biksu atau pendeta Budha yang berpakaian kuning. Syaqiq tertarik untuk memasuki tempat tersebut sekaligus berdakwah kepada mereka untuk meninggalkan penyembahan berhala dan memeluk agama Islam.
Setelah masuk dan bertemu salah seorang pelayan rumah ibadah itu, Syaqiq berkata, "Wahai pelayan, sesungguhnya kamu mempunyai Tuhan Yang Maha Menciptakan, Maha Hidup, Maha Mengetahui dan Maha Kuasa, maka sembahlah Dia, janganlah engkau menyembah berhala-berhala ini, yang tidak bisa mencelakakan ataupun menguntungkan!!"
Pelayan itu menatap tajam Syaqiq yang berpakaian bagus, yang menunjukan kalau ia seorang pedagang yang kaya, kemudian berkata, "Jika yang engkau ucapkan itu memeng benar, bahwa Tuhanmu itu Maha Kuasa, tentulah Ia bisa memberikan rezeki kamu di negerimu sendiri, mengapa pula kamu susah-susah datang kemari untuk berdagang??"
Apa yang disampaikan oleh pelayan itu mungkin hanya berupa argumentasi sederhana untuk membela diri, karena Syaqiq telah 'menonjok' aqidah dan keyakinannya, satu hal yang sifatnya pribadi, yang seharusnya disampaikan dengan cara lebih bijaksana. Tetapi justru karena perkataanya yang sederhana itu, seolah-olah Syaqiq diingatkan kalau selama ini ia terlalu sibuk dengan urusan dunianya. Berkelana dengan kafilah dagangnya dari satu negeri ke negeri lainnya hanya untuk menumpuk kekayaan, sementara untuk urusan bekal akhirat, ia melakukan hanya sekedarnya saja. Segera saja ia mengemasi perniagaannya dan kembali ke Khurasan, kemudian menjalani kehidupannya dengan lebih zuhud terhadap dunia.
Tidak hanya itu saja, tetapi ada beberapa peristiwa lagi yang membuat tekad Syaqiq semakin kuat untuk meninggalkan perniagaan dan segala kesibukan dunianya. Misalnya, suatu ketika di masa paceklik dan perekonomian yang sangat sulit, Syaqiq melihat seorang budak yang bermain dan bersenang-senang saja, sementara orang-orang mengerumuni dirinya. Dengan heran Syaqiq berkata kepada budak tersebut, "Apa yang engkau lakukan ini? Tidaklah engkau melihat orang-orang mengalami kesulitan di masa paceklik ini?? Sebaiknya engkau mengerjakan sesuatu yang bisa menghasilkan bagi tuanmu!!"
Tetapi dengan santainya budak itu berkata, "Saya tidak perlu bersusah payah walau masa paceklik seperti ini. Tuanku seorang yang sangat kaya, ia mempunyai banyak sekali ladang di desa, yang kami semua bebas mengambil hasilnya, apapun yang kami butuhkan!!"
Lagi-lagi hanya jawaban dengan logika sederhana, tetapi mampu merasuk ke lubuk hatinya yang terdalam, ia menggumam, "Kalau tuannya budak ini hanya seorang kaya di satu atau beberapa desa, yang sebenarnya ia miskin, dan budak ini tidak ambil pusing dengan rezekinya. Maka, bagaimana mungkin seorang muslim akan dipusingkan dengan rezekinya, sedang 'tuan'-nya adalah Allah Yang Maha Kaya??"
Suatu ketika ia beribadah haji ke Mekkah dan ia bertemu dengan Ibrahim bin Adham, yang sebelumnya adalah putra raja di Balkh, daerah tempat tinggalnya. Dalam pertemuan itu, Ibrahim berkata kepada Syaqiq, "Apakah yang menyebabkan kamu memutuskan untuk menempuh jalan ini??"
Yakni, memilih jalan hidup seorang sufi yang zuhud. Sebagai seorang putra raja, sedikit banyak Ibrahim mengenal latar belakang keluarga Syaqiq, sehingga perubahan sikap hidupnya itu, seperti juga yang dialaminya sendiri, adalah sesuatu hal yang luar biasa.
Dari banyak peristiwa yang dialaminya sehingga memantapkan dirinya menempuh jalan hidup seorang sufi, Syaqiq menceritakan salah satunya. Ia berkata, "Aku pernah melewati suatu padang yang sangat luas, dan kulihat seekor burung yang patah kedua sayapnya, tetapi ia masih hidup. Maka aku berkata pada diriku sendiri : Perhatikanlah, dari jalan manakah Allah akan memberikan rezeki pada burung ini??"
Setelah itu Syaqiq duduk agak jauh sambil memperhatikan burung tersebut. Cukup lama ia bersabar, sampai akhirnya muncul seekor burung lainnya dengan belalang di paruhnya. Belalang itu ditaruh di paruh atau mulut burung yang patah sayapnya itu, yang segera memakannya. Ia berkata dalam hatinya, "Sesungguhnya Allah telah mendatangkan burung ini dengan membawa makanan bagi burung yang patah sayapnya, yang tidak mampu berusaha sendiri untuk memperoleh bagian rezekinya. Karena itu, tentulah Allah sangat mampu (berkuasa) untuk mendatangkan rezeki padaku dimanapun aku berada!!"
Mengakhiri ceritanya itu, Syaqiq berkata kepada Ibrahim bin Adham, "Setelah peristiwa itu saya meninggalkan semua aktivitas dunia perniagaan, mengisi waktu hanya dengan beribadah kepada Allah dan menuntut ilmu..!!"
Mendengar penjelasannya itu, Ibrahim berkata, "Mengapa engkau tidak memilih menjadi burung yang sehat itu, yang menyampaikan rezeki Allah (memberi makan) kepada burung yang sakit?? Tidaklah engkau pernah mendengar sabda Rasulullah SAW : Tangan yang di atas lebih utama daripada tangan yang di bawah? Juga sabda beliau : Dan diantara tanda-tanda seorang mukmin itu ialah mencari yang lebih tinggi tingkatannya (sesuai kemampuannya) dari dua derajat dalam segala urusannya, sehingga ia mencapai derajat orang-orang yang berbuat kebaikan (mukhsinin)..!!"
Syaqiq tersentak kaget dengan perkataan Ibrahim bin Adham tersebut. Disangkanya, kehidupan 'tajrid', yakni hanya berpasrah kepada rezeki yang dibagikan Allah tanpa banyak berusaha, kemudian menghabiskan waktu semata-mata untuk beribadah adalah derajat tertinggi, bagi orang-orang yang memutuskan untuk menempuh jalan sufi, jalan hidup yang zuhud terhadap dunia. Tetapi dengan perkataan Ibrahim itu ia tersadarkan, bahwa tidak mesti seperti itu. Masing-masing orang mungkin memiliki amalan berbeda dalam memperoleh derajat tinggi di sisi Allah, sesuai dengan kondisi yang diadakan Allah untuk dirinya.
Syaqiq segera memegang tangan Ibrahim bin Adham dan berkata, "Wahai Abu Ishaq, engkau adalah guru kami, bimbinglah kami di jalan ini!!"
Setelah itu Syaqiq terjun kembali di dunia perniagaan, walaupun hanya sekedarnya saja. Sekedar untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya secara sederhana, dan memenuhi kebutuhan hidupnya secara sederhana, dan membantu orang-orang di sekitarnya yang membutuhkan pertolongan secara finansial. Porsi waktunya masih tetap lebih banyak dihabiskan untuk beribadah kepada Allah dan menuntut ilmu. Inilah derajat dan amalan yang dicontohkan oleh beberapa sahabat Nabi SAW, seperti Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Qais bin Sa'ad dan banyak lagi sahabat lainnya.
Ketika Malaikat Membantu Manusia
Suatu ketika Ali bin Abi Thalib baru saja pulang dan berkata kepada istrinya, Fathimah Az-Zahra, "Wahai wanita yang mulia, apakah kamu mempunyai makanan untuk suamimu ini??"
Fathimah berkata,"Demi Allah aku tidak mempunyai sesuatu (makanan apapun), tetapi ini ada enam dirham (uang perak), hasil kerjaku dan Salman Al-Farisi memintal bulu-bulu domba milik orang Yahudi. Rencananya akan kubelikan makanan untuk Hasan dan Husein!!"
Begitulah memang keadaan Fathimah Az-Zahra, putri kesayangan Rasulullah SAW itu dan keluarganya. Sebenarnya kalau saja mereka mau, mudah saja bagi mereka untuk mengumpulkan harta dan hidup bergelimang kemewahan dunia. Tetapi seperti halnya Rasulullah SAW, mereka memilih untuk zuhud dalam kehidupan dunia ini. Tidak jarang Fathimah dan Ali bekerja menimba air untuk menyiram kebun kurma milik orang-orang Yahudi, memintal bulu-bulu domba, memilah-milah kurma dan lain-lainnya. Inilah gambaran kehidupan seorang wanita, yang Nabi SAW pernah bersabda, "Penghulu kaum wanita di surga adalah Fathimah Az-Zahra!!"
Mendengar jawaban istrinya itu, Ali berkata, "Biar aku saja yang membeli makanan itu!!"
Maka Fathimah menyerahkan uang enam dirham itu kepada suaminya, yang segera saja pergi meninggalkan rumah. Tetapi dalam perjalanan untuk membeli makanan itu, Ali bertemu seorang lelaki yang berkata, "Siapakah orang yang mau meminjami Tuhan Yang Maha Pengasih, Dzat yang selalu menepati janji??"
Tanpa berpikir panjang, Ali menyerahkan uang enam dirham hasil kerja istrinya itu kepada lelaki itu. Ia bukannya tidak ingat kalau keluarganya sedang kelaparan, terutama kedua anaknya yang masih kecil, tetapi demikianlah memang didikan dan contoh yang diberikan Rasulullah SAW. Bagi umumnya orang mungkin tidak mengapa jika 'mengurangi kadar' atau kualitas dari yang dicontohkan Nabi SAW, sebatas kemampuan masing-masing, tetapi tidak bagi Ali. Sejak balita ia diasuh Nabi SAW, bahkan kemudian dinikahkan dengan putri kesayangan beliau, kalau ia 'bergeser' terlalu jauh dari didikan Nabi SAW, tentulah telah menjadi kesalahan besar baginya.
Setelah itu Ali segera kembali ke rumah, dan Fathimah menyambutnya dengan menangis ketika melihatnya tidak membawa apa-apa. Ali berkata, "Wahai wanita mulia, mengapa engkau menangis??"
Fathimah berkata, "Wahai Ali, engkau pulang tanpa membawa sesuatu??"
Ali berkata, "Wahai wanita mulia, aku meminjamkan uang itu kepada Allah!!"
Tanpa penjelasan lebih banyak, maklumlah Fathimah apa yang terjadi, maka ia berkata, "Sungguh, aku mendukung sikapmu itu!!"
Tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya, Ali segera keluar rumah dengan maksud menemui Nabi SAW. Tetapi di tengah perjalanan ia bertemu seorang badui yang sedang menuntun seekor unta. Si Badui yang tidak dikenalnya itu berkata, "Wahai Abul Hasan belilah unta ini!!"
Ali berkata, "Aku tidak mempunyai uang!!"
Si Badui itu berkata lagi, "Belilah dengan tempo (pembayaran di belakang)!!"
Ali berkata, "Berapa??"
"Seratus dirham!!" Kata si Badui itu.
"Baiklah," Kata Ali, "Kubeli seharga seratus dirham dengan tempo!!"
Si Badui menyerahkan unta tersebut kepadanya dan berlalu pergi. Ali tidak tahu apa yang harus dilakukannya dengan unta itu, tetapi ia menuntunnya begitu saja. Tetapi belum jauh berjalan tiba-tiba muncul seorang badui lain menghampirinya, dan berkata, "Wahai Abul Hasan, apakah engkau ingin menjual unta ini?"
Tanpa berpikir panjang, Ali berkata, "Ya!!"
"Berapa??"
"300 dirham!!" Kata Ali.
"Baiklah, kubeli seharga 300 dirham!!"
Kemudian si Badui yang juga tidak dikenalinya itu membayar kontan 300 dirham, dan membawa pergi unta tersebut. Ali sangat gembira, segera ia membeli beberapa bahan makanan untuk keluarganya kemudian pulang. Kali ini Fathimah menyambutnya dengan tersenyum, dan berkata, "Wahai Abul Hasan, apa yang terjadi kali ini??"
Dengan gembira Ali berkata, "Wahai putri Rasulullah, kubeli unta seharga 100 dirham dengan tempo, dan kujual lagi dengan kontan seharga 300 dirham!!
Fathimah berkata, "Aku mendukung sikapmu itu!!"
Beberapa lama kemudian, Ali pergi menemui Nabi SAW sesuai dengan niat sebelumnya. Begitu ia masuk mesjid, Nabi SAW tersenyum kepadanya dan bersabda, "Wahai Abul Hasan, engkau yang bercerita, atau aku saja yang bercerita??"
Tanpa tahu maksudnya, Ali berkata, "Wahai Rasulullah, engkau saja yang bercerita!!"
Nabi SAW bersabda, "Berbahagialah engkau Abul Hasan, engkau telah meminjamkan enam dirham kepada Allah, maka Allah memberimu 300 dirham. Setiap dirhamnya dibalas dengan 50 kali lipatnya. Orang Badui yang pertama menjumpaimu adalah malaikat Jibril, sedang yang kedua adalah Malaikat Mikail!!"
Malaikat-malaikat yang membantu manusia, tentunya atas seizin dan perintah Allah SWT, mungkin tidak hanya terjadi pada Rasulullah SAW dan para sahabat beliau seperti kisah di atas, atau juga pada Perang Badar, Hunain dan beberapa peristiwa lainnya. Bisa saja itu terjadi di antara kehidupan kita sehari-hari, bisa dalam bentuk seseorang yang tidak dikenali, yang memberikan bantuan seperti peristiwa yang dialami oleh Ali bin Abi Thalib. Atau mungkin seseorang yang dikenali memberikan bantuan, tetapi sebenarnya tidak melakukannya. Hanya saja Allah memerintahkan malaikat untuk menyerupakan diri dengan orang tersebut untuk memuliakannya, seperti yang terjadi pada seorang tabi'in bernama Abdullah bin Mubarak.
Wallahu 'Alam.
Fathimah berkata,"Demi Allah aku tidak mempunyai sesuatu (makanan apapun), tetapi ini ada enam dirham (uang perak), hasil kerjaku dan Salman Al-Farisi memintal bulu-bulu domba milik orang Yahudi. Rencananya akan kubelikan makanan untuk Hasan dan Husein!!"
Begitulah memang keadaan Fathimah Az-Zahra, putri kesayangan Rasulullah SAW itu dan keluarganya. Sebenarnya kalau saja mereka mau, mudah saja bagi mereka untuk mengumpulkan harta dan hidup bergelimang kemewahan dunia. Tetapi seperti halnya Rasulullah SAW, mereka memilih untuk zuhud dalam kehidupan dunia ini. Tidak jarang Fathimah dan Ali bekerja menimba air untuk menyiram kebun kurma milik orang-orang Yahudi, memintal bulu-bulu domba, memilah-milah kurma dan lain-lainnya. Inilah gambaran kehidupan seorang wanita, yang Nabi SAW pernah bersabda, "Penghulu kaum wanita di surga adalah Fathimah Az-Zahra!!"
Mendengar jawaban istrinya itu, Ali berkata, "Biar aku saja yang membeli makanan itu!!"
Maka Fathimah menyerahkan uang enam dirham itu kepada suaminya, yang segera saja pergi meninggalkan rumah. Tetapi dalam perjalanan untuk membeli makanan itu, Ali bertemu seorang lelaki yang berkata, "Siapakah orang yang mau meminjami Tuhan Yang Maha Pengasih, Dzat yang selalu menepati janji??"
Tanpa berpikir panjang, Ali menyerahkan uang enam dirham hasil kerja istrinya itu kepada lelaki itu. Ia bukannya tidak ingat kalau keluarganya sedang kelaparan, terutama kedua anaknya yang masih kecil, tetapi demikianlah memang didikan dan contoh yang diberikan Rasulullah SAW. Bagi umumnya orang mungkin tidak mengapa jika 'mengurangi kadar' atau kualitas dari yang dicontohkan Nabi SAW, sebatas kemampuan masing-masing, tetapi tidak bagi Ali. Sejak balita ia diasuh Nabi SAW, bahkan kemudian dinikahkan dengan putri kesayangan beliau, kalau ia 'bergeser' terlalu jauh dari didikan Nabi SAW, tentulah telah menjadi kesalahan besar baginya.
Setelah itu Ali segera kembali ke rumah, dan Fathimah menyambutnya dengan menangis ketika melihatnya tidak membawa apa-apa. Ali berkata, "Wahai wanita mulia, mengapa engkau menangis??"
Fathimah berkata, "Wahai Ali, engkau pulang tanpa membawa sesuatu??"
Ali berkata, "Wahai wanita mulia, aku meminjamkan uang itu kepada Allah!!"
Tanpa penjelasan lebih banyak, maklumlah Fathimah apa yang terjadi, maka ia berkata, "Sungguh, aku mendukung sikapmu itu!!"
Tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya, Ali segera keluar rumah dengan maksud menemui Nabi SAW. Tetapi di tengah perjalanan ia bertemu seorang badui yang sedang menuntun seekor unta. Si Badui yang tidak dikenalnya itu berkata, "Wahai Abul Hasan belilah unta ini!!"
Ali berkata, "Aku tidak mempunyai uang!!"
Si Badui itu berkata lagi, "Belilah dengan tempo (pembayaran di belakang)!!"
Ali berkata, "Berapa??"
"Seratus dirham!!" Kata si Badui itu.
"Baiklah," Kata Ali, "Kubeli seharga seratus dirham dengan tempo!!"
Si Badui menyerahkan unta tersebut kepadanya dan berlalu pergi. Ali tidak tahu apa yang harus dilakukannya dengan unta itu, tetapi ia menuntunnya begitu saja. Tetapi belum jauh berjalan tiba-tiba muncul seorang badui lain menghampirinya, dan berkata, "Wahai Abul Hasan, apakah engkau ingin menjual unta ini?"
Tanpa berpikir panjang, Ali berkata, "Ya!!"
"Berapa??"
"300 dirham!!" Kata Ali.
"Baiklah, kubeli seharga 300 dirham!!"
Kemudian si Badui yang juga tidak dikenalinya itu membayar kontan 300 dirham, dan membawa pergi unta tersebut. Ali sangat gembira, segera ia membeli beberapa bahan makanan untuk keluarganya kemudian pulang. Kali ini Fathimah menyambutnya dengan tersenyum, dan berkata, "Wahai Abul Hasan, apa yang terjadi kali ini??"
Dengan gembira Ali berkata, "Wahai putri Rasulullah, kubeli unta seharga 100 dirham dengan tempo, dan kujual lagi dengan kontan seharga 300 dirham!!
Fathimah berkata, "Aku mendukung sikapmu itu!!"
Beberapa lama kemudian, Ali pergi menemui Nabi SAW sesuai dengan niat sebelumnya. Begitu ia masuk mesjid, Nabi SAW tersenyum kepadanya dan bersabda, "Wahai Abul Hasan, engkau yang bercerita, atau aku saja yang bercerita??"
Tanpa tahu maksudnya, Ali berkata, "Wahai Rasulullah, engkau saja yang bercerita!!"
Nabi SAW bersabda, "Berbahagialah engkau Abul Hasan, engkau telah meminjamkan enam dirham kepada Allah, maka Allah memberimu 300 dirham. Setiap dirhamnya dibalas dengan 50 kali lipatnya. Orang Badui yang pertama menjumpaimu adalah malaikat Jibril, sedang yang kedua adalah Malaikat Mikail!!"
Malaikat-malaikat yang membantu manusia, tentunya atas seizin dan perintah Allah SWT, mungkin tidak hanya terjadi pada Rasulullah SAW dan para sahabat beliau seperti kisah di atas, atau juga pada Perang Badar, Hunain dan beberapa peristiwa lainnya. Bisa saja itu terjadi di antara kehidupan kita sehari-hari, bisa dalam bentuk seseorang yang tidak dikenali, yang memberikan bantuan seperti peristiwa yang dialami oleh Ali bin Abi Thalib. Atau mungkin seseorang yang dikenali memberikan bantuan, tetapi sebenarnya tidak melakukannya. Hanya saja Allah memerintahkan malaikat untuk menyerupakan diri dengan orang tersebut untuk memuliakannya, seperti yang terjadi pada seorang tabi'in bernama Abdullah bin Mubarak.
Wallahu 'Alam.
Jumat, 13 Mei 2016
Tiga Pelajaran Berharga
Seorang pemburu memasuki hutan untuk mencari binatang yang bisa dipakai untuk makan keluarganya hari itu. Tetapi tidak seperti biasanya, ia tidak menemukan binatang yang cukup besar, yang bisa mengobati rasa lapar keluarganya. Dalam kebingungannya itu, ia melihat seekor burung dan berhasil menangkapnya. Lumayan untuk pengganjal perut sambil mencari buruan yang lebih besar, begitu mungkin pemikirannya.
Tetapi tanpa disangkanya, tiba-tiba burung itu berbicara layaknya manusia, "Apa yang engkau inginkan dengan menangkapku ini??"
Pemburu itu berkata, "Aku akan menyembelih dan memakanmu!!"
Burung itu berkata, "Itu tidak akan menyelesaikan masalah, aku tidak akan bisa mengobati rasa laparmu!! Tetapi aku akan memberikan 3 pelajaran berharga kepadamu, pertama saat aku ada di tanganmu (masih di tangkap), kedua saat aku berada di atas pohon, dan ketiga saat aku telah ada di atas bukit."
Sang pemburu memang cukup penasaran dengan burung yang bisa berbicara itu, langsung saja berkata, "Jelaskan pelajaran yang pertama!!"
Sang burung berkata, "Lepaskan dulu aku!!"
Si pemburu segera melepaskannya, dan burung itu hinggap di atas dahan, lalu berkata, "Wahai manusia, janganlah engkau meyakini bahwa sesuatu itu ada, padahal hakekatnya tidak ada!!"
Kemudian burung itu terbang lebih jauh dan hinggap di bukit. Tanpa diminta burung itu berkata lagi, "Wahai manusia, andaikata engkau jadi menyembelih diriku, engkau akan menemukan dua intan di paruhku, yang masing-masing beratnya 77,88 gram..!!"
Pemburu itu terkejut mendengar perkataan sang burung, ia sangat sedih dan menyesal, tetapi tidak mungkin ia menangkapnya lagi karena burung itu telah cukup jauh di atas bukit. Tetapi, seperti teringat sesuatu, ia berkata, "Wahai burung, apakah pelajaran yang ketiga yang engkau janjikan??"
Burung itu tertawa dan berkata, "Wahai manusia, baru saja engkau memperoleh dua pengajaran, dan dalam sesaat ini engkau telah melanggar (melupakan)nya. Mengapa pula engkau bersedih telah melepaskanku? Dan bagaimana mungkin engkau begitu saja mempercayai ada dua butir intan di paruhku? Berat tubuhku tidak sampai 77,88 gram, bagaimana bisa ada dua intan masing-masing beratnya 77,88 gram?"
Sang pemburu tampak termengu-mengu mendengarnya, kemudian sang burung berkata lagi, "Itulah gambaran kehidupan dunia, suka atau tidak, sengaja atau tidak, pada akhirnya engkau harus melepaskannya juga. Begitu juga dengan segala janji keindahan dan kenikmatanya, pada hakekatnya hanya tipuan semata. Karena itu, berupayalah dengan sungguh-sungguh untuk meraih sesuatu yang engkau tidak akan pernah terlepas darinya, dan sesuatu yang kenikmatannya akan selalu engkau rasakan tanpa akhir!!"
Tetapi tanpa disangkanya, tiba-tiba burung itu berbicara layaknya manusia, "Apa yang engkau inginkan dengan menangkapku ini??"
Pemburu itu berkata, "Aku akan menyembelih dan memakanmu!!"
Burung itu berkata, "Itu tidak akan menyelesaikan masalah, aku tidak akan bisa mengobati rasa laparmu!! Tetapi aku akan memberikan 3 pelajaran berharga kepadamu, pertama saat aku ada di tanganmu (masih di tangkap), kedua saat aku berada di atas pohon, dan ketiga saat aku telah ada di atas bukit."
Sang pemburu memang cukup penasaran dengan burung yang bisa berbicara itu, langsung saja berkata, "Jelaskan pelajaran yang pertama!!"
Sang burung berkata, "Lepaskan dulu aku!!"
Si pemburu segera melepaskannya, dan burung itu hinggap di atas dahan, lalu berkata, "Wahai manusia, janganlah engkau meyakini bahwa sesuatu itu ada, padahal hakekatnya tidak ada!!"
Kemudian burung itu terbang lebih jauh dan hinggap di bukit. Tanpa diminta burung itu berkata lagi, "Wahai manusia, andaikata engkau jadi menyembelih diriku, engkau akan menemukan dua intan di paruhku, yang masing-masing beratnya 77,88 gram..!!"
Pemburu itu terkejut mendengar perkataan sang burung, ia sangat sedih dan menyesal, tetapi tidak mungkin ia menangkapnya lagi karena burung itu telah cukup jauh di atas bukit. Tetapi, seperti teringat sesuatu, ia berkata, "Wahai burung, apakah pelajaran yang ketiga yang engkau janjikan??"
Burung itu tertawa dan berkata, "Wahai manusia, baru saja engkau memperoleh dua pengajaran, dan dalam sesaat ini engkau telah melanggar (melupakan)nya. Mengapa pula engkau bersedih telah melepaskanku? Dan bagaimana mungkin engkau begitu saja mempercayai ada dua butir intan di paruhku? Berat tubuhku tidak sampai 77,88 gram, bagaimana bisa ada dua intan masing-masing beratnya 77,88 gram?"
Sang pemburu tampak termengu-mengu mendengarnya, kemudian sang burung berkata lagi, "Itulah gambaran kehidupan dunia, suka atau tidak, sengaja atau tidak, pada akhirnya engkau harus melepaskannya juga. Begitu juga dengan segala janji keindahan dan kenikmatanya, pada hakekatnya hanya tipuan semata. Karena itu, berupayalah dengan sungguh-sungguh untuk meraih sesuatu yang engkau tidak akan pernah terlepas darinya, dan sesuatu yang kenikmatannya akan selalu engkau rasakan tanpa akhir!!"
Selasa, 10 Mei 2016
Karena Do'a Kedua Orang Tua
Suatu ketika Nabi Sulaiman bin Daud AS memperoleh wahyu Allah, yang memerintahkan agar segera pergi ke suatu pantai karena Allah akan menunjukkan sesuatu yang ajaib. Maka beliau segera berangkat ke pantai dimaksud dengan seluruh bala tentaranya, baik dari kalangan jin atau manusia, dan juga sebagian bala tentara lainnya dari kalangan binatang.
Tetapi sesampainya di sana beliau tidak menemukan yang aneh atau ajaib, hanya hamparan pantai yang memanjang dan laut yang tebentang luas seolah tanpa batas. Nabi Sulaiman AS segera memerintahkan salah satu jin untuk menyelam di lautan dan membawa keluar sesuatu yang tampak ajaib, jika menemukannya. Jin tersebut segera menyelam sedalam yang ia mampu sambil memperhatikan sekelilingnya. Setelah beberapa waktu lamanya, ia muncul di permukaan dan berkata, "Wahai Nabi Sulaiman, aku telah menyelam sejauh yang aku mampu, sampai sekian ribu meter dalamnya, tetapi aku tidak melihat sesuatu yang ajaib dan istimewa yang bisa aku tunjukkan kepadamu!!"
Nabi Sulaiman tidak puas dengan laporan jin tersebut, Allah SWT telah memfirmankan dan itu pasti adanya, hanya jin itu saja yang mungkin tidak mampu menemukannya. Karena itu beliau memerintahkan jin Ifrit, yang mempunyai kemampuan jauh lebih hebat dari kebanyakan bangsa jin, untuk melakukan tugas tersebut.
Jin Ifrit segera menerjunkan diri ke samudera, menjelajah ke segala arah dan sedalam yang ia mampu, dengan kecepatan yang jauh lebih mengagumkan. Tetapi setelah beberapa waktu lamanya, ia muncul di permukaan tanpa membawa apa-apa dan berkata, "Wahai Nabi Sulaiman, aku telah menyelam sejauh yangn aku mampu, sampai sekian ribu meter dalamnya (dua kali dalamnya dari yang diselami jin sebelumnya), tetapi aku tidak melihat sesuatu yang ajaib dan istimewa yang bisa aku tunjukkan kepadamu!!"
Lagi-lagi Nabi Sulaiman tidak puas dengan hasil yang dilaporkan Jin Ifrit itu. Karena itu beliau berpaling kepada salah seorang punggawanya, Ashif bin Barkhiya, seseorang yang sangat ahli dan menguasai Kitab Taurat, bahkan Allah menganugerahinya ilmu secara langsung dari sisi-Nya (Ilmu Ladunni). Nabi Sulaiman berkata, "Wahai Ashif, bawakanlah (tunjukkanlah) kepadaku, keajaiban apa yang disembunyikan Allah di dalam lautan ini."
Tidak seperti dua bangsa jin yang segera menceburkan diri ke samudera dan menyelam, Ashif hanya diam sesaat, kemudian menadahkan tangannya ke atas dan berdo'a kepada Allah. Tidak lama kemudian air laut tersibak dan muncul sebuah kubah besar berwarna putih dengan pintu di 4 penjurunya. Pintu pertama terbuat dari intan permata, pintu kedua dari yaqut, pintu ketiga dari mutiara dan pintu keempat dari zabarjud yang berwarna hijau. Ashif berkata, "Wahai Nabiyallah, inilah keajaiban yang ingin ditunjukkan Allah kepada engkau, ia berada di dasar lautan dengan kedalaman tiga kali yang diselami jin pertama!!"
Nabi Sulaiman memandang dengan penuh kekaguman kepada kubah putih yang perlahan menepi dengan sendirinya. Kemudian pintu-pintu itu terbuka dan tidak ada setetes air pun yang membasahi bagian dalam kubah tersebut. Beliau masuk dan menemukan seorang pemuda sedang beribadah di dalamnya. Beliau mengucap salam dan berkata, "Wahai pemuda, mengapa engkau tinggal di dasar lautan di dalam kubah ini??"
Setelah menjawab salam beliau, pemuda itu menceritakan bahwa dahulunya ia merawat dan melayani kedua orang tuanya yang cacat, ibunya dalam keadaan buta sedang ayahnya lumpuh, selama hampir 70 tahun. Ketika sang ibu akan meninggal, ia berdo'a, "Ya Allah, lanjutkan (panjangkan) umur anakku dalam ketaatan kepada-Mu!!"
Kemudian ketika sang ayah akan meninggal, ia berdo'a, "Ya Allah, jadikanlah anakku tetap dalam ketaatan kepada-Mu di tempat yang tidak dapat diketahui oleh para syaitan!!"
Setelah kewafatan kedua orang tuanya, pemuda itu berjalan-jalan ke tepi pantai dan mellihat kubah tersebut yang dalam keadaan terbuka. Ia masuk karena ingin mengetahui keadaan di dalamnya, tetapi tiba-tiba kubah tersebut tertutup dan dibawa malaikat ke dasar lautan yang terdalam. Maka ia menghabiskan waktu hanya dengan beribadah kepada Allah di dalam kubah tersebut.
Nabi Sulaiman berkata, "Pada masa siapakah engkau hidup saat itu?"
Pemuda itu berkata, "Masa Nabi Ibrahim AS."
Berarti pemuda itu telah tinggal di kubah itu selama sekitar 1.400 tahun, tetapi sama sekali tidak tampak ketuaan di wajah pemuda tersebut, bahkan satu uban pun tidak tampak di rambutnya.
Nabi Sulaiman berkata lagi, "Bagaimana dengan makan minummu?"
Pemuda itu berkata, "Setiap harinya kubah ini naik ke permukaan, dan seekor burung membawakan makanan dan minuman sebesar kepala orang dewasa. Saya bisa merasakan semua jenis makanan di dunia ini, yang membuat saya selalu puas dan kenyang, hilang semua rasa haus dan lapar, panas dan dingin, jemu dan malas, bahkan tidak ada rasa kantuk dan ingin tidur sehingga saya bisa menghabiskan waktu untuk beribadah kepada Allah..!!"
Nabi Sulaiman memandang pemuda itu penuh kekaguman. Walaupun segala mukjizat dan kelebihan yang diberikan Allah kepadanya sangat mengagumkan, tetapi bagi Nabi Sulaiman, apa yang dialami pemuda itu jauh lebih mengagumkan lagi. Apalagi pemuda itu bukan seorang nabi dan rasul, tetapi seorang yang berbakti kepada kedua orang tuanya, yang memperoleh kemuliaan (karamah) itu karena do'a kedua orang tuanya.
Nabi Sulaiman berkata, "Maukah engkau tinggal bersama kami??"
Pemuda itu berkata, "Kembalikanlah saya ke tempat semula, dan biarkanlah saya terus beribadah kepada Allah sampai waktu yang dikehendaki Allah!!"
Nabi Sulaiman keluar dari kubah tersebut dan memerintahkan Ashif untuk mengembalikan kubah itu ke tempat semulan. Ashif menadahkan tangan dan berdo'a, maka perlahan kubah itu masuk ke dalam air, dan pemandangan kembali seperti semula, hanya hamparan air dan pasir yang seolah tidak terbatas.
Wallahu 'Alam.
Tetapi sesampainya di sana beliau tidak menemukan yang aneh atau ajaib, hanya hamparan pantai yang memanjang dan laut yang tebentang luas seolah tanpa batas. Nabi Sulaiman AS segera memerintahkan salah satu jin untuk menyelam di lautan dan membawa keluar sesuatu yang tampak ajaib, jika menemukannya. Jin tersebut segera menyelam sedalam yang ia mampu sambil memperhatikan sekelilingnya. Setelah beberapa waktu lamanya, ia muncul di permukaan dan berkata, "Wahai Nabi Sulaiman, aku telah menyelam sejauh yang aku mampu, sampai sekian ribu meter dalamnya, tetapi aku tidak melihat sesuatu yang ajaib dan istimewa yang bisa aku tunjukkan kepadamu!!"
Nabi Sulaiman tidak puas dengan laporan jin tersebut, Allah SWT telah memfirmankan dan itu pasti adanya, hanya jin itu saja yang mungkin tidak mampu menemukannya. Karena itu beliau memerintahkan jin Ifrit, yang mempunyai kemampuan jauh lebih hebat dari kebanyakan bangsa jin, untuk melakukan tugas tersebut.
Jin Ifrit segera menerjunkan diri ke samudera, menjelajah ke segala arah dan sedalam yang ia mampu, dengan kecepatan yang jauh lebih mengagumkan. Tetapi setelah beberapa waktu lamanya, ia muncul di permukaan tanpa membawa apa-apa dan berkata, "Wahai Nabi Sulaiman, aku telah menyelam sejauh yangn aku mampu, sampai sekian ribu meter dalamnya (dua kali dalamnya dari yang diselami jin sebelumnya), tetapi aku tidak melihat sesuatu yang ajaib dan istimewa yang bisa aku tunjukkan kepadamu!!"
Lagi-lagi Nabi Sulaiman tidak puas dengan hasil yang dilaporkan Jin Ifrit itu. Karena itu beliau berpaling kepada salah seorang punggawanya, Ashif bin Barkhiya, seseorang yang sangat ahli dan menguasai Kitab Taurat, bahkan Allah menganugerahinya ilmu secara langsung dari sisi-Nya (Ilmu Ladunni). Nabi Sulaiman berkata, "Wahai Ashif, bawakanlah (tunjukkanlah) kepadaku, keajaiban apa yang disembunyikan Allah di dalam lautan ini."
Tidak seperti dua bangsa jin yang segera menceburkan diri ke samudera dan menyelam, Ashif hanya diam sesaat, kemudian menadahkan tangannya ke atas dan berdo'a kepada Allah. Tidak lama kemudian air laut tersibak dan muncul sebuah kubah besar berwarna putih dengan pintu di 4 penjurunya. Pintu pertama terbuat dari intan permata, pintu kedua dari yaqut, pintu ketiga dari mutiara dan pintu keempat dari zabarjud yang berwarna hijau. Ashif berkata, "Wahai Nabiyallah, inilah keajaiban yang ingin ditunjukkan Allah kepada engkau, ia berada di dasar lautan dengan kedalaman tiga kali yang diselami jin pertama!!"
Nabi Sulaiman memandang dengan penuh kekaguman kepada kubah putih yang perlahan menepi dengan sendirinya. Kemudian pintu-pintu itu terbuka dan tidak ada setetes air pun yang membasahi bagian dalam kubah tersebut. Beliau masuk dan menemukan seorang pemuda sedang beribadah di dalamnya. Beliau mengucap salam dan berkata, "Wahai pemuda, mengapa engkau tinggal di dasar lautan di dalam kubah ini??"
Setelah menjawab salam beliau, pemuda itu menceritakan bahwa dahulunya ia merawat dan melayani kedua orang tuanya yang cacat, ibunya dalam keadaan buta sedang ayahnya lumpuh, selama hampir 70 tahun. Ketika sang ibu akan meninggal, ia berdo'a, "Ya Allah, lanjutkan (panjangkan) umur anakku dalam ketaatan kepada-Mu!!"
Kemudian ketika sang ayah akan meninggal, ia berdo'a, "Ya Allah, jadikanlah anakku tetap dalam ketaatan kepada-Mu di tempat yang tidak dapat diketahui oleh para syaitan!!"
Setelah kewafatan kedua orang tuanya, pemuda itu berjalan-jalan ke tepi pantai dan mellihat kubah tersebut yang dalam keadaan terbuka. Ia masuk karena ingin mengetahui keadaan di dalamnya, tetapi tiba-tiba kubah tersebut tertutup dan dibawa malaikat ke dasar lautan yang terdalam. Maka ia menghabiskan waktu hanya dengan beribadah kepada Allah di dalam kubah tersebut.
Nabi Sulaiman berkata, "Pada masa siapakah engkau hidup saat itu?"
Pemuda itu berkata, "Masa Nabi Ibrahim AS."
Berarti pemuda itu telah tinggal di kubah itu selama sekitar 1.400 tahun, tetapi sama sekali tidak tampak ketuaan di wajah pemuda tersebut, bahkan satu uban pun tidak tampak di rambutnya.
Nabi Sulaiman berkata lagi, "Bagaimana dengan makan minummu?"
Pemuda itu berkata, "Setiap harinya kubah ini naik ke permukaan, dan seekor burung membawakan makanan dan minuman sebesar kepala orang dewasa. Saya bisa merasakan semua jenis makanan di dunia ini, yang membuat saya selalu puas dan kenyang, hilang semua rasa haus dan lapar, panas dan dingin, jemu dan malas, bahkan tidak ada rasa kantuk dan ingin tidur sehingga saya bisa menghabiskan waktu untuk beribadah kepada Allah..!!"
Nabi Sulaiman memandang pemuda itu penuh kekaguman. Walaupun segala mukjizat dan kelebihan yang diberikan Allah kepadanya sangat mengagumkan, tetapi bagi Nabi Sulaiman, apa yang dialami pemuda itu jauh lebih mengagumkan lagi. Apalagi pemuda itu bukan seorang nabi dan rasul, tetapi seorang yang berbakti kepada kedua orang tuanya, yang memperoleh kemuliaan (karamah) itu karena do'a kedua orang tuanya.
Nabi Sulaiman berkata, "Maukah engkau tinggal bersama kami??"
Pemuda itu berkata, "Kembalikanlah saya ke tempat semula, dan biarkanlah saya terus beribadah kepada Allah sampai waktu yang dikehendaki Allah!!"
Nabi Sulaiman keluar dari kubah tersebut dan memerintahkan Ashif untuk mengembalikan kubah itu ke tempat semulan. Ashif menadahkan tangan dan berdo'a, maka perlahan kubah itu masuk ke dalam air, dan pemandangan kembali seperti semula, hanya hamparan air dan pasir yang seolah tidak terbatas.
Wallahu 'Alam.
Kasih Sayang Allah Kepada Hamba-Nya
Nabi Ibrahim AS adalah salah satu dari Nabi Ulul Azmi yang juga digelari dengan Kholilullah, kekasih Allah. Suatu ketika Allah membukakan 'hijab' bagi beliau dan menunjukkan kepadanya berbagai kerajaan langit dan bumi. Beliau sangat kagum melihat pemandangan, dimana semua makhluk Allah dari berbagai lapisan langit sibuk berdzikir (bertasbih) dan beribadah kepada Allah dengan caranya masing-masing, begitu juga dengan makhluk-makhluk di bumi.
Setelah beberapa waktu lamanya 'menikmati' pemandangan yang begitu menyejukkan hati, dan mendengarkan 'simphoni' dzikir dari berbagai makhluk yang begitu harmonisnya, tiba-tiba pandangan Nabi Ibrahim jatuh pada seorang manusia yang tengah melakukan kemaksiatan kepada Allah. Hati beliau begitu terusik, dan beliau mengetahui bahwa untuk kemaksiatan yang dilakukannya itu, secara syariat patut diberikan hukuman atau qishash berupa kematian. Karena itu beliau berdo'a, "Ya Allah, binasakanlah orang (yang berbuat maksiat) itu!!"
Sebagai Kholilullah yang do'anya makbul, Allah mengabulkan do'a Nabi Ibrahim tersebut, dan seketika orang yang berbuat maksiat itu mati.
Nabi Ibrahim masih 'meneruskan' penjelajahannya ke penjuru bumi lainnya, dan lagi-lagi beliau melihat seseorang yang berbuat maksiat. Seperti sebelumnya, beliau mendo'akan kebinasaan dan Allah mengabulkan do'a beliau tersebut.
Hal itu berulang hingga 4 kali, dan akhirnya Allah berfirman, "Hai Ibrahim, berhentilah (mendo'akan kebinasaan bagi pelaku maksiat)!! Jika Aku selalu membinasakan (mematikan) seorang pelaku maksiat yang engkau lihat, niscaya tidak ada seorangpun yang akan tersisa. Sesungguhnya karena (sifat) Khalim-Ku maka tidaklah aku menyegerakan siksa bagi mereka. Salah satu dari dua kemungkinan, mereka akan bertobat atau mereka akan terus menerus melakukan kemaksiatan itu hingga menghadap-Ku (yakni mati). Dan setelah mereka berada di hadapan-Ku, terserah Aku, apakah Aku akan mengampuni atau mengazab mereka!!"
Al-Khalim adalah salah satu dari Asmaul Husna yang jumlahnya 99 itu, yang dapat diartikan sebagai : Yang Maha Tetap dapat Menahan Amarah. Atau juga berarti : Yang Dapat Mengundurkan / Menunda Siksa atas Hamba-Nya yang sepantasnya mendapat siksa karena maksiat-maksiat yang dilakukannya. Secara ringkas biasanya diartikan sebagai Yang Maha Penyantun atau Yang Maha Belas Kasih.
Junjungan kita, Rasulullah SAW juga pernah mengalami hal yang kurang lebih sama, walaupun kondisinya berbeda. Ketika masih melaksanakan dakwah Islamiyah di Mekkah, beliau dan kaum muslimin lainnya pernah mengalami siksaan dan penghinaan yang tidak terkirakan dari tokoh-tokoh kaum kafir Quraisy, yakni Harits bin Hisyam, Suhail bin Amr dan Shafwan bin Umayyah, atau Amr bin Ash dalam riwayat lainnya.
Bukannya mendapat pengabulan, tetapi justru turun wahyu Allah yang menegur Rasulullah SAW karena do'a beliau tersebut, yakni QS Ali Imran ayat 128 :
Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu, atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang dhalim.
Ternyata kemudian, tokoh-tokoh yang dido'akan laknat oleh Nabi SAW itu memeluk islam, ada yang setelah dikukuhkannya Perjanjian Hudaibiyah, ada juga setelah Fathul Makkah, begitu juga dengan tokoh-tokoh Quraisy lainnya. Dan setelah keislamannya itu, mereka benar-benar membaktikan hidupnya untuk dakwah dan jihad di jalan Allah, dan tidak sedikit dari mereka mendapat rizki kesyahidan.
Peristiwa yang kurang lebih sama juga terjadi pada Nabi SAW saat Perang Uhud dan Peristiwa Bi'r Ma'unah.
Karena itu ada sebagian ulama yang memfatwakan larangan, atau bahkan mengharamkan kita untuk melaknat atau mengkafirkan seseorang yang berbuat dhalim kepada kita, sekalipun orang itu benar-benar kafir atau musyrik (tidak memeluk islam), kecuali orang tersebut telah mati dalam kemusyrikatannya, seperti halnya Abu Jahal, Abu Lahab dan lain-lainnya. Bisa jadi Allah akan memberikan hidayah-Nya dan mereka akan memeluk Islam sebelum maut menjemputnya.
Wallahu A'lam.
Setelah beberapa waktu lamanya 'menikmati' pemandangan yang begitu menyejukkan hati, dan mendengarkan 'simphoni' dzikir dari berbagai makhluk yang begitu harmonisnya, tiba-tiba pandangan Nabi Ibrahim jatuh pada seorang manusia yang tengah melakukan kemaksiatan kepada Allah. Hati beliau begitu terusik, dan beliau mengetahui bahwa untuk kemaksiatan yang dilakukannya itu, secara syariat patut diberikan hukuman atau qishash berupa kematian. Karena itu beliau berdo'a, "Ya Allah, binasakanlah orang (yang berbuat maksiat) itu!!"
Sebagai Kholilullah yang do'anya makbul, Allah mengabulkan do'a Nabi Ibrahim tersebut, dan seketika orang yang berbuat maksiat itu mati.
Nabi Ibrahim masih 'meneruskan' penjelajahannya ke penjuru bumi lainnya, dan lagi-lagi beliau melihat seseorang yang berbuat maksiat. Seperti sebelumnya, beliau mendo'akan kebinasaan dan Allah mengabulkan do'a beliau tersebut.
Hal itu berulang hingga 4 kali, dan akhirnya Allah berfirman, "Hai Ibrahim, berhentilah (mendo'akan kebinasaan bagi pelaku maksiat)!! Jika Aku selalu membinasakan (mematikan) seorang pelaku maksiat yang engkau lihat, niscaya tidak ada seorangpun yang akan tersisa. Sesungguhnya karena (sifat) Khalim-Ku maka tidaklah aku menyegerakan siksa bagi mereka. Salah satu dari dua kemungkinan, mereka akan bertobat atau mereka akan terus menerus melakukan kemaksiatan itu hingga menghadap-Ku (yakni mati). Dan setelah mereka berada di hadapan-Ku, terserah Aku, apakah Aku akan mengampuni atau mengazab mereka!!"
Al-Khalim adalah salah satu dari Asmaul Husna yang jumlahnya 99 itu, yang dapat diartikan sebagai : Yang Maha Tetap dapat Menahan Amarah. Atau juga berarti : Yang Dapat Mengundurkan / Menunda Siksa atas Hamba-Nya yang sepantasnya mendapat siksa karena maksiat-maksiat yang dilakukannya. Secara ringkas biasanya diartikan sebagai Yang Maha Penyantun atau Yang Maha Belas Kasih.
Junjungan kita, Rasulullah SAW juga pernah mengalami hal yang kurang lebih sama, walaupun kondisinya berbeda. Ketika masih melaksanakan dakwah Islamiyah di Mekkah, beliau dan kaum muslimin lainnya pernah mengalami siksaan dan penghinaan yang tidak terkirakan dari tokoh-tokoh kaum kafir Quraisy, yakni Harits bin Hisyam, Suhail bin Amr dan Shafwan bin Umayyah, atau Amr bin Ash dalam riwayat lainnya.
Bukannya mendapat pengabulan, tetapi justru turun wahyu Allah yang menegur Rasulullah SAW karena do'a beliau tersebut, yakni QS Ali Imran ayat 128 :
Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu, atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang dhalim.
Ternyata kemudian, tokoh-tokoh yang dido'akan laknat oleh Nabi SAW itu memeluk islam, ada yang setelah dikukuhkannya Perjanjian Hudaibiyah, ada juga setelah Fathul Makkah, begitu juga dengan tokoh-tokoh Quraisy lainnya. Dan setelah keislamannya itu, mereka benar-benar membaktikan hidupnya untuk dakwah dan jihad di jalan Allah, dan tidak sedikit dari mereka mendapat rizki kesyahidan.
Peristiwa yang kurang lebih sama juga terjadi pada Nabi SAW saat Perang Uhud dan Peristiwa Bi'r Ma'unah.
Karena itu ada sebagian ulama yang memfatwakan larangan, atau bahkan mengharamkan kita untuk melaknat atau mengkafirkan seseorang yang berbuat dhalim kepada kita, sekalipun orang itu benar-benar kafir atau musyrik (tidak memeluk islam), kecuali orang tersebut telah mati dalam kemusyrikatannya, seperti halnya Abu Jahal, Abu Lahab dan lain-lainnya. Bisa jadi Allah akan memberikan hidayah-Nya dan mereka akan memeluk Islam sebelum maut menjemputnya.
Wallahu A'lam.
Senin, 02 Mei 2016
Karunia Allah Di Akhirat
Ada seorang lelaki ahli ibadah (abid) telah menghabiskan waktunya selama 40 tahun hanya beribadah kepada Allah tanpa sedikitpun melakukan kemaksiatan. Bahkan ia tidak pernah berfikir meminta sesuatu kepada Allah dengan ibadahnya itu, karena ia melaksanakannya benar-benar ikhlas karena Allah. Tetapi di suatu malam, tiba-tiba saja muncul suatu keinginan untuk meminta, dan ia langsung berkata dalam munajatnya, "Ya Allah, tunjukkanlah kepadaku bidadari yang telah Engkau sediakan (janjikan) untukku di akhirat kelak!!"
Tiba-tiba dinding mihrabnya (tempat ibadahnya) terbelah dan muncul seorang wanita yang sangat cantik memikat, begitu cantiknya sehingga akan menjadi fitnah jika wanita ini (yang sebenarnya adalah bidadari) muncul di tengah-tengah masyarakat manusia di dunia ini. Tiba-tiba wanita itu berkata, "Wahai hamba Allah, engkau mengeluh kepada Tuhanmu sedangkan Dia telah mengetahui keluhanmu (tanpa engkau mencakapnya). Dan Tuhanmu telah memenuhi harapanmu dan menghalaukan ujian-ujian untukmu. Dan Allah mengutusku menemuimu untuk menjinakkan hatimu. Tahukah engkau, bahwa setiap harinya sepanjang malam engkau beribadah, aku berbisik kepadamu. Jika saja engkau bisa mendengar bisikanku, pastilah malam-malammu menjadi mengasyikan!!"
Lelaki ahli ibadah itu berkata, "Wahai wanita, siapakah engkau ini?"
Wanita itu berkata, "Aku adalah bidadari yang disediakan Allah untukmu di akhirat kelak!"
Lelaki itu berkata lagi, "Berapa banyak istriku yang seperti engkau ini??"
"Seratus orang, dan setiap orangnya mempunyai seratus pelayan.!!"
Tampak sekali lelaki ahli ibadah itu terkagum-kagum, kemudian berkata, "Apakah ada orang yang diberi lebih banyak daripada aku ini??"
Bidadari itu tersenyum dan berkata, "Wahai orang yang miskin, tentu saja ada dan banyak sekali!! Pemberian yang diberikan kepadamu ini adalah pemberian bagi seseorang yang banyak berbuat dosa, kemudian membaca istighfar, dan Allah memberikan ampunan kepadanya. Dan ia terus menerus membaca istighfar setiap terbenamnya matahari sehingga Allah tak henti-hentinya melimpahkan ampunan kepadanya!!"
Tiba-tiba bidadari itu lenyap dari pandangannya dan dinding mihrabnya kembali seperti sediakala. Lelaki itu makin meningkatkan ibadahnya kepada Allah dan tidak henti-hentinya membaca istighfar. Karena ternyata keinginannya yang sekali itu telah dianggap sebagai keluhan, dan menjadikan dirinya 'sejajar' dengan orang-orang yang banyak berdosa dan diterima taubatnya oleh Allah, walau selama ini ia tidak banyak berbuat maksiat.
Tiba-tiba dinding mihrabnya (tempat ibadahnya) terbelah dan muncul seorang wanita yang sangat cantik memikat, begitu cantiknya sehingga akan menjadi fitnah jika wanita ini (yang sebenarnya adalah bidadari) muncul di tengah-tengah masyarakat manusia di dunia ini. Tiba-tiba wanita itu berkata, "Wahai hamba Allah, engkau mengeluh kepada Tuhanmu sedangkan Dia telah mengetahui keluhanmu (tanpa engkau mencakapnya). Dan Tuhanmu telah memenuhi harapanmu dan menghalaukan ujian-ujian untukmu. Dan Allah mengutusku menemuimu untuk menjinakkan hatimu. Tahukah engkau, bahwa setiap harinya sepanjang malam engkau beribadah, aku berbisik kepadamu. Jika saja engkau bisa mendengar bisikanku, pastilah malam-malammu menjadi mengasyikan!!"
Lelaki ahli ibadah itu berkata, "Wahai wanita, siapakah engkau ini?"
Wanita itu berkata, "Aku adalah bidadari yang disediakan Allah untukmu di akhirat kelak!"
Lelaki itu berkata lagi, "Berapa banyak istriku yang seperti engkau ini??"
"Seratus orang, dan setiap orangnya mempunyai seratus pelayan.!!"
Tampak sekali lelaki ahli ibadah itu terkagum-kagum, kemudian berkata, "Apakah ada orang yang diberi lebih banyak daripada aku ini??"
Bidadari itu tersenyum dan berkata, "Wahai orang yang miskin, tentu saja ada dan banyak sekali!! Pemberian yang diberikan kepadamu ini adalah pemberian bagi seseorang yang banyak berbuat dosa, kemudian membaca istighfar, dan Allah memberikan ampunan kepadanya. Dan ia terus menerus membaca istighfar setiap terbenamnya matahari sehingga Allah tak henti-hentinya melimpahkan ampunan kepadanya!!"
Tiba-tiba bidadari itu lenyap dari pandangannya dan dinding mihrabnya kembali seperti sediakala. Lelaki itu makin meningkatkan ibadahnya kepada Allah dan tidak henti-hentinya membaca istighfar. Karena ternyata keinginannya yang sekali itu telah dianggap sebagai keluhan, dan menjadikan dirinya 'sejajar' dengan orang-orang yang banyak berdosa dan diterima taubatnya oleh Allah, walau selama ini ia tidak banyak berbuat maksiat.
Minggu, 01 Mei 2016
Penampilan Kebaikan Yang Bisa Mencelakakan
Seorang guru dan ulama bernama Hariri selalu menjaga akhlak dan tingkah lakunya agar menjadi teladan bagi murid-murid dan orang-orang di sekitarnya. Hal itu menjadikan dirinya terkenal dan dianggap sebagai orang yang terpercaya. Tetapi tanpa disadarinya, sikap 'jaim' Hariri agar menjadi teladan masyarakat itu hampir saja mencelakakan dirinya.
Suatu ketika ada seorang pedagang yang akan bepergian jauh. Ia mempunyai budak wanita sangat cantik yang sangat disayanginya, karena khawatir akan keselamatan budaknya itu jika diajak serta dalam perjalanannya, ia menitipkan pada 'pondoknya' Hariri. Ia beranggapan, di bawah pengawasan dan penjagaan Hariri yang begitu baik akhlaknya, budak kesayangannya itu akan selamat hingga ia kembali lagi.
Tetapi namanya bersama-sama dengan wanita yang begitu rupawannya, sedikit demi sedikit muncul perasaan cinta pada diri Hariri. Dalam pepatah Jawa dikatakan : Rasa cinta itu muncul karena sering bertemu dan bersama (Trisno jalaran saka kulino), hal inilah yang terjadi pada diri Hariri. Terjadi pertentangan dalam jiwanya, antara menuruti gairah cinta yang muncul, atau menjaga akhlak dan sikap amanat yang telah dipupuknya selama ini.
Ketika pertentangan jiwanya makin memuncak, Hariri mendatangi gurunya di bidang sufi, Syaikh Al-Haddad. Setelah menceritakan semua yang dialaminya, Al-Haddad hanya berkata, "Pergilah kamu menghadap Yusuf bin Husein!!"
Berbeda dengan dirinya yang mempunyai nama harum dan terjaga, nama Yusuf bin Husein mempunyai 'cacat' di masyarakat. Tetapi karena gurunya yang memerintahkan, Hariri tetap berangkat ke tempat tinggalnya. Orang-orang yang bertemu dengannya selalu mengucap salam penuh hormat dan menanyakan kepergiannya. Begitu dijawab kalau ia mencari Yusuf bin Husein, mereka selalu berkata, "Wahai orang yang saleh, janganlah engkau mendekati Ibnu Husein, karena ia orang yang sangat nista. Ia orang yang suka membuat bid'ah dan minum anggur (khamr)!!"
Walau mengucapkan terima kasih atas nasehat mereka itu, Hariri tetap menuju rumahnya. Tetapi ketika ia telah berdiri di pintu rumahnya, dan melihat Yusuf bin Husein tengah duduk dengan seorang pemuda menghadapi sebotol anggur di meja, ia berkata keras, "Apakah artinya tingkah lakumu ini??"
Hariri lupa bahwa maksud kedatangannya adalah atas perintah gurunya, Al-Haddad karena permasalahan yang tengah dihadapinya. Perasaannya sebagai teladan dan tokoh masyarakat langsung mengemuka ketika melihat 'kemaksiatan' di depan matanya. Tetapi Yusuf bin Husein tetap tenang dan hanya memandangnya sesaat, kemudian berkata, "Sengaja aku memilih sikap yang seperti ini, sehingga orang-orang tidak akan pernah mengamanatkan budak-budaknya yang cantik rupawan kepadaku!!"
Hariri tersentak kaget, ia belum menceritakan apapun, dan tidak mungkin gurunya Al-Haddad telah menceritakan keadaan jiwanya kepada Ibnu Husein karena ia langsung berangkat setelah dari rumah gurunya itu. Sadarlah ia kalau Yusuf bin Husein ini bukan orang sembarangan, hanya saja ia 'menyembunyikan' hakikat dirinya dari masyarakat umum. Segera saja Hariri meminta maaf, dan meminta nasehat lebih lanjut tentang permasalahannya.
Setelah pertemuannya dengan Ibnu Husein tersebut, Hariri tidak lagi menyibukkan diri menjaga nama dan image dirinya. Tetapi ia lebih memfokuskan diri untuk melatih dan menjaga hawa nafsunya agar tidak terjebak dalam perangkap dan tipuan syaitan terkutuk, khususnya atas nama ketinggian akhlak dan kebaikan amal-amal ibadahnya.
Wallahu 'Alam
Suatu ketika ada seorang pedagang yang akan bepergian jauh. Ia mempunyai budak wanita sangat cantik yang sangat disayanginya, karena khawatir akan keselamatan budaknya itu jika diajak serta dalam perjalanannya, ia menitipkan pada 'pondoknya' Hariri. Ia beranggapan, di bawah pengawasan dan penjagaan Hariri yang begitu baik akhlaknya, budak kesayangannya itu akan selamat hingga ia kembali lagi.
Tetapi namanya bersama-sama dengan wanita yang begitu rupawannya, sedikit demi sedikit muncul perasaan cinta pada diri Hariri. Dalam pepatah Jawa dikatakan : Rasa cinta itu muncul karena sering bertemu dan bersama (Trisno jalaran saka kulino), hal inilah yang terjadi pada diri Hariri. Terjadi pertentangan dalam jiwanya, antara menuruti gairah cinta yang muncul, atau menjaga akhlak dan sikap amanat yang telah dipupuknya selama ini.
Ketika pertentangan jiwanya makin memuncak, Hariri mendatangi gurunya di bidang sufi, Syaikh Al-Haddad. Setelah menceritakan semua yang dialaminya, Al-Haddad hanya berkata, "Pergilah kamu menghadap Yusuf bin Husein!!"
Berbeda dengan dirinya yang mempunyai nama harum dan terjaga, nama Yusuf bin Husein mempunyai 'cacat' di masyarakat. Tetapi karena gurunya yang memerintahkan, Hariri tetap berangkat ke tempat tinggalnya. Orang-orang yang bertemu dengannya selalu mengucap salam penuh hormat dan menanyakan kepergiannya. Begitu dijawab kalau ia mencari Yusuf bin Husein, mereka selalu berkata, "Wahai orang yang saleh, janganlah engkau mendekati Ibnu Husein, karena ia orang yang sangat nista. Ia orang yang suka membuat bid'ah dan minum anggur (khamr)!!"
Walau mengucapkan terima kasih atas nasehat mereka itu, Hariri tetap menuju rumahnya. Tetapi ketika ia telah berdiri di pintu rumahnya, dan melihat Yusuf bin Husein tengah duduk dengan seorang pemuda menghadapi sebotol anggur di meja, ia berkata keras, "Apakah artinya tingkah lakumu ini??"
Hariri lupa bahwa maksud kedatangannya adalah atas perintah gurunya, Al-Haddad karena permasalahan yang tengah dihadapinya. Perasaannya sebagai teladan dan tokoh masyarakat langsung mengemuka ketika melihat 'kemaksiatan' di depan matanya. Tetapi Yusuf bin Husein tetap tenang dan hanya memandangnya sesaat, kemudian berkata, "Sengaja aku memilih sikap yang seperti ini, sehingga orang-orang tidak akan pernah mengamanatkan budak-budaknya yang cantik rupawan kepadaku!!"
Hariri tersentak kaget, ia belum menceritakan apapun, dan tidak mungkin gurunya Al-Haddad telah menceritakan keadaan jiwanya kepada Ibnu Husein karena ia langsung berangkat setelah dari rumah gurunya itu. Sadarlah ia kalau Yusuf bin Husein ini bukan orang sembarangan, hanya saja ia 'menyembunyikan' hakikat dirinya dari masyarakat umum. Segera saja Hariri meminta maaf, dan meminta nasehat lebih lanjut tentang permasalahannya.
Setelah pertemuannya dengan Ibnu Husein tersebut, Hariri tidak lagi menyibukkan diri menjaga nama dan image dirinya. Tetapi ia lebih memfokuskan diri untuk melatih dan menjaga hawa nafsunya agar tidak terjebak dalam perangkap dan tipuan syaitan terkutuk, khususnya atas nama ketinggian akhlak dan kebaikan amal-amal ibadahnya.
Wallahu 'Alam
Jumat, 29 April 2016
Berkah Shadaqah Di Hari Asyura
Seorang pedagang kurma di Mesir bernama Athiyah bin Khalaf mengalami kesuksesan dan harta bendanya melimpah ruah. Namun dalam kekayaannya itu ia tetap tekun beribadah dan makin banyak bersedekah di jalan Allah. Karunia Allah yang diterimanya tidaklah menambah kecuali ketakwaannya, kecintaanya kepada Allah dan Rasulullah SAW juga makin meningkat.
Tetapi sepertinya Allah ingin menguji keimanan dan ketakwaan Athiyah lebih lanjut, tiba-tiba saja usahanya mengalami kemunduran, pelan tetapi pasti ia menjadi bangkrut dan tidak memiliki apapun kecuali rumah dan sekedar pakaian yang dipakainya itu. Untuk makan sehari-harinya ia harus berusaha pada hari itu juga, bahkan tidak jarang ia tidak memperoleh apapun untuk dimakan. Namun dalam keadaan yang seperti itu, ia tetap bersyukur kepada Allah, karena dengan tidak adanya kesibukan mengurus perniagaannya, ia mempunyai waktu lebih banyak untuk beribadah kepada Allah.
Pada suatu hari Asyura, yakni tanggal 10 Muharam, setelah mengerjakan shalat subuh Athiyah langsung beri'tikaf di mesjid Amr bin Ash, salah satu mesjid bersejarah di Mesir yang dibangun oleh sahabat Nabi SAW, Amr bin Ash ketika ia menjadi gubernur di sana. Pada hari-hari biasa mesjid ini tidak pernah (tidak boleh) dimasuki oleh kaum wanita (untuk saat itu), tetapi khusus pada hari Asyura mereka (kaum wanita) diijinkan i'tikaf di sana untuk bisa berdo'a dan memperoleh kebaikan (pahala) pada hari mustajab tersebut. Athiyah mengambil jarak agak jauh dengan para wanita tersebut.
Setelah merasa cukup i'tikaf dan berdo'a, ia keluar dari mesjid untuk pulang. Tetapi belum jauh berjalan, ia dihampiri seorang ibu dengan beberapa anaknya yang juga baru keluar dari mesjid. Sang ibu berkata, "Wahai tuan, saya meminta atas nama Allah, tolonglah untuk bisa memberi makanan pada anak-anak yatim ini. Saya ini seorang syarifah yang belum lama ditinggal wafat suami saya tanpa meninggalkan harta apapun. Sudah 7 hari saya berada di sini tanpa mengenal siapapun, dan baru hari ini saya keluar untuk mencari makanan bagi putra-putra saya ini!!"
Mendengar permintaan wanita syarifah (keturunan Nabi SAW) itu, Athiyah berkata di dalam hatinya, "Aku tidak mempunyai apapun yang bisa kuberikan kepada wanita ini, kecuali pakaian yang kupakai ini. Sekiranya aku buka disini untuk kuberikan, maka akan terbuka auratku, tetapi jika aku menolak permintaannya, bagaimana aku akan mempertanggung-jawabkan sikapku ini kelak di hadapan Rasulullah SAW??"
Sejenak tenggelam dalam kebimbangan, akhirnya Athiyah berkata, "Marilah ikut ke rumahku dan saya akan memberikan sesuatu kepada kalian!!"
Mereka berjalan beriringan, dan ketika sampai di depan rumahnya, ia meminta wanita itu menunggu sesaat di depan pintu rumahnya. Setelah masuk rumah, ia melepas semua pakaian yang dipakainya dan memberikannya kepada wanita syarifah tersebut dari balik pintu, yakni dengan membuka sedikit pintunya dan mengulurkan tangannya. Ia berkata, "Juallah pakaian ini, dan gunakan uangnya untuk membeli makanan bagi anak-anakmu!!"
Wanita itu sangat bergembira dengan pemberiannya itu, dan serta merta berdo'a, "Semoga Allah memberikan kepada tuan pakaian dan perhiasan dari surga, dan semoga setelah hari ini, tuan tidak lagi berhajat (memerlukan) kepada orang lain!!"
Athiyah sangat gembira dengan do'a wanita tersebut dan mengaminkannya. Ia mencari kain sekedarnya yang masih ada di rumahnya, walau mungkin tidak sepenuhnya bisa menutup menutup auratnya sehingga ia tidak mungkin keluar rumah lagi. Ia hanya berdzikir dan shalat di dalam rumahnya, dan menutup pintunya untuk tidak menerima tamu dengan keadaan seperti itu.
Pada malam harinya, ketika ia tertidur karena terlalu larut dalam dzikirnya, ia bermimpi didatangi oleh seorang wanita yang sangat cantik layaknya seorang bidadari, tidak pernah ia bertemu dengan wanita secantik itu. Wanita itu, yang ternyata memang seorang bidadari, membawa sebuah apel, yang kemudian menyerahkannya kepadanya. Setelah Athiyah membuka (membelah)-nya, ternyata keluar pakaian dan perhiasan yang sangat indah dari dalamnya. Sang bidadari memakaikan pakaian dan perhiasan itu kepada Athiyah kemudian ia duduk di pangkuannya.
Antara kaget dan senang, Athiyah bertanya, "Siapakah engkau ini??"
Bidadari itu berkata, "Aku adalah Asyura', istrimu kelak di surga!!"
Athiyah berkata lagi, "Sepertinya aku tidak mempunyai amalan yang istimewa, dengan amalan apakah aku memperoleh karunia yang sebesar ini??"
Bidadari itu berkata, "Berkat do'a dari wanita janda dan anak-anak yatimnya yang engkau tolong kemarin itu!!"
Seketika itu Athiyah terbangun, ia masih di dalam rumahnya yang gelap dan pakaian (kain)-nya yang seadanya, tetapi bau harum pakaian dan bidadari dari surga itu masih menyebar di sekelilingnya. Ia sangat gembira dengan mimpi yang begitu nyata dirasakannya. Ia segera berwudhu dan shalat dua rakaat, kemudian berdo'a, "Ya Allah, bila mimpiku itu memang benar dari sisi-Mu, dan Asyuraa' itu memang istriku di surga, maka segerakanlah kematianku, ambillah ruhku sekarang juga!!"
Usai berdo'a itu, tubuhnya jatuh terkulai ke atas sajadahnya, dan ruhnya terbang ke hadirat Allah SWT dengan mulut tersinggung senyum.
Wallahu 'Alam.
Tetapi sepertinya Allah ingin menguji keimanan dan ketakwaan Athiyah lebih lanjut, tiba-tiba saja usahanya mengalami kemunduran, pelan tetapi pasti ia menjadi bangkrut dan tidak memiliki apapun kecuali rumah dan sekedar pakaian yang dipakainya itu. Untuk makan sehari-harinya ia harus berusaha pada hari itu juga, bahkan tidak jarang ia tidak memperoleh apapun untuk dimakan. Namun dalam keadaan yang seperti itu, ia tetap bersyukur kepada Allah, karena dengan tidak adanya kesibukan mengurus perniagaannya, ia mempunyai waktu lebih banyak untuk beribadah kepada Allah.
Pada suatu hari Asyura, yakni tanggal 10 Muharam, setelah mengerjakan shalat subuh Athiyah langsung beri'tikaf di mesjid Amr bin Ash, salah satu mesjid bersejarah di Mesir yang dibangun oleh sahabat Nabi SAW, Amr bin Ash ketika ia menjadi gubernur di sana. Pada hari-hari biasa mesjid ini tidak pernah (tidak boleh) dimasuki oleh kaum wanita (untuk saat itu), tetapi khusus pada hari Asyura mereka (kaum wanita) diijinkan i'tikaf di sana untuk bisa berdo'a dan memperoleh kebaikan (pahala) pada hari mustajab tersebut. Athiyah mengambil jarak agak jauh dengan para wanita tersebut.
Setelah merasa cukup i'tikaf dan berdo'a, ia keluar dari mesjid untuk pulang. Tetapi belum jauh berjalan, ia dihampiri seorang ibu dengan beberapa anaknya yang juga baru keluar dari mesjid. Sang ibu berkata, "Wahai tuan, saya meminta atas nama Allah, tolonglah untuk bisa memberi makanan pada anak-anak yatim ini. Saya ini seorang syarifah yang belum lama ditinggal wafat suami saya tanpa meninggalkan harta apapun. Sudah 7 hari saya berada di sini tanpa mengenal siapapun, dan baru hari ini saya keluar untuk mencari makanan bagi putra-putra saya ini!!"
Mendengar permintaan wanita syarifah (keturunan Nabi SAW) itu, Athiyah berkata di dalam hatinya, "Aku tidak mempunyai apapun yang bisa kuberikan kepada wanita ini, kecuali pakaian yang kupakai ini. Sekiranya aku buka disini untuk kuberikan, maka akan terbuka auratku, tetapi jika aku menolak permintaannya, bagaimana aku akan mempertanggung-jawabkan sikapku ini kelak di hadapan Rasulullah SAW??"
Sejenak tenggelam dalam kebimbangan, akhirnya Athiyah berkata, "Marilah ikut ke rumahku dan saya akan memberikan sesuatu kepada kalian!!"
Mereka berjalan beriringan, dan ketika sampai di depan rumahnya, ia meminta wanita itu menunggu sesaat di depan pintu rumahnya. Setelah masuk rumah, ia melepas semua pakaian yang dipakainya dan memberikannya kepada wanita syarifah tersebut dari balik pintu, yakni dengan membuka sedikit pintunya dan mengulurkan tangannya. Ia berkata, "Juallah pakaian ini, dan gunakan uangnya untuk membeli makanan bagi anak-anakmu!!"
Wanita itu sangat bergembira dengan pemberiannya itu, dan serta merta berdo'a, "Semoga Allah memberikan kepada tuan pakaian dan perhiasan dari surga, dan semoga setelah hari ini, tuan tidak lagi berhajat (memerlukan) kepada orang lain!!"
Athiyah sangat gembira dengan do'a wanita tersebut dan mengaminkannya. Ia mencari kain sekedarnya yang masih ada di rumahnya, walau mungkin tidak sepenuhnya bisa menutup menutup auratnya sehingga ia tidak mungkin keluar rumah lagi. Ia hanya berdzikir dan shalat di dalam rumahnya, dan menutup pintunya untuk tidak menerima tamu dengan keadaan seperti itu.
Pada malam harinya, ketika ia tertidur karena terlalu larut dalam dzikirnya, ia bermimpi didatangi oleh seorang wanita yang sangat cantik layaknya seorang bidadari, tidak pernah ia bertemu dengan wanita secantik itu. Wanita itu, yang ternyata memang seorang bidadari, membawa sebuah apel, yang kemudian menyerahkannya kepadanya. Setelah Athiyah membuka (membelah)-nya, ternyata keluar pakaian dan perhiasan yang sangat indah dari dalamnya. Sang bidadari memakaikan pakaian dan perhiasan itu kepada Athiyah kemudian ia duduk di pangkuannya.
Antara kaget dan senang, Athiyah bertanya, "Siapakah engkau ini??"
Bidadari itu berkata, "Aku adalah Asyura', istrimu kelak di surga!!"
Athiyah berkata lagi, "Sepertinya aku tidak mempunyai amalan yang istimewa, dengan amalan apakah aku memperoleh karunia yang sebesar ini??"
Bidadari itu berkata, "Berkat do'a dari wanita janda dan anak-anak yatimnya yang engkau tolong kemarin itu!!"
Seketika itu Athiyah terbangun, ia masih di dalam rumahnya yang gelap dan pakaian (kain)-nya yang seadanya, tetapi bau harum pakaian dan bidadari dari surga itu masih menyebar di sekelilingnya. Ia sangat gembira dengan mimpi yang begitu nyata dirasakannya. Ia segera berwudhu dan shalat dua rakaat, kemudian berdo'a, "Ya Allah, bila mimpiku itu memang benar dari sisi-Mu, dan Asyuraa' itu memang istriku di surga, maka segerakanlah kematianku, ambillah ruhku sekarang juga!!"
Usai berdo'a itu, tubuhnya jatuh terkulai ke atas sajadahnya, dan ruhnya terbang ke hadirat Allah SWT dengan mulut tersinggung senyum.
Wallahu 'Alam.
Rabu, 27 April 2016
Tersembunyinya Kekasih Allah SWT
Abdullah bin Mubarak, salah seorang ulama di masa tabi'in, setelah melaksanakan ibadah haji atau umrah, ia tinggal beberapa waktu lamanya di Makkah. Ketika itu terjadi masa paceklik karena telah beberapa bulan lamanya tidak terjadi hujan. Maka orang-orang datang ke suatu lapangan luas untuk melaksanakan shalat istisqa' (shalat meminta hujan), Abdullah bin Mubarak ikut serta dalam jamaah shalat tersebut.
Usai shalat dan memanjatkan do'a kepada Allah, tidak terlihat tanda-tanda bahwa hujan akan turun. Hingga malam menjelang tidak ada awan tebal yang datang membawa air untuk menyirami wilayah Makkah dan sekitarnya. Keesokan harinya, mereka mengulang lagi shalat istisqo' tersebut, tetapi masih juga tidak ada pertanda akan turunnya hujan, termasuk ketika mereka melakukannya untuk ketiga kalinya pada hari berikutnya.
Setelah berjamaah shalat istisqo' pada hari ketiga itu, Ibnul Mubarak berkata dalam hati, "Aku akan keluar memisahkan diri dari orang-orang ini dan berdo'a kepada Allah, mudah-mudahan Allah melimpahkan rahmat-Nya dan mengabulkan do'aku sehingga hujan bisa turun!!"
Ia berjalan diam-diam menuju perbukitan di sekitar Makkah, dan masuk salah satu gua yang ada disana. Tetapi belum sempat ia berbuat apa-apa, tiba-tiba masuklah ke dalam gua itu seorang lelaki berkulit hitam, yang tampaknya seorang budak. Entah tidak tahu, pura-pura tidak tahu atau merasa minder melihat 'penampilan' Ibnul Mubarak yang layaknya seorang ulama khusyu dan 'khos', budak berkulit hitam itu tidak menyapa atau memberi salam kepadanya.
Lelaki hitam itu langsung shalat dua rakaat yang tampaknya sederhana dan ringkas. Setelah mengucap salam, ia meletakkan kepalanya di tanah dan berdo'a, "Ya Allah, sesungguhnya mereka itu adalah hamba-hamba-Mu, mereka telah melaksanakan shalat istisqo' selama tiga hari, tetapi Engkau belum berkenan juga menurunkan hujan. Maka demi keagungan dan kemuliaan-Mu, aku tidak akan mengangkat kepalaku hingga Engkau menurunkan hujan kepada kami!!
Beberapa waktu lamanya ia dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba datang awan hitam bergulung-gulung, kemudian hujan turun dengan derasnya. Lelaki itu segera mengangkat kepalanya dan keluar gua, berjalan menembus hujan tanpa berkata apa-apa.
Sejenak Ibnul Mubarak tertegun melihat pemandangan itu, dan segera setelah tersadar ia berjalan mengikuti lelaki hitam itu menembus hujan. Ia terus membuntutinya hingga memasuki sebuah perkampungan, dan lelaki hitam itu memasuki sebuah rumah yang cukup bagus. Ia duduk diam di depan rumah itu beberapa waktu lamanya, sampai seseorang keluar. Ibnul Mubarak berkata, "Rumah siapakah ini?"
Lelaki itu berkata, Rumah Tuan Fulan bin Fulan!!"
"Bisakah saya membeli budak dari dirinya?" Kata Ibnul Mubarak lagi.
Lelaki itu berkata, "Bisa dan silakan masuk!!"
Ibnul Mubarak dipersilakan duduk dan lelaki itu segera memanggil tuannya. Sang pemilik rumah menemui Ibnul Mubarak sambil membawa seorang budak yang bagus wajahnya dan tampak cekatan, tetapi ia berkata, "Aku tidak menginginkan orang ini, apakah engkau mempunyai budak lainnya?"
"Baiklah!!" Kata sang pemilik rumah, sambil memerintahkan untuk memanggil budak lainnya.
Satu atau dua orang budak lagi ditunjukkan, tetapi Ibnul Mubarak berkata, "Aku tidak menginginkan orang ini, apakah engkau masih memilikinya??"
Tujuan utama Abdullah bin Mubarak adalah lelaki hitam yang ditemuinya di dalam gua itu. Orang itu berkata, "Saya memang masih memiliki satu orang lagi budak, tetapi ia sangat tidak pantas bagi tuan!!"
"Mengapa?" Tanya Ibnul Mubarak.
Orang itu berkata, "Karena dia seorang yang pemalas, tuan tidak akan memperoleh manfaat apa-apa dari dirinya."
Ibnul Mubarak berkata, "Bawalah dia kemari, aku ingin melihatnya."
Budak itu segera didatangkan, dan memang lelaki hitam yang ditemuinya di dalam gua tersebut. Tampak kegembiraan di matanya dan segera ia berkata, "Aku ridha dengan orang ini, berapa engkau ingin menjualnya!!"
Orang itu berkata, "Saya dahulu membelinya 20 dinar, tetapi sekarang tidak laku walau hanya 10 dinar!!"
"Saya akan membelinya 10 dinar darimu!!" Kata Abdullah bin Mubarak, yang langsung mengeluarkan uang 10 dinar dan memberikannya kepada orang itu.
Ibnul Mubarak membawa budak hitam itu ke tempat tinggalnya. Budak hitam yang selama itu hanya diam saja, tiba-tiba berkata, "Wahai Ibnul Mubarak, mengapa engkau membeli aku, aku tidak akan mengabdi dan melayani dirimu!!"
Walau sempat menduga sebelumnya karena peristiwa di dalam gua itu, masih saja Ibnul Mubarak terkejut karena budak itu mengetahui dan menyebut namanya. Padahal ia belum pernah memperkenalkan diri, termasuk kepada pemilik sebelumnya. Tetapi justru hal itu memperkuat dugaan sebelumnya, segera saja Ibnul Mubarak berkata, "Bukan seperti itu, justru aku yang akan melayani kamu, siapakah namamu??"
Budak hitam itu berkata, "Para kekasih Allah tentu mengenal kekasih-Nya!!"
Ketika lelaki hitam itu akan beranjak untuk berwudhu, Ibnul Mubarak segera mengambil air untuknya dan mempersiapkan sandal, serta menunjukkan kamar untuk dirinya. Di dalam kamar lelaki hitam itu shalat dua rakaat. Ibnul Mubarak yang memang sengaja menguping itu, mendengar dia berdo'a setelah shalatnya, layaknya sedang bersyair (berpuisi), "Wahai Tuhan Pemilik Rahasia, rahasia telah menjadi nyata (terbuka), saya tidak lagi menginginkan kehidupan ini, setelah rahasia hidupku diketahui!!"
Beberapa waktu lamanya Ibnul Mubarak menunggu, tetapi ia tidak mendengar suara atau gerakan apapun, maka ia masuk ke dalam kamar dan mendapati lelaki hitam itu telah meninggal. Ia segera mengurus jenazahnya dengan penuh takdzim, hingga memakamkannya. Hanya sedikit orang saja yang membantu dan mengiringi jenazahnya karena hanya seorang budak hitam yang tampak sangat sepele. Hal itu justru menggembirakan bagi Ibnul Mubarak karena ia sendiri yang akhirnya banyak berperan dalam mengurus jenazah 'kekasih Allah' tersebut.
Malam harinya, Ibnul Mubarak bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW. Di sisi kanan beliau ada seorang tua (syaikh) yang wajahnya tampak bersinar, dan budak hitam itu berada di sisi kiri beliau. Nabi SAW bersabda dalam mimpinya itu, "Mudah-mudahan Allah membalas engkau dengan kebaikan yang berlimpah karena apa yang telah engkau lakukan itu. Aku tidak melihat adanya bahaya dan kesulitan yang akan engkau hadapi karena engkau telah berbuat kebaikan kepada kekasihku ini!!"
Beliau menunjuk lelaki hitam tersebut, dan Ibnul Mubarak berkata, "Ya Rasulullah, apakah dia itu kekasihmu?"
"Benar," Kata Nabi SAW, "Dan dia juga kekasih Khalilul Rahman, Ibrahim AS!!"
Beliau menunjuk lelaki tua di sisi kanan beliau. Dan Ibnul Mubarak tersentak bangun dari tidurnya. Ia segera bangkit berwudhu dan shalat dua rakaat, kemudian berdo'a yang lebih banyak diisinya dengan ucapan syukur kepada Allah.
Wallahu 'Alam.
Usai shalat dan memanjatkan do'a kepada Allah, tidak terlihat tanda-tanda bahwa hujan akan turun. Hingga malam menjelang tidak ada awan tebal yang datang membawa air untuk menyirami wilayah Makkah dan sekitarnya. Keesokan harinya, mereka mengulang lagi shalat istisqo' tersebut, tetapi masih juga tidak ada pertanda akan turunnya hujan, termasuk ketika mereka melakukannya untuk ketiga kalinya pada hari berikutnya.
Setelah berjamaah shalat istisqo' pada hari ketiga itu, Ibnul Mubarak berkata dalam hati, "Aku akan keluar memisahkan diri dari orang-orang ini dan berdo'a kepada Allah, mudah-mudahan Allah melimpahkan rahmat-Nya dan mengabulkan do'aku sehingga hujan bisa turun!!"
Ia berjalan diam-diam menuju perbukitan di sekitar Makkah, dan masuk salah satu gua yang ada disana. Tetapi belum sempat ia berbuat apa-apa, tiba-tiba masuklah ke dalam gua itu seorang lelaki berkulit hitam, yang tampaknya seorang budak. Entah tidak tahu, pura-pura tidak tahu atau merasa minder melihat 'penampilan' Ibnul Mubarak yang layaknya seorang ulama khusyu dan 'khos', budak berkulit hitam itu tidak menyapa atau memberi salam kepadanya.
Lelaki hitam itu langsung shalat dua rakaat yang tampaknya sederhana dan ringkas. Setelah mengucap salam, ia meletakkan kepalanya di tanah dan berdo'a, "Ya Allah, sesungguhnya mereka itu adalah hamba-hamba-Mu, mereka telah melaksanakan shalat istisqo' selama tiga hari, tetapi Engkau belum berkenan juga menurunkan hujan. Maka demi keagungan dan kemuliaan-Mu, aku tidak akan mengangkat kepalaku hingga Engkau menurunkan hujan kepada kami!!
Beberapa waktu lamanya ia dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba datang awan hitam bergulung-gulung, kemudian hujan turun dengan derasnya. Lelaki itu segera mengangkat kepalanya dan keluar gua, berjalan menembus hujan tanpa berkata apa-apa.
Sejenak Ibnul Mubarak tertegun melihat pemandangan itu, dan segera setelah tersadar ia berjalan mengikuti lelaki hitam itu menembus hujan. Ia terus membuntutinya hingga memasuki sebuah perkampungan, dan lelaki hitam itu memasuki sebuah rumah yang cukup bagus. Ia duduk diam di depan rumah itu beberapa waktu lamanya, sampai seseorang keluar. Ibnul Mubarak berkata, "Rumah siapakah ini?"
Lelaki itu berkata, Rumah Tuan Fulan bin Fulan!!"
"Bisakah saya membeli budak dari dirinya?" Kata Ibnul Mubarak lagi.
Lelaki itu berkata, "Bisa dan silakan masuk!!"
Ibnul Mubarak dipersilakan duduk dan lelaki itu segera memanggil tuannya. Sang pemilik rumah menemui Ibnul Mubarak sambil membawa seorang budak yang bagus wajahnya dan tampak cekatan, tetapi ia berkata, "Aku tidak menginginkan orang ini, apakah engkau mempunyai budak lainnya?"
"Baiklah!!" Kata sang pemilik rumah, sambil memerintahkan untuk memanggil budak lainnya.
Satu atau dua orang budak lagi ditunjukkan, tetapi Ibnul Mubarak berkata, "Aku tidak menginginkan orang ini, apakah engkau masih memilikinya??"
Tujuan utama Abdullah bin Mubarak adalah lelaki hitam yang ditemuinya di dalam gua itu. Orang itu berkata, "Saya memang masih memiliki satu orang lagi budak, tetapi ia sangat tidak pantas bagi tuan!!"
"Mengapa?" Tanya Ibnul Mubarak.
Orang itu berkata, "Karena dia seorang yang pemalas, tuan tidak akan memperoleh manfaat apa-apa dari dirinya."
Ibnul Mubarak berkata, "Bawalah dia kemari, aku ingin melihatnya."
Budak itu segera didatangkan, dan memang lelaki hitam yang ditemuinya di dalam gua tersebut. Tampak kegembiraan di matanya dan segera ia berkata, "Aku ridha dengan orang ini, berapa engkau ingin menjualnya!!"
Orang itu berkata, "Saya dahulu membelinya 20 dinar, tetapi sekarang tidak laku walau hanya 10 dinar!!"
"Saya akan membelinya 10 dinar darimu!!" Kata Abdullah bin Mubarak, yang langsung mengeluarkan uang 10 dinar dan memberikannya kepada orang itu.
Ibnul Mubarak membawa budak hitam itu ke tempat tinggalnya. Budak hitam yang selama itu hanya diam saja, tiba-tiba berkata, "Wahai Ibnul Mubarak, mengapa engkau membeli aku, aku tidak akan mengabdi dan melayani dirimu!!"
Walau sempat menduga sebelumnya karena peristiwa di dalam gua itu, masih saja Ibnul Mubarak terkejut karena budak itu mengetahui dan menyebut namanya. Padahal ia belum pernah memperkenalkan diri, termasuk kepada pemilik sebelumnya. Tetapi justru hal itu memperkuat dugaan sebelumnya, segera saja Ibnul Mubarak berkata, "Bukan seperti itu, justru aku yang akan melayani kamu, siapakah namamu??"
Budak hitam itu berkata, "Para kekasih Allah tentu mengenal kekasih-Nya!!"
Ketika lelaki hitam itu akan beranjak untuk berwudhu, Ibnul Mubarak segera mengambil air untuknya dan mempersiapkan sandal, serta menunjukkan kamar untuk dirinya. Di dalam kamar lelaki hitam itu shalat dua rakaat. Ibnul Mubarak yang memang sengaja menguping itu, mendengar dia berdo'a setelah shalatnya, layaknya sedang bersyair (berpuisi), "Wahai Tuhan Pemilik Rahasia, rahasia telah menjadi nyata (terbuka), saya tidak lagi menginginkan kehidupan ini, setelah rahasia hidupku diketahui!!"
Beberapa waktu lamanya Ibnul Mubarak menunggu, tetapi ia tidak mendengar suara atau gerakan apapun, maka ia masuk ke dalam kamar dan mendapati lelaki hitam itu telah meninggal. Ia segera mengurus jenazahnya dengan penuh takdzim, hingga memakamkannya. Hanya sedikit orang saja yang membantu dan mengiringi jenazahnya karena hanya seorang budak hitam yang tampak sangat sepele. Hal itu justru menggembirakan bagi Ibnul Mubarak karena ia sendiri yang akhirnya banyak berperan dalam mengurus jenazah 'kekasih Allah' tersebut.
Malam harinya, Ibnul Mubarak bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW. Di sisi kanan beliau ada seorang tua (syaikh) yang wajahnya tampak bersinar, dan budak hitam itu berada di sisi kiri beliau. Nabi SAW bersabda dalam mimpinya itu, "Mudah-mudahan Allah membalas engkau dengan kebaikan yang berlimpah karena apa yang telah engkau lakukan itu. Aku tidak melihat adanya bahaya dan kesulitan yang akan engkau hadapi karena engkau telah berbuat kebaikan kepada kekasihku ini!!"
Beliau menunjuk lelaki hitam tersebut, dan Ibnul Mubarak berkata, "Ya Rasulullah, apakah dia itu kekasihmu?"
"Benar," Kata Nabi SAW, "Dan dia juga kekasih Khalilul Rahman, Ibrahim AS!!"
Beliau menunjuk lelaki tua di sisi kanan beliau. Dan Ibnul Mubarak tersentak bangun dari tidurnya. Ia segera bangkit berwudhu dan shalat dua rakaat, kemudian berdo'a yang lebih banyak diisinya dengan ucapan syukur kepada Allah.
Wallahu 'Alam.
Selasa, 12 April 2016
Seorang Yahudi Yang Merindukan Rasulullah SAW
Hari Sabat atau hari Sabtu saat ini, adalah hari besar dimana para pengikut ajaran Nabi Musa AS (pada masa Nabi SAW dikenal sebagai kaum Yahudi) dilarang melakukan aktivitas apapun kecuali untuk beribadah, berdzikir atau mempelajari kitab Taurat.
Suatu ketika, seorang lelaki Yahudi yang tinggal di Syam mengisi hari Sabatnya untuk mempelajari kitab Taurat. Ia menemukan dalam Taurat tersebut ayat-ayat yang menyebutkan tentang sifat dan keadaan Nabi Muhammad SAW, Nabi yang diramalkan akan turun sebagai penutup para Nabi-nabi, sebanyak empat halaman. Ia segera memotong empat halaman Taurat tersebut dan membakarnya.
Saat itu memang Nabi SAW telah diutus dan telah tinggal di Madinah. Sementara itu, beberapa pemuka dan pendeta Yahudi melakukan "indoktrinasi" kepada jamaahnya bahwa Nabi Muhammad SAW adalah seorang pendusta. Jika ditemukan sifat dan cerita tentang dirinya dalam Taurat, mereka harus memotong dan membakarnya karena itu merupakan ayat-ayat tambahan dalam Taurat yang tidak benar. Lelaki Yahudi dari Syam tersebut adalah satu anggota jamaah sekte ini.
Pada hari Sabat berikutnya, ia juga mengisi harinya dengan melakukan kajian terhadap Taurat, dan ia menemukan 8 halaman yang menyebutkan tentang keadaan dan sifat-sifat Nabi SAW. Seperti kejadian sebelumnya, ia memotong 8 halaman tersebut dan membakarnya.
Pada hari Sabtu berikutnya lagi, ia masih melakukan kajian terhadap Taurat, dan kali ini ia menemukan hal yang sama, bahkan ditambah dengan cerita tentang beberapa sahabat tentang beliau, dan ia menemukannya dalam 12 halaman. Kali ini ia tidak langsung memotongnya, tetapi ia berpikir dan berkata dalam hatinya, "Jika aku selalu memotong bagian seperti ini, bisa-bisa Taurat ini seluruhnya akan menyebutkan tentang sifat-sifat dan keadaan Muhammad..!"
Tentunya kita tidak tahu pasti, apakah memang Allah SWT menggiring lelaki Yahudi kepada hidayah-Nya, sehingga setiap kali dipotong, akan muncul secara ajaib (mu'jizat) pada halaman lainnya, lebih banyak dan lebih lengkap tentang keadaan Nabi Muhammad SAW.
Tetapi 3 kali pengalaman kajiannya tersebut telah memunculkan rasa penasaran dan keingintahuannya yang besar kepada Nabi SAW. Bahkan dengan 3 kali kajiannya tersebut, seakan-akan sifat-sifat dan keadaan beliau telah lekat di kepalanya, dan seperti mengenal beliau sangat akrab.
Ia datang kepada kawan-kawan Yahudinya dan berkata, "Siapakah Muhammad ini?"
"Ia seorang pembohong besar (yang tinggal di Madinah)," Kata salah seorang temannya, "Lebih baik engkau tidak melihatnya, dan dia tidak perlu melihat engkau!!"
Tetapi lelaki Yahudi yan telah "melihat" dengan "ilmu yakin" tentang keadaan Nabi SAW ini, tampaknya tidak mudah begitu saja dipengaruhi teman-temannya. Seakan ada kerinduan menggumpal kepada sosok Muhammad yang belum pernah dikenal dan ditemuinya itu. Kerinduan yang memunculkan kegelisahan, yang tidak akan bisa hilang kecuali bertemu langsung dengan sosok imajinasi dalam pikirannya tersebut. Ia berkata dengan tegas, "Demi kebenaran Taurat Musa, janganlah kalian menghalangi aku untuk menemui Muhammad..!!"
Dengan tekad yang begitu kuatnya, teman-temannya itu tak mampu lagi menghalangi langkahnya untuk bertemu Nabi SAW di Madinah. Lelaki Yahudi ini mempersiapkan kendaraan dan perbekalannya dan langsung memacunya mengarungi padang pasir tanpa menunda-nundanya lagi. Beberapa hari berjalan, siang dan malam terus saja berjalan, hingga akhirnya ia memasuki kota Madinah.
Orang pertama yang bertemu dengannya adalah Sahabat Salman Al-Farisi. Karena Salman berwajah tampan, dan mirip gambaran yang diperolehnya dalam Taurat, ia berkata, "Apakah engkau Muhammad?"
Salman tidak langsung menjawab, bahkan segera saja ia menangis mendapat pertanyaan tersebut, sehingga membuat lelaki Yahudi ini terheran-heran. Kemudian Salman berkata, "Saya adalah pesuruhnya!"
Memang, hari itu telah tiga hari Nabi SAW wafat dan jenazah beliau baru dimakamkan kemarin malamnya, sehingga pertanyaan seperti itu mengingatkannya kepada beliau dan membuat salman menangis. Kemudian lelaki Yahudi itu berkata, "Dimanakah Muhammad?"
Salman berfikir cepat, kalau ia berkata jujur bahwa Nabi SAW telah wafat, mungkin lelaki ini akan pulang, tetapi kalau ia berkata masih hidup, maka ia berbohong. Salaman pun berkata, "Marilah aku antar engkau kepada sahabat-sahabat beliau!"
Salman membawa lelaki Yahudi tersebut ke Mesjid, di sana para sahabat tengah berkumpul dalam keadaan sedih. Ketika tiba di pintu Mesjid, lelaki Yahudi ini berseru agak keras, Assalamu'alaika, ya Muhammad!"
Ia mengira Nabi SAW ada diantara kumpulan para sahabat tersebut, tetapi sekali lagi ia melihat reaksi yang mengherankan. Beberapa orang pecah tangisnya, beberapa lainnya makin sesenggukan dan kesedihan makin meliputi wajah-wajah mereka. Salah seorang sahabat berkata, "Wahai orang asing, siapakah engkau ini? Sungguh engkau telah memperbaharui luka hati kami! Apakah kamu belum tahu bahwa beliau telah wafat tiga hari yang lalu?"
Seketika lelaki Yahudi tersebut berteriak penuh kesedihan, "Betapa sedih hariku, betapa sia-sia perjalananku! Aduhai, andai saja ibuku tidak pernah melahirkan aku, andai saja aku tidak pernah membaca Taurat dan mengkajinya, andai saja dalam membaca dan mengkaji Taurat tidak pernah menemukan ayat-ayat yang menyebutkan sifat-sifat dan keadaannya, andai saja aku bertemu dengannya setelah aku menemukan ayat-ayat Taurat tersebut...(tentu tidak akan sesedih ini keadaanku)!"
Lelaki Yahudi tersebut menangis tersedu, tenggelam dalam kesedihannya sendiri. Seakan teringat sesuatu, tiba-tiba ia berkata, "Apakah Ali berada di sini, sehingga ia bisa menyebutkan sifat-sifatnya kepadaku!"
"Ada," Kata Ali bin Abi Thalib sambil mendekat kepada lelaki Yahudi tersebut.
"Aku menemukan namamu dalam kitab Taurat bersama Muhammad. Tolong engkau ceritakan padaku ciri-ciri beliau!"
Ali bin Abi Thalib berkata, "Rasulullah SAW itu tidak tinggi dan tidak pendek, kepalanya bulat, dahinya lebar, kedua matanya tajam, kedua alisnya tebal. Bila beliau tertawa, keluar cahaya dari sela-sela giginya, dadanya berbulu, telapak tangannya berisi, telapak kakinya cekung, lebar langkahnya, dan diantara dua belikat beliau ada tanda khatamun nubuwwah!"
"Engkau benar, wahai Ali," Kata lelaki Yahudi tersebut, "Seperti itulah ciri-ciri Nabi Muhammad yang disebutkan dalam kitab Taurat. Apakah masih ada sisa baju beliau sehingga aku bisa menciumnya?"
"Masih!" Kata Ali, kemudian ia meminta tolong kepada Salman untuk mengambil jubah Rasulullah SAW yang disimpan Fathimah Az-Zahrah, istrinya dan putri kesayangan Nabi SAW.
Salman segera bangkit menuju tempat kediaman Fathimah. Di depan pintu rumahnya, ia mendengar tangisan Hasan dan Husain, cucu kecintaan Rasulullah SAW. Sambil mengetuk pintu, Salman berkata, "Wahai tempat kebanggaan para nabi, wahai tempat hiasan para wali!"
"Siapakah yang mengetuk pintu orang yatim!" Fathimah menyahut dari dalam.
"Saya, Salman.."Kata Salman, kemudian ia menyebutkan maksud kedatangannya sesuai yang dipesankan oleh Ali.
"Siapakah yang akan memakai jubah ayahku?" Kata Fathimah sambil menangis.
Salman menceritakan peristiwa berkaitan dengan lelaki Yahudi tersebut, lalu Fathimah mengeluarkan jubah Rasulullah SAW, yang terdapat tujuh tambalan dengan tali serat kurma, dan menyerahkannya kepada Salman, yang langsung membawanya ke Mesjid. Setelah menerima jubah tersebut dari Salman, Ali menciumnya diiringi haru dan tangis, hingga sembab matanya. Jubah Rasulullah SAW tersebut beredar dari satu sahabat ke sahabat lainnya yang hadir, mereka menciumnya dan banyak yang menangis karena haru dan rindu kepada Nabi SAW, dan terakhir jatuh ke tangan lelaki Yahudi tersebut.
Lelaki Yahudi ini menciumnya dan mendekap erat jubah Nabi SAW dan berkata, "Betapa harumnya jubah ini...!"
Dengan tetap mendekap jubah tersebut, lelaki Yahudi ini mendekat ke makam Rasulullah SAW, kemudian mengadahkan kepalanya ke langit dan berkata, "Wahai Tuhanku, saya bersaksi bahwa Engkau adalah Dzat yang Esa, Tunggal dan tempat bergantung (Ash-Shomad). Dan saya bersaksi bahwa orang yang ada di dalam kubur ini adalah Rasul-Mu dan kekasih-Mu. Saya membenarkan segala apa yang ia ajarkan! Wahai Allah, jika Engkau menerima keislamanku, maka cabutlah nyawaku sekarang juga..!"
Tak lama kemudian lelaki Yahudi tersebut terkulai jatuh dan meninggal dunia. Ali dan para sahabat lainnya ikut terharu dan sedih melihat keadaan si lelaki Yahudi tersebut. Mereka segera memandikan dan mengurus jenazah lelaki Yahudi, yang telah menjadi muslim tersebut, dan ia memakamkannya di Baqi'.
Lelaki Yahudi ini bukanlah termasuk sahabat Nabi SAW, bahkan dalam keislamannya tersebut belum satupun shalat atau kefardhuan lain yang dilakukannya, tetapi kecintaan dan kerinduannya kepada Nabi SAW membuatnya pantas kalau ia dimakamkan di Baqi' disandingkan dengan para sahabat beliau lainnya.
Wallahu 'Alam.
Suatu ketika, seorang lelaki Yahudi yang tinggal di Syam mengisi hari Sabatnya untuk mempelajari kitab Taurat. Ia menemukan dalam Taurat tersebut ayat-ayat yang menyebutkan tentang sifat dan keadaan Nabi Muhammad SAW, Nabi yang diramalkan akan turun sebagai penutup para Nabi-nabi, sebanyak empat halaman. Ia segera memotong empat halaman Taurat tersebut dan membakarnya.
Saat itu memang Nabi SAW telah diutus dan telah tinggal di Madinah. Sementara itu, beberapa pemuka dan pendeta Yahudi melakukan "indoktrinasi" kepada jamaahnya bahwa Nabi Muhammad SAW adalah seorang pendusta. Jika ditemukan sifat dan cerita tentang dirinya dalam Taurat, mereka harus memotong dan membakarnya karena itu merupakan ayat-ayat tambahan dalam Taurat yang tidak benar. Lelaki Yahudi dari Syam tersebut adalah satu anggota jamaah sekte ini.
Pada hari Sabat berikutnya, ia juga mengisi harinya dengan melakukan kajian terhadap Taurat, dan ia menemukan 8 halaman yang menyebutkan tentang keadaan dan sifat-sifat Nabi SAW. Seperti kejadian sebelumnya, ia memotong 8 halaman tersebut dan membakarnya.
Pada hari Sabtu berikutnya lagi, ia masih melakukan kajian terhadap Taurat, dan kali ini ia menemukan hal yang sama, bahkan ditambah dengan cerita tentang beberapa sahabat tentang beliau, dan ia menemukannya dalam 12 halaman. Kali ini ia tidak langsung memotongnya, tetapi ia berpikir dan berkata dalam hatinya, "Jika aku selalu memotong bagian seperti ini, bisa-bisa Taurat ini seluruhnya akan menyebutkan tentang sifat-sifat dan keadaan Muhammad..!"
Tentunya kita tidak tahu pasti, apakah memang Allah SWT menggiring lelaki Yahudi kepada hidayah-Nya, sehingga setiap kali dipotong, akan muncul secara ajaib (mu'jizat) pada halaman lainnya, lebih banyak dan lebih lengkap tentang keadaan Nabi Muhammad SAW.
Tetapi 3 kali pengalaman kajiannya tersebut telah memunculkan rasa penasaran dan keingintahuannya yang besar kepada Nabi SAW. Bahkan dengan 3 kali kajiannya tersebut, seakan-akan sifat-sifat dan keadaan beliau telah lekat di kepalanya, dan seperti mengenal beliau sangat akrab.
Ia datang kepada kawan-kawan Yahudinya dan berkata, "Siapakah Muhammad ini?"
"Ia seorang pembohong besar (yang tinggal di Madinah)," Kata salah seorang temannya, "Lebih baik engkau tidak melihatnya, dan dia tidak perlu melihat engkau!!"
Tetapi lelaki Yahudi yan telah "melihat" dengan "ilmu yakin" tentang keadaan Nabi SAW ini, tampaknya tidak mudah begitu saja dipengaruhi teman-temannya. Seakan ada kerinduan menggumpal kepada sosok Muhammad yang belum pernah dikenal dan ditemuinya itu. Kerinduan yang memunculkan kegelisahan, yang tidak akan bisa hilang kecuali bertemu langsung dengan sosok imajinasi dalam pikirannya tersebut. Ia berkata dengan tegas, "Demi kebenaran Taurat Musa, janganlah kalian menghalangi aku untuk menemui Muhammad..!!"
Dengan tekad yang begitu kuatnya, teman-temannya itu tak mampu lagi menghalangi langkahnya untuk bertemu Nabi SAW di Madinah. Lelaki Yahudi ini mempersiapkan kendaraan dan perbekalannya dan langsung memacunya mengarungi padang pasir tanpa menunda-nundanya lagi. Beberapa hari berjalan, siang dan malam terus saja berjalan, hingga akhirnya ia memasuki kota Madinah.
Orang pertama yang bertemu dengannya adalah Sahabat Salman Al-Farisi. Karena Salman berwajah tampan, dan mirip gambaran yang diperolehnya dalam Taurat, ia berkata, "Apakah engkau Muhammad?"
Salman tidak langsung menjawab, bahkan segera saja ia menangis mendapat pertanyaan tersebut, sehingga membuat lelaki Yahudi ini terheran-heran. Kemudian Salman berkata, "Saya adalah pesuruhnya!"
Memang, hari itu telah tiga hari Nabi SAW wafat dan jenazah beliau baru dimakamkan kemarin malamnya, sehingga pertanyaan seperti itu mengingatkannya kepada beliau dan membuat salman menangis. Kemudian lelaki Yahudi itu berkata, "Dimanakah Muhammad?"
Salman berfikir cepat, kalau ia berkata jujur bahwa Nabi SAW telah wafat, mungkin lelaki ini akan pulang, tetapi kalau ia berkata masih hidup, maka ia berbohong. Salaman pun berkata, "Marilah aku antar engkau kepada sahabat-sahabat beliau!"
Salman membawa lelaki Yahudi tersebut ke Mesjid, di sana para sahabat tengah berkumpul dalam keadaan sedih. Ketika tiba di pintu Mesjid, lelaki Yahudi ini berseru agak keras, Assalamu'alaika, ya Muhammad!"
Ia mengira Nabi SAW ada diantara kumpulan para sahabat tersebut, tetapi sekali lagi ia melihat reaksi yang mengherankan. Beberapa orang pecah tangisnya, beberapa lainnya makin sesenggukan dan kesedihan makin meliputi wajah-wajah mereka. Salah seorang sahabat berkata, "Wahai orang asing, siapakah engkau ini? Sungguh engkau telah memperbaharui luka hati kami! Apakah kamu belum tahu bahwa beliau telah wafat tiga hari yang lalu?"
Seketika lelaki Yahudi tersebut berteriak penuh kesedihan, "Betapa sedih hariku, betapa sia-sia perjalananku! Aduhai, andai saja ibuku tidak pernah melahirkan aku, andai saja aku tidak pernah membaca Taurat dan mengkajinya, andai saja dalam membaca dan mengkaji Taurat tidak pernah menemukan ayat-ayat yang menyebutkan sifat-sifat dan keadaannya, andai saja aku bertemu dengannya setelah aku menemukan ayat-ayat Taurat tersebut...(tentu tidak akan sesedih ini keadaanku)!"
Lelaki Yahudi tersebut menangis tersedu, tenggelam dalam kesedihannya sendiri. Seakan teringat sesuatu, tiba-tiba ia berkata, "Apakah Ali berada di sini, sehingga ia bisa menyebutkan sifat-sifatnya kepadaku!"
"Ada," Kata Ali bin Abi Thalib sambil mendekat kepada lelaki Yahudi tersebut.
"Aku menemukan namamu dalam kitab Taurat bersama Muhammad. Tolong engkau ceritakan padaku ciri-ciri beliau!"
Ali bin Abi Thalib berkata, "Rasulullah SAW itu tidak tinggi dan tidak pendek, kepalanya bulat, dahinya lebar, kedua matanya tajam, kedua alisnya tebal. Bila beliau tertawa, keluar cahaya dari sela-sela giginya, dadanya berbulu, telapak tangannya berisi, telapak kakinya cekung, lebar langkahnya, dan diantara dua belikat beliau ada tanda khatamun nubuwwah!"
"Engkau benar, wahai Ali," Kata lelaki Yahudi tersebut, "Seperti itulah ciri-ciri Nabi Muhammad yang disebutkan dalam kitab Taurat. Apakah masih ada sisa baju beliau sehingga aku bisa menciumnya?"
"Masih!" Kata Ali, kemudian ia meminta tolong kepada Salman untuk mengambil jubah Rasulullah SAW yang disimpan Fathimah Az-Zahrah, istrinya dan putri kesayangan Nabi SAW.
Salman segera bangkit menuju tempat kediaman Fathimah. Di depan pintu rumahnya, ia mendengar tangisan Hasan dan Husain, cucu kecintaan Rasulullah SAW. Sambil mengetuk pintu, Salman berkata, "Wahai tempat kebanggaan para nabi, wahai tempat hiasan para wali!"
"Siapakah yang mengetuk pintu orang yatim!" Fathimah menyahut dari dalam.
"Saya, Salman.."Kata Salman, kemudian ia menyebutkan maksud kedatangannya sesuai yang dipesankan oleh Ali.
"Siapakah yang akan memakai jubah ayahku?" Kata Fathimah sambil menangis.
Salman menceritakan peristiwa berkaitan dengan lelaki Yahudi tersebut, lalu Fathimah mengeluarkan jubah Rasulullah SAW, yang terdapat tujuh tambalan dengan tali serat kurma, dan menyerahkannya kepada Salman, yang langsung membawanya ke Mesjid. Setelah menerima jubah tersebut dari Salman, Ali menciumnya diiringi haru dan tangis, hingga sembab matanya. Jubah Rasulullah SAW tersebut beredar dari satu sahabat ke sahabat lainnya yang hadir, mereka menciumnya dan banyak yang menangis karena haru dan rindu kepada Nabi SAW, dan terakhir jatuh ke tangan lelaki Yahudi tersebut.
Lelaki Yahudi ini menciumnya dan mendekap erat jubah Nabi SAW dan berkata, "Betapa harumnya jubah ini...!"
Dengan tetap mendekap jubah tersebut, lelaki Yahudi ini mendekat ke makam Rasulullah SAW, kemudian mengadahkan kepalanya ke langit dan berkata, "Wahai Tuhanku, saya bersaksi bahwa Engkau adalah Dzat yang Esa, Tunggal dan tempat bergantung (Ash-Shomad). Dan saya bersaksi bahwa orang yang ada di dalam kubur ini adalah Rasul-Mu dan kekasih-Mu. Saya membenarkan segala apa yang ia ajarkan! Wahai Allah, jika Engkau menerima keislamanku, maka cabutlah nyawaku sekarang juga..!"
Tak lama kemudian lelaki Yahudi tersebut terkulai jatuh dan meninggal dunia. Ali dan para sahabat lainnya ikut terharu dan sedih melihat keadaan si lelaki Yahudi tersebut. Mereka segera memandikan dan mengurus jenazah lelaki Yahudi, yang telah menjadi muslim tersebut, dan ia memakamkannya di Baqi'.
Lelaki Yahudi ini bukanlah termasuk sahabat Nabi SAW, bahkan dalam keislamannya tersebut belum satupun shalat atau kefardhuan lain yang dilakukannya, tetapi kecintaan dan kerinduannya kepada Nabi SAW membuatnya pantas kalau ia dimakamkan di Baqi' disandingkan dengan para sahabat beliau lainnya.
Wallahu 'Alam.
Selasa, 05 April 2016
Ya'juj Dan Ma'juj
Ya'juj dan Ma'juj merupakan salah satu tanda besar akan tibanya hari kiamat, yakni setelah terbunuhnya Dajjal oleh Nabi Isa AS. Namun Ya'juj dan Ma'juj itu sendiri telah ada jauh sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW.
Sebagian ulama menyebutkan bahwa Ya'juj dan Ma'juj merupakan jenis, bangsa atau ras juga yang diturunkan dari salah satu cucu Nabi Nuh AS, Sanaf bin Yafits bin Nuh, hanya saja tidak diketahui pasti pada generasi yang ke berapa. Yang jelas, bangsa atau ras Ya'juj dan Ma'juj ini mempunyai agresivitas tinggi, yang sifatnya sangat merusak dan mengganggu kehidupan manusia lainnya. Mereka suka menyerang dan merampok bangsa-bangsa di sekitarnya, dan bertindak sangat kejamnya, sehingga menjadi momok dan ancaman bagi masyarakat sekitarnya.
'Rekaman' paling sahih tentang keberadaan Ya'juj dan Ma'juj ini terdapat dalam QS Al-Kahfi ayat 92-98, yang merupakan bagian dari kisah Dzul-Qarnain. Sedang munculnya menjelang kiamat, setelah terbebasnya Ya'juj dan Ma'juj ini dari dinding baja yang dibuat Dzul-Qarnain, disitir dalam QS Al-Anbiya ayat 96. Beberapa hadist tentang tanda-tanda kiamat, juga menjelaskan tentang keberadaan Ya'juj dan Ma'juj ini.
Dzul-Qarnain, atau dikenal dengan nama Iskandar Zulkarnain, dalam sejarah terkadang dihubungkan (disamakan) dengan nama Iskandar dari Macedonia atau The Greet Alexander, bukanlah seorang Nabi atau Rasul, tetapi seseorang yang memiliki keutamaan dan prestasi luar biasa sehingga namanya diabadikan dalam Al-Qur'an. Sebagian riwayat menyebutkan ia hidup pada masa Nabi Isa AS, tetapi ada juga yang menyebutkan sebelumnya, yakni sekitar 300 tahun sebelum Masehi. Ada juga pendapat yang menyebutkan ia hidup sekitar 1500 sebelum Hijriah, atau 900 sebelum Masehi, Wallahu 'Alam.
Allah memberikan kepada Dzul-Qarnain keimanan, kecerdasan, kekuatan dan kekuasaan, serta pasukan yang sangat kuat. Ia bisa menaklukkan dan menyatukan wilayah barat (Afrika) hingga wilayah di timur (India), menghapuskan segala macam kedzaliman dan menebarkan keimanan serta kedamaian di wilayah-wilayah tersebut. Kemudian Dzul-Qarnain melanjutkan misinya ke arah utara hingga tiba di suatu negeri yang bergunung-gunung. Ada yang menyebutkan itu di wilayah Turki, atau wilayah Azerbijan atau Armenia sekarang ini.
Dzul-Qarnain kesulitan melakukan komunikasi dengan penduduk di daerah itu karena mempunyai bahasa yang berbeda, tetapi akhirnya ia memahami kalau masyarakat di sana sering mengalami gangguan dan ancaman dari bangsa Ya'juj dan Ma'juj yang berdiam diantara gunung-gunung yang menjulang tinggi.
Mereka berkata, "Hai Dzul-Qarnain, sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?"
Sejak awal melakukan 'muhibah' ke segala penjuru bumi, Dzul-Qarnain mempunyai misi untuk menyebarkan kebaikan dan keamanan semata-mata karena mengharap keridhoan Allah, tidak karena ambisi kekuasaan, kekayaan dan nama besar. Karena itu ia berkata, "Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka!"
Dzul-Qarnain mulai menggerakan pasukannya untuk membuat proyek dinding atau bendungan yang akan menutup akses Ya'juj dan Ma'juj keluar dari wilayahnya, dengan bantuan penduduk setempat. Ia meminta mereka untuk mengumpulkan potongan-potongan besi dan tembaga sebagai bahan pembuatannya. Sebagian ulama menyebutkan, dinding atau bendungan itu terdiri atas dua lapisan besi setinggi dua gunung yang mengapitnya, di tengah-tengahnya di tuangkan tembaga yang telah di cairkan dengan panas sangat tinggi.
Entah teknologi atau arsitektur apa yang digunakan Dzul-Qarnain dalam merealisasikan bendungan baja tersebut, sehingga begitu kokohnya hingga dekat datangnya hari kiamat kelak. Tetapi yang jelas, hal itu tidak terlepas dari bimbingan ilham (wahyu) Allah kepadanya. Sikap tawadhu Dzul-Qarnain tampak sekali ketika dinding dan bendungan itu telah selesai dikerjakan. Ia berkata,"Ini (dinding) adalah rahmat dari Tuhanku, maka apabila sudah datang janji Tuhanku, Dia akan menjadikannya hancur luluh, dan janji Tuhanku itu adalah benar!"
Sebagian riwayat menyebutkan, tempat tinggal Ya'juj dan Ma'juj itu adalah jurang yang begitu dalam, terkurung oleh dua gunung yang mendingdingnya begitu tinggi, hampir tidak bisa didaki karena begitu licinnya. Di balik gunung-gunung itu hanya batu-batuan yang sangat curam dan terjal, serta lautan luas yang begitu ganas gelombangnya. Setelah jalan keluarnya tertutup dengan dinding yang dibuat oleh Dzul-Qarnain itu, praktis Ya'juj dan Ma'juj terisolasi dari dunia luar, bahkan sinar matahari tidak bisa menembus tempat tinggalnya. Namun demikian, dengan dengan kehendak Allah, mereka tetap bertahan hidup hingga menjelang kiamat kelak, bahkan berkembang biak dengan sangat cepatnya sehingga jumlahnya jauh lebih banyak daripada manusia.
Sahabat Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Nabi SAW menjelaskan kalau setiap harinya Ya'juj dan Ma'juj itu melakukan penggalian untuk menembus gunung atau dinding baja tersebut. Setelah seharian penuh melakukan penggalian begitu dalam dan jauhnya, bahkan hampir saja mereka bisa melihat sinar matahari, salah satu pemimpinnya akan berkata, "Berhenti, kembalilah kamu sekalian, kita lanjutkan besok pagi untuk menggalinya!"
Malam harinya Allah SWT mengembalikan lagi dinding gunung atau bendungan itu seperti semula, sehingga pagi harinya mereka harus menggali lagi dari awal. Ketika mereka hampir menembus dan nyaris melihat matahari, lagi-lagi pemimpinnya menghentikan untuk melanjutkan penggalian keesokan harinya. Pada malam harinya Allah mengembalikan galian mereka seperti semula. Begitulah berulang-ulang hingga hari kiamat menjelang, dan memang seperti itulah yang dikehendaki Allah, Ya'juj dan Ma'juj akan muncul ketika kiamat benar-benar telah dekat.
Sebagian ulama berpendapat, ketika kemunculannya menjelang hari kiamat kelak, Ya'juj dan Ma'juj mempunyai bentuk yang sangat berbeda dengan umumnya manusia sekarang, walau sebenarnya berasal dari ras manusia juga. Mereka terdiri dari 3 bentuk dengan ukuran yang berbeda. Pertama mirip dengan lebah atau pohon besar (al-arzi) dengan ukuran yang sangat besar, yakni 120 hasta atau sekitar 60 meter. Kedua ukurannya lebih kecil dan berbentuk persegi panjang dengan daun telinga yang sangat lebar. Ketika tidur, satu telinga dipakai untuk alas dan telinga satunya untuk selimut. Ketiga sangat kecil, tak lebih dari sejengkal saja. Tetapi mereka itu semuanya bercakar, atau kukunya sangat panjang, dan suaranya seperti auman singa atau gonggongan anjing.
Tentu sulit dijelaskan secara ilmiah bagaimana bisa seperti itu, tetapi kalau mengutip Teori Evolusi Darwin, terlepas bahwa kita tidak boleh mempercayai pendapatnya bahwa manusia berasal dari jenis primata atau kera, bisa saja Ya'juj dan Ma'juj mengalami evolusi dan menjalani proses adaptasi sehingga menjadi 3 bentuk dan ukuran yang berbeda seperti itu. Untuk diketahui, Nabi Adam AS diciptakan Allah setinggi 60 hasta atau sekitar 30 meter, tentunya Nabi Nuh AS tidak jauh berbeda dengan beliau. Tetapi apapun bentuk dan ukurannya, benar atau tidak seperti itu hanyalah Allah saja yang lebih mengetahui, mereka memang 'disiapkan' oleh Allah untuk menjadi tanda besar datangnya kiamat. Dan mereka semua itu hanya akan menjadi penghuni neraka jahanam karena tidak ada satupun yang beriman.
Dalam sebuah hadist cukup panjang tentang tanda-tanda kiamat, dari sahabat Nawwas bin Sim'man, Nabi SAW menceritakan bahwa setelah membunuh Dajjal dan menyelamatkan kaum muslimin dari fitnahnya, Allah SWT berfirman kepada Nabi Isa AS, "Sesungguhnya Aku akan mengeluarkan hamba-hamba-Ku yang tidak akan terkalahkan oleh siapapun juga (maksudnya adalah Ya'juj dan Ma'juj), karena itu selamatkanlah mereka (yakni kaum muslimin yang shaleh-shaleh) ke bukit Thursina!"
Maka Nabi Isa AS membawa kaum muslimin menuju bukit Thursina, dan tak lama setelah itu, atas kehendak Allah, dinding baja yang dibuat Dzul-Qarnain berhasil ditembus Ya'juj dan Ma'juj, yang dengan cepatnya bergerak membanjiri bumi di sekitarnya, seperti digambarkan dalam QS Al-Anbiya ayat 96, "Hingga apabila dibukakan (tembok) Ya'juj dan Ma'juj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi."
Walau dalam bentuk yang tidak lazim seperti manusia, tetapi Ya'juj dan Ma'juj itu juga bersenjata semacam panah. Mereka merusak, menyerang dan menghancurkan apapun yang mereka temui. Manusia dan binatang-binatang yang telah terbunuh, kecil ataupun besar, langsung dimakannya mentah-mentah. Bahkan jika ada sesamanya dari Ya'juj dan Ma'juj yang mati, mereka memakannya juga, dan tidak ada dari mereka yang mati kecuali telah menurunkan (berkembang biak) paling tidak seribu orang. Ketika melalui danau Thabariyah yang begitu luas dan penuh airnya, mereka meminumnya hingga habis dalam sekejap, bahkan bagian bagian belakang dari pasukan Ya'juj dan Ma'juj ini mendapatinya dalam keadaan kering, dan berkata, "Tentunya disini ada air sebelumnya!"
Hampi seluruh penjuru bumi telah diserang dan dipenuhi oleh Ya'juj dan Ma'juj, kecuali empat tempat, Mekkah, Madinah, Baitul Maqdis dan bukit Thursina. Sama seperti Dajjal menjelajah bumi, empat tempat itu dijaga ketat oleh para malaikat sehingga mereka tidak mampu memasukinya. Di tempat lainnya, hampir tidak ada manusia yang bertahan hidup, atau kalaupun ada, mereka merasakan kesengsaraan yang luar biasa. Tidak ada sungai, danau atau sumber air lainnya kecuali telah mengering dihabiskan airnya. Begitu juga hampir tidak ada pepohonan dan tanam-tanaman, atau sumber makanan lainnya kecuali telah dirusak, dihancurkan, atau dihabiskan oleh mereka ini. Bahkan orang-orang yang bertahan hidup di empat tempat tersebut, termasuk Nabi Isa AS dan para pengikutnya juga mengalami penderitaan yang tidak terperikan karena terbatasnya makanan. Satu kepala sapi saat itu bisa lebih berharga dari pada seratus dinar (satu dinar adalah uang emas berkadar 22 karat dengan berat hampir 4 gram).
Dalam puncak penderitaan itu, Nabi Isa berdo'a kepada Allah agar Ya'juj dan Ma'juj dilenyapkan, dan Allah mengabulkannya. Tiba-tiba mereka dihinggapi penyakit, semacam ulat yang menggerogoti leher dan mereka jatuh bergelimangan di tempatnya masing-masing. Riwayat lainnya menyebutkan mereka dihantam oleh angin puyuh yang pernah menghancurkan kaum 'Ad, dan hanya dalam waktu satu jam tidak satupun dari mereka yang masih hidup.
Nabi Isa dan kaum muslimin lainnya langsung sujud syukur. Tetapi permasalahan belum selesai sampai disitu. Begitu turun dari bukit Thursina, mereka sangat terganggu dengan adanya bangkai Ya'juj dan Ma'juj yang tidak mungkin mereka kuburkan secara normal karena begitu banyaknya. Lagi-lagi Nabi Isa berdo'a, dan Allah mengirimkan ribuan burung sebesar unta, yang berwarna hitam dan berparuh besar. Dengan paruhnya, mereka membawa bangkai-bangkai itu ke tempat yang tidak dihuni manusia. Dalam riwayat lainnya, bangkai-bangkai itu dibuang ke laut untuk makanan ikan-ikan dan penghuni laut lainnya.
Walau bangkainya telah lenyap, tetapi kotoran Ya'juj dan Ma'juj itu masih berserakan di seantero bumi, begitu juga dengan baunya yang menusuk hidung. Maka Nabi Isa kembali berdo'a kepada Allah, dan Allah menurunkan hujan begitu derasnya, membersihkan dan menyucikan bumi seperti sediakala. Tetapi baunya tidak bisa lenyap begitu saja, diperlukan waktu tujuh tahun sampai bau Ya'juj dan Ma'juj itu benar-benar hilang, terkadang dibantu dengan menyalakan api untuk mengurangi baunya.
Tentang Ya'juj dan Ma'juj ini, ada juga sekelompok ulama yang menganggap bahwa nama itu hanyalah istilah untuk suatu bangsa yang suka menyerang, mengganggu atau membantai bangsa lainnya. Seperti misalnya pasukan Monggolia yang dipimpin oleh Hulagu, yang pernah menghancurkan hampir separuh Asia, termasuk imperium Islam saat itu, berikut simbol-simbol dan ilmu pengetahuan. Tetapi mayoritas ulama menolak pendapat ini, karena jelas-jelas Al-Qur'an dan beberapa hadist sahih menjelaskan keberadaanya.
Wallahu 'Alam.
Sebagian ulama menyebutkan bahwa Ya'juj dan Ma'juj merupakan jenis, bangsa atau ras juga yang diturunkan dari salah satu cucu Nabi Nuh AS, Sanaf bin Yafits bin Nuh, hanya saja tidak diketahui pasti pada generasi yang ke berapa. Yang jelas, bangsa atau ras Ya'juj dan Ma'juj ini mempunyai agresivitas tinggi, yang sifatnya sangat merusak dan mengganggu kehidupan manusia lainnya. Mereka suka menyerang dan merampok bangsa-bangsa di sekitarnya, dan bertindak sangat kejamnya, sehingga menjadi momok dan ancaman bagi masyarakat sekitarnya.
'Rekaman' paling sahih tentang keberadaan Ya'juj dan Ma'juj ini terdapat dalam QS Al-Kahfi ayat 92-98, yang merupakan bagian dari kisah Dzul-Qarnain. Sedang munculnya menjelang kiamat, setelah terbebasnya Ya'juj dan Ma'juj ini dari dinding baja yang dibuat Dzul-Qarnain, disitir dalam QS Al-Anbiya ayat 96. Beberapa hadist tentang tanda-tanda kiamat, juga menjelaskan tentang keberadaan Ya'juj dan Ma'juj ini.
Dzul-Qarnain, atau dikenal dengan nama Iskandar Zulkarnain, dalam sejarah terkadang dihubungkan (disamakan) dengan nama Iskandar dari Macedonia atau The Greet Alexander, bukanlah seorang Nabi atau Rasul, tetapi seseorang yang memiliki keutamaan dan prestasi luar biasa sehingga namanya diabadikan dalam Al-Qur'an. Sebagian riwayat menyebutkan ia hidup pada masa Nabi Isa AS, tetapi ada juga yang menyebutkan sebelumnya, yakni sekitar 300 tahun sebelum Masehi. Ada juga pendapat yang menyebutkan ia hidup sekitar 1500 sebelum Hijriah, atau 900 sebelum Masehi, Wallahu 'Alam.
Allah memberikan kepada Dzul-Qarnain keimanan, kecerdasan, kekuatan dan kekuasaan, serta pasukan yang sangat kuat. Ia bisa menaklukkan dan menyatukan wilayah barat (Afrika) hingga wilayah di timur (India), menghapuskan segala macam kedzaliman dan menebarkan keimanan serta kedamaian di wilayah-wilayah tersebut. Kemudian Dzul-Qarnain melanjutkan misinya ke arah utara hingga tiba di suatu negeri yang bergunung-gunung. Ada yang menyebutkan itu di wilayah Turki, atau wilayah Azerbijan atau Armenia sekarang ini.
Dzul-Qarnain kesulitan melakukan komunikasi dengan penduduk di daerah itu karena mempunyai bahasa yang berbeda, tetapi akhirnya ia memahami kalau masyarakat di sana sering mengalami gangguan dan ancaman dari bangsa Ya'juj dan Ma'juj yang berdiam diantara gunung-gunung yang menjulang tinggi.
Mereka berkata, "Hai Dzul-Qarnain, sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?"
Sejak awal melakukan 'muhibah' ke segala penjuru bumi, Dzul-Qarnain mempunyai misi untuk menyebarkan kebaikan dan keamanan semata-mata karena mengharap keridhoan Allah, tidak karena ambisi kekuasaan, kekayaan dan nama besar. Karena itu ia berkata, "Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka!"
Dzul-Qarnain mulai menggerakan pasukannya untuk membuat proyek dinding atau bendungan yang akan menutup akses Ya'juj dan Ma'juj keluar dari wilayahnya, dengan bantuan penduduk setempat. Ia meminta mereka untuk mengumpulkan potongan-potongan besi dan tembaga sebagai bahan pembuatannya. Sebagian ulama menyebutkan, dinding atau bendungan itu terdiri atas dua lapisan besi setinggi dua gunung yang mengapitnya, di tengah-tengahnya di tuangkan tembaga yang telah di cairkan dengan panas sangat tinggi.
Entah teknologi atau arsitektur apa yang digunakan Dzul-Qarnain dalam merealisasikan bendungan baja tersebut, sehingga begitu kokohnya hingga dekat datangnya hari kiamat kelak. Tetapi yang jelas, hal itu tidak terlepas dari bimbingan ilham (wahyu) Allah kepadanya. Sikap tawadhu Dzul-Qarnain tampak sekali ketika dinding dan bendungan itu telah selesai dikerjakan. Ia berkata,"Ini (dinding) adalah rahmat dari Tuhanku, maka apabila sudah datang janji Tuhanku, Dia akan menjadikannya hancur luluh, dan janji Tuhanku itu adalah benar!"
Sebagian riwayat menyebutkan, tempat tinggal Ya'juj dan Ma'juj itu adalah jurang yang begitu dalam, terkurung oleh dua gunung yang mendingdingnya begitu tinggi, hampir tidak bisa didaki karena begitu licinnya. Di balik gunung-gunung itu hanya batu-batuan yang sangat curam dan terjal, serta lautan luas yang begitu ganas gelombangnya. Setelah jalan keluarnya tertutup dengan dinding yang dibuat oleh Dzul-Qarnain itu, praktis Ya'juj dan Ma'juj terisolasi dari dunia luar, bahkan sinar matahari tidak bisa menembus tempat tinggalnya. Namun demikian, dengan dengan kehendak Allah, mereka tetap bertahan hidup hingga menjelang kiamat kelak, bahkan berkembang biak dengan sangat cepatnya sehingga jumlahnya jauh lebih banyak daripada manusia.
Sahabat Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Nabi SAW menjelaskan kalau setiap harinya Ya'juj dan Ma'juj itu melakukan penggalian untuk menembus gunung atau dinding baja tersebut. Setelah seharian penuh melakukan penggalian begitu dalam dan jauhnya, bahkan hampir saja mereka bisa melihat sinar matahari, salah satu pemimpinnya akan berkata, "Berhenti, kembalilah kamu sekalian, kita lanjutkan besok pagi untuk menggalinya!"
Malam harinya Allah SWT mengembalikan lagi dinding gunung atau bendungan itu seperti semula, sehingga pagi harinya mereka harus menggali lagi dari awal. Ketika mereka hampir menembus dan nyaris melihat matahari, lagi-lagi pemimpinnya menghentikan untuk melanjutkan penggalian keesokan harinya. Pada malam harinya Allah mengembalikan galian mereka seperti semula. Begitulah berulang-ulang hingga hari kiamat menjelang, dan memang seperti itulah yang dikehendaki Allah, Ya'juj dan Ma'juj akan muncul ketika kiamat benar-benar telah dekat.
Sebagian ulama berpendapat, ketika kemunculannya menjelang hari kiamat kelak, Ya'juj dan Ma'juj mempunyai bentuk yang sangat berbeda dengan umumnya manusia sekarang, walau sebenarnya berasal dari ras manusia juga. Mereka terdiri dari 3 bentuk dengan ukuran yang berbeda. Pertama mirip dengan lebah atau pohon besar (al-arzi) dengan ukuran yang sangat besar, yakni 120 hasta atau sekitar 60 meter. Kedua ukurannya lebih kecil dan berbentuk persegi panjang dengan daun telinga yang sangat lebar. Ketika tidur, satu telinga dipakai untuk alas dan telinga satunya untuk selimut. Ketiga sangat kecil, tak lebih dari sejengkal saja. Tetapi mereka itu semuanya bercakar, atau kukunya sangat panjang, dan suaranya seperti auman singa atau gonggongan anjing.
Tentu sulit dijelaskan secara ilmiah bagaimana bisa seperti itu, tetapi kalau mengutip Teori Evolusi Darwin, terlepas bahwa kita tidak boleh mempercayai pendapatnya bahwa manusia berasal dari jenis primata atau kera, bisa saja Ya'juj dan Ma'juj mengalami evolusi dan menjalani proses adaptasi sehingga menjadi 3 bentuk dan ukuran yang berbeda seperti itu. Untuk diketahui, Nabi Adam AS diciptakan Allah setinggi 60 hasta atau sekitar 30 meter, tentunya Nabi Nuh AS tidak jauh berbeda dengan beliau. Tetapi apapun bentuk dan ukurannya, benar atau tidak seperti itu hanyalah Allah saja yang lebih mengetahui, mereka memang 'disiapkan' oleh Allah untuk menjadi tanda besar datangnya kiamat. Dan mereka semua itu hanya akan menjadi penghuni neraka jahanam karena tidak ada satupun yang beriman.
Dalam sebuah hadist cukup panjang tentang tanda-tanda kiamat, dari sahabat Nawwas bin Sim'man, Nabi SAW menceritakan bahwa setelah membunuh Dajjal dan menyelamatkan kaum muslimin dari fitnahnya, Allah SWT berfirman kepada Nabi Isa AS, "Sesungguhnya Aku akan mengeluarkan hamba-hamba-Ku yang tidak akan terkalahkan oleh siapapun juga (maksudnya adalah Ya'juj dan Ma'juj), karena itu selamatkanlah mereka (yakni kaum muslimin yang shaleh-shaleh) ke bukit Thursina!"
Maka Nabi Isa AS membawa kaum muslimin menuju bukit Thursina, dan tak lama setelah itu, atas kehendak Allah, dinding baja yang dibuat Dzul-Qarnain berhasil ditembus Ya'juj dan Ma'juj, yang dengan cepatnya bergerak membanjiri bumi di sekitarnya, seperti digambarkan dalam QS Al-Anbiya ayat 96, "Hingga apabila dibukakan (tembok) Ya'juj dan Ma'juj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi."
Walau dalam bentuk yang tidak lazim seperti manusia, tetapi Ya'juj dan Ma'juj itu juga bersenjata semacam panah. Mereka merusak, menyerang dan menghancurkan apapun yang mereka temui. Manusia dan binatang-binatang yang telah terbunuh, kecil ataupun besar, langsung dimakannya mentah-mentah. Bahkan jika ada sesamanya dari Ya'juj dan Ma'juj yang mati, mereka memakannya juga, dan tidak ada dari mereka yang mati kecuali telah menurunkan (berkembang biak) paling tidak seribu orang. Ketika melalui danau Thabariyah yang begitu luas dan penuh airnya, mereka meminumnya hingga habis dalam sekejap, bahkan bagian bagian belakang dari pasukan Ya'juj dan Ma'juj ini mendapatinya dalam keadaan kering, dan berkata, "Tentunya disini ada air sebelumnya!"
Hampi seluruh penjuru bumi telah diserang dan dipenuhi oleh Ya'juj dan Ma'juj, kecuali empat tempat, Mekkah, Madinah, Baitul Maqdis dan bukit Thursina. Sama seperti Dajjal menjelajah bumi, empat tempat itu dijaga ketat oleh para malaikat sehingga mereka tidak mampu memasukinya. Di tempat lainnya, hampir tidak ada manusia yang bertahan hidup, atau kalaupun ada, mereka merasakan kesengsaraan yang luar biasa. Tidak ada sungai, danau atau sumber air lainnya kecuali telah mengering dihabiskan airnya. Begitu juga hampir tidak ada pepohonan dan tanam-tanaman, atau sumber makanan lainnya kecuali telah dirusak, dihancurkan, atau dihabiskan oleh mereka ini. Bahkan orang-orang yang bertahan hidup di empat tempat tersebut, termasuk Nabi Isa AS dan para pengikutnya juga mengalami penderitaan yang tidak terperikan karena terbatasnya makanan. Satu kepala sapi saat itu bisa lebih berharga dari pada seratus dinar (satu dinar adalah uang emas berkadar 22 karat dengan berat hampir 4 gram).
Dalam puncak penderitaan itu, Nabi Isa berdo'a kepada Allah agar Ya'juj dan Ma'juj dilenyapkan, dan Allah mengabulkannya. Tiba-tiba mereka dihinggapi penyakit, semacam ulat yang menggerogoti leher dan mereka jatuh bergelimangan di tempatnya masing-masing. Riwayat lainnya menyebutkan mereka dihantam oleh angin puyuh yang pernah menghancurkan kaum 'Ad, dan hanya dalam waktu satu jam tidak satupun dari mereka yang masih hidup.
Nabi Isa dan kaum muslimin lainnya langsung sujud syukur. Tetapi permasalahan belum selesai sampai disitu. Begitu turun dari bukit Thursina, mereka sangat terganggu dengan adanya bangkai Ya'juj dan Ma'juj yang tidak mungkin mereka kuburkan secara normal karena begitu banyaknya. Lagi-lagi Nabi Isa berdo'a, dan Allah mengirimkan ribuan burung sebesar unta, yang berwarna hitam dan berparuh besar. Dengan paruhnya, mereka membawa bangkai-bangkai itu ke tempat yang tidak dihuni manusia. Dalam riwayat lainnya, bangkai-bangkai itu dibuang ke laut untuk makanan ikan-ikan dan penghuni laut lainnya.
Walau bangkainya telah lenyap, tetapi kotoran Ya'juj dan Ma'juj itu masih berserakan di seantero bumi, begitu juga dengan baunya yang menusuk hidung. Maka Nabi Isa kembali berdo'a kepada Allah, dan Allah menurunkan hujan begitu derasnya, membersihkan dan menyucikan bumi seperti sediakala. Tetapi baunya tidak bisa lenyap begitu saja, diperlukan waktu tujuh tahun sampai bau Ya'juj dan Ma'juj itu benar-benar hilang, terkadang dibantu dengan menyalakan api untuk mengurangi baunya.
Tentang Ya'juj dan Ma'juj ini, ada juga sekelompok ulama yang menganggap bahwa nama itu hanyalah istilah untuk suatu bangsa yang suka menyerang, mengganggu atau membantai bangsa lainnya. Seperti misalnya pasukan Monggolia yang dipimpin oleh Hulagu, yang pernah menghancurkan hampir separuh Asia, termasuk imperium Islam saat itu, berikut simbol-simbol dan ilmu pengetahuan. Tetapi mayoritas ulama menolak pendapat ini, karena jelas-jelas Al-Qur'an dan beberapa hadist sahih menjelaskan keberadaanya.
Wallahu 'Alam.
Langganan:
Komentar (Atom)