Selasa, 17 Mei 2016

Berperan Membagikan Rezeki Allah

Syaqiq bin Ibrahim, nama kunyahnya Abu Ali, adalah seorang guru dan ulama sufi yang tinggal di kota Balkh, termasuk wilayah Khurasan, sehingga lebih dikenal dengan nama Syaqiq Al-Balkhi. Ia berasal dari keluarga saudagar yang kaya raya, dan akhirnya mewarisi pekerjaan manjadi pedagang yang sukses juga. Ia wafat pada tahun 194 Hijriah atau 810 Masehi. Hidupnya selalu bergelimang kekayaan dan kemewahan dunia, hingga ia mengalami suatu peristiwa yang mengubah jalan hidupnya menjadi seorang sufi yang zuhud.
Suatu ketika ia sedang membawa kafilahnya ke Turki, dengan membawa bermacam-macam barang dagangan. Di sana ia melihat sebuah tempat penyembahan berhala, dengan para pelayan atau pekerjanya yang berkepala gundul dan mencukur halus jenggotnya, serta berpakaian serba hijau. Mungkin kalau di Asia (Indonesia, India, Cina, Thailand dan lain-lainnya) seperti para biksu atau pendeta Budha yang berpakaian kuning. Syaqiq tertarik untuk memasuki tempat tersebut sekaligus berdakwah kepada mereka untuk meninggalkan penyembahan berhala dan memeluk agama Islam.
Setelah masuk dan bertemu salah seorang pelayan rumah ibadah itu, Syaqiq berkata, "Wahai pelayan, sesungguhnya kamu mempunyai Tuhan Yang Maha Menciptakan, Maha Hidup, Maha Mengetahui dan Maha Kuasa, maka sembahlah Dia, janganlah engkau menyembah berhala-berhala ini, yang tidak bisa mencelakakan ataupun menguntungkan!!"
Pelayan itu menatap tajam Syaqiq yang berpakaian bagus, yang menunjukan kalau ia seorang pedagang yang kaya, kemudian berkata, "Jika yang engkau ucapkan itu memeng benar, bahwa Tuhanmu itu Maha Kuasa, tentulah Ia bisa memberikan rezeki kamu di negerimu sendiri, mengapa pula kamu susah-susah datang kemari untuk berdagang??"
Apa yang disampaikan oleh pelayan itu mungkin hanya berupa argumentasi sederhana untuk membela diri, karena Syaqiq telah 'menonjok' aqidah dan keyakinannya, satu hal yang sifatnya pribadi, yang seharusnya disampaikan dengan cara lebih bijaksana. Tetapi justru karena perkataanya yang sederhana itu, seolah-olah Syaqiq diingatkan kalau selama ini ia terlalu sibuk dengan urusan dunianya. Berkelana dengan kafilah dagangnya dari satu negeri ke negeri lainnya hanya untuk menumpuk kekayaan, sementara untuk urusan bekal akhirat, ia melakukan hanya sekedarnya saja. Segera saja ia mengemasi perniagaannya dan kembali ke Khurasan, kemudian menjalani kehidupannya dengan lebih zuhud terhadap dunia.
Tidak hanya itu saja, tetapi ada beberapa peristiwa lagi yang membuat tekad Syaqiq semakin kuat untuk meninggalkan perniagaan dan segala kesibukan dunianya. Misalnya, suatu ketika di masa paceklik dan perekonomian yang sangat sulit, Syaqiq melihat seorang budak yang bermain dan bersenang-senang saja, sementara orang-orang mengerumuni dirinya. Dengan heran Syaqiq berkata kepada budak tersebut, "Apa yang engkau lakukan ini? Tidaklah engkau melihat orang-orang mengalami kesulitan di masa paceklik ini?? Sebaiknya engkau mengerjakan sesuatu yang bisa menghasilkan bagi tuanmu!!"
Tetapi dengan santainya budak itu berkata, "Saya tidak perlu bersusah payah walau masa paceklik seperti ini. Tuanku seorang yang sangat kaya, ia mempunyai banyak sekali ladang di desa, yang kami semua bebas mengambil hasilnya, apapun yang kami butuhkan!!"
Lagi-lagi hanya jawaban dengan logika sederhana, tetapi mampu merasuk ke lubuk hatinya yang terdalam, ia menggumam, "Kalau tuannya budak ini hanya seorang kaya di satu atau beberapa desa, yang sebenarnya ia miskin, dan budak ini tidak ambil pusing dengan rezekinya. Maka, bagaimana mungkin seorang muslim akan dipusingkan dengan rezekinya, sedang 'tuan'-nya adalah Allah Yang Maha Kaya??"
Suatu ketika ia beribadah haji ke Mekkah dan ia bertemu dengan Ibrahim bin Adham, yang sebelumnya adalah putra raja di Balkh, daerah tempat tinggalnya. Dalam pertemuan itu, Ibrahim berkata kepada Syaqiq, "Apakah yang menyebabkan kamu memutuskan untuk menempuh jalan ini??"
Yakni, memilih jalan hidup seorang sufi yang zuhud. Sebagai seorang putra raja, sedikit banyak Ibrahim mengenal latar belakang keluarga Syaqiq, sehingga perubahan sikap hidupnya itu, seperti juga yang dialaminya sendiri, adalah sesuatu hal yang luar biasa.
Dari banyak peristiwa yang dialaminya sehingga memantapkan dirinya menempuh jalan hidup seorang sufi, Syaqiq menceritakan salah satunya. Ia berkata, "Aku pernah melewati suatu padang yang sangat luas, dan kulihat seekor burung yang patah kedua sayapnya, tetapi ia masih hidup. Maka aku berkata pada diriku sendiri : Perhatikanlah, dari jalan manakah Allah akan memberikan rezeki pada burung ini??"
Setelah itu Syaqiq duduk agak jauh sambil memperhatikan burung tersebut. Cukup lama ia bersabar, sampai akhirnya muncul seekor burung lainnya dengan belalang di paruhnya. Belalang itu ditaruh di paruh atau mulut burung yang patah sayapnya itu, yang segera memakannya. Ia berkata dalam hatinya, "Sesungguhnya Allah telah mendatangkan burung ini dengan membawa makanan bagi burung yang patah sayapnya, yang tidak mampu berusaha sendiri untuk memperoleh bagian rezekinya. Karena itu, tentulah Allah sangat mampu (berkuasa) untuk mendatangkan rezeki padaku dimanapun aku berada!!"
Mengakhiri ceritanya itu, Syaqiq berkata kepada Ibrahim bin Adham, "Setelah peristiwa itu saya meninggalkan semua aktivitas dunia perniagaan, mengisi waktu hanya dengan beribadah kepada Allah dan menuntut ilmu..!!"
Mendengar penjelasannya itu, Ibrahim berkata, "Mengapa engkau tidak memilih menjadi burung yang sehat itu, yang menyampaikan rezeki Allah (memberi makan) kepada burung yang sakit?? Tidaklah engkau pernah mendengar sabda Rasulullah SAW : Tangan yang di atas lebih utama daripada tangan yang di bawah? Juga sabda beliau : Dan diantara tanda-tanda seorang mukmin itu ialah mencari yang lebih tinggi tingkatannya (sesuai kemampuannya) dari dua derajat dalam segala urusannya, sehingga ia mencapai derajat orang-orang yang berbuat kebaikan (mukhsinin)..!!"
Syaqiq tersentak kaget dengan perkataan Ibrahim bin Adham tersebut. Disangkanya, kehidupan 'tajrid', yakni hanya berpasrah kepada rezeki yang dibagikan Allah tanpa banyak berusaha, kemudian menghabiskan waktu semata-mata untuk beribadah adalah derajat tertinggi, bagi orang-orang yang memutuskan untuk menempuh jalan sufi, jalan hidup yang zuhud terhadap dunia. Tetapi dengan perkataan Ibrahim itu ia tersadarkan, bahwa tidak mesti seperti itu. Masing-masing orang mungkin memiliki amalan berbeda dalam memperoleh derajat tinggi di sisi Allah, sesuai dengan kondisi yang diadakan Allah untuk dirinya.
Syaqiq segera memegang tangan Ibrahim bin Adham dan berkata, "Wahai Abu Ishaq, engkau adalah guru kami, bimbinglah kami di jalan ini!!"
Setelah itu Syaqiq terjun kembali di dunia perniagaan, walaupun hanya sekedarnya saja. Sekedar untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya secara sederhana, dan memenuhi kebutuhan hidupnya secara sederhana, dan membantu orang-orang di sekitarnya yang membutuhkan pertolongan secara finansial. Porsi waktunya masih tetap lebih banyak dihabiskan untuk beribadah kepada Allah dan menuntut ilmu. Inilah derajat dan amalan yang dicontohkan oleh beberapa sahabat Nabi SAW, seperti Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Qais bin Sa'ad dan banyak lagi sahabat lainnya.

Ketika Malaikat Membantu Manusia

Suatu ketika Ali bin Abi Thalib baru saja pulang dan berkata kepada istrinya, Fathimah Az-Zahra, "Wahai wanita yang mulia, apakah kamu mempunyai makanan untuk suamimu ini??"
Fathimah berkata,"Demi Allah aku tidak mempunyai sesuatu (makanan apapun), tetapi ini ada enam dirham (uang perak), hasil kerjaku dan Salman Al-Farisi memintal bulu-bulu domba milik orang Yahudi. Rencananya akan kubelikan makanan untuk Hasan dan Husein!!"
Begitulah memang keadaan Fathimah Az-Zahra, putri kesayangan Rasulullah SAW itu dan keluarganya. Sebenarnya kalau saja mereka mau, mudah saja bagi mereka untuk mengumpulkan harta dan hidup bergelimang kemewahan dunia. Tetapi seperti halnya Rasulullah SAW, mereka memilih untuk zuhud dalam kehidupan dunia ini. Tidak jarang Fathimah dan Ali bekerja menimba air untuk menyiram kebun kurma milik orang-orang Yahudi, memintal bulu-bulu domba, memilah-milah kurma dan lain-lainnya. Inilah gambaran kehidupan seorang wanita, yang Nabi SAW pernah bersabda, "Penghulu kaum wanita di surga adalah Fathimah Az-Zahra!!"
Mendengar jawaban istrinya itu, Ali berkata, "Biar aku saja yang membeli makanan itu!!"
Maka Fathimah menyerahkan uang enam dirham itu kepada suaminya, yang segera saja pergi meninggalkan rumah. Tetapi dalam perjalanan untuk membeli makanan itu, Ali bertemu seorang lelaki yang berkata, "Siapakah orang yang mau meminjami Tuhan Yang Maha Pengasih, Dzat yang selalu menepati janji??"
Tanpa berpikir panjang, Ali menyerahkan uang enam dirham hasil kerja istrinya itu kepada lelaki itu. Ia bukannya tidak ingat kalau keluarganya sedang kelaparan, terutama kedua anaknya yang masih kecil, tetapi demikianlah memang didikan dan contoh yang diberikan Rasulullah SAW. Bagi umumnya orang mungkin tidak mengapa jika 'mengurangi kadar' atau kualitas dari yang dicontohkan Nabi SAW, sebatas kemampuan masing-masing, tetapi tidak bagi Ali. Sejak balita ia diasuh Nabi SAW, bahkan kemudian dinikahkan dengan putri kesayangan beliau, kalau ia 'bergeser' terlalu jauh dari didikan Nabi SAW, tentulah telah menjadi kesalahan besar baginya.
Setelah itu Ali segera kembali ke rumah, dan Fathimah menyambutnya dengan menangis ketika melihatnya tidak membawa apa-apa. Ali berkata, "Wahai wanita mulia, mengapa engkau menangis??"
Fathimah berkata, "Wahai Ali, engkau pulang tanpa membawa sesuatu??"
Ali berkata, "Wahai wanita mulia, aku meminjamkan uang itu kepada Allah!!"
Tanpa penjelasan lebih banyak, maklumlah Fathimah apa yang terjadi, maka ia berkata, "Sungguh, aku mendukung sikapmu itu!!"
Tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya, Ali segera keluar rumah dengan maksud menemui Nabi SAW. Tetapi di tengah perjalanan ia bertemu seorang badui yang sedang menuntun seekor unta. Si Badui yang tidak dikenalnya itu berkata, "Wahai Abul Hasan belilah unta ini!!"
Ali berkata, "Aku tidak mempunyai uang!!"
Si Badui itu berkata lagi, "Belilah dengan tempo (pembayaran di belakang)!!"
Ali berkata, "Berapa??"
"Seratus dirham!!" Kata si Badui itu.
"Baiklah," Kata Ali, "Kubeli seharga seratus dirham dengan tempo!!"
Si Badui menyerahkan unta tersebut kepadanya dan berlalu pergi. Ali tidak tahu apa yang harus dilakukannya dengan unta itu, tetapi ia menuntunnya begitu saja. Tetapi belum jauh berjalan tiba-tiba muncul seorang badui lain menghampirinya, dan berkata, "Wahai Abul Hasan, apakah engkau ingin menjual unta ini?"
Tanpa berpikir panjang, Ali berkata, "Ya!!"
"Berapa??"
"300 dirham!!" Kata Ali.
"Baiklah, kubeli seharga 300 dirham!!"
Kemudian si Badui yang juga tidak dikenalinya itu membayar kontan 300 dirham, dan membawa pergi unta tersebut. Ali sangat gembira, segera ia membeli beberapa bahan makanan untuk keluarganya kemudian pulang. Kali ini Fathimah menyambutnya dengan tersenyum, dan berkata, "Wahai Abul Hasan, apa yang terjadi kali ini??"
Dengan gembira Ali berkata, "Wahai putri Rasulullah, kubeli unta seharga 100 dirham dengan tempo, dan kujual lagi dengan kontan seharga 300 dirham!!
Fathimah berkata, "Aku mendukung sikapmu itu!!"
Beberapa lama kemudian, Ali pergi menemui Nabi SAW sesuai dengan niat sebelumnya. Begitu ia masuk mesjid, Nabi SAW tersenyum kepadanya dan bersabda, "Wahai Abul Hasan, engkau yang bercerita, atau aku saja yang bercerita??"
Tanpa tahu maksudnya, Ali berkata, "Wahai Rasulullah, engkau saja yang bercerita!!"
Nabi SAW bersabda, "Berbahagialah engkau Abul Hasan, engkau telah meminjamkan enam dirham kepada Allah, maka Allah memberimu 300 dirham. Setiap dirhamnya dibalas dengan 50 kali lipatnya. Orang Badui yang pertama menjumpaimu adalah malaikat Jibril, sedang yang kedua adalah Malaikat Mikail!!"
Malaikat-malaikat yang membantu manusia, tentunya atas seizin dan perintah Allah SWT, mungkin tidak hanya terjadi pada Rasulullah SAW dan para sahabat beliau seperti kisah di atas, atau juga pada Perang Badar, Hunain dan beberapa peristiwa lainnya. Bisa saja itu terjadi di antara kehidupan kita sehari-hari, bisa dalam bentuk seseorang yang tidak dikenali, yang memberikan bantuan seperti peristiwa yang dialami oleh Ali bin Abi Thalib. Atau mungkin seseorang yang dikenali memberikan bantuan, tetapi sebenarnya tidak melakukannya. Hanya saja Allah memerintahkan malaikat untuk menyerupakan diri dengan orang tersebut untuk memuliakannya, seperti yang terjadi pada seorang tabi'in bernama Abdullah bin Mubarak.
Wallahu 'Alam.

Jumat, 13 Mei 2016

Tiga Pelajaran Berharga

Seorang pemburu memasuki hutan untuk mencari binatang yang bisa dipakai untuk makan keluarganya hari itu. Tetapi tidak seperti biasanya, ia tidak menemukan binatang yang cukup besar, yang bisa mengobati rasa lapar keluarganya. Dalam kebingungannya itu, ia melihat seekor burung dan berhasil menangkapnya. Lumayan untuk pengganjal perut sambil mencari buruan yang lebih besar, begitu mungkin pemikirannya.
Tetapi tanpa disangkanya, tiba-tiba burung itu berbicara layaknya manusia, "Apa yang engkau inginkan dengan menangkapku ini??"
Pemburu itu berkata, "Aku akan menyembelih dan memakanmu!!"
Burung itu berkata, "Itu tidak akan menyelesaikan masalah, aku tidak akan bisa mengobati  rasa laparmu!! Tetapi aku akan memberikan 3 pelajaran berharga kepadamu, pertama saat aku ada di tanganmu (masih di tangkap), kedua saat aku berada di atas pohon, dan ketiga saat aku telah ada di atas bukit."
Sang pemburu memang cukup penasaran dengan burung yang bisa berbicara itu, langsung saja berkata, "Jelaskan pelajaran yang pertama!!"
Sang burung berkata, "Lepaskan dulu aku!!"
Si pemburu segera melepaskannya, dan burung itu hinggap di atas dahan, lalu berkata, "Wahai manusia, janganlah engkau meyakini bahwa sesuatu itu ada, padahal hakekatnya tidak ada!!"
Kemudian burung itu terbang lebih jauh dan hinggap di bukit. Tanpa diminta burung itu berkata lagi, "Wahai manusia, andaikata engkau jadi menyembelih diriku, engkau akan menemukan dua intan di paruhku, yang masing-masing beratnya 77,88 gram..!!"
Pemburu itu terkejut mendengar perkataan sang burung, ia sangat sedih dan menyesal, tetapi tidak mungkin ia menangkapnya lagi karena burung itu telah cukup jauh di atas bukit. Tetapi, seperti teringat sesuatu, ia berkata, "Wahai burung, apakah pelajaran yang ketiga yang engkau janjikan??"
Burung itu tertawa dan berkata, "Wahai manusia, baru saja engkau memperoleh dua pengajaran, dan dalam sesaat ini engkau telah melanggar (melupakan)nya. Mengapa pula engkau bersedih telah melepaskanku? Dan bagaimana mungkin engkau begitu saja mempercayai ada dua butir intan di paruhku? Berat tubuhku tidak sampai 77,88 gram, bagaimana bisa ada dua intan masing-masing beratnya 77,88 gram?"
Sang pemburu tampak termengu-mengu mendengarnya, kemudian sang burung berkata lagi, "Itulah gambaran kehidupan dunia, suka atau tidak, sengaja atau tidak, pada akhirnya engkau harus melepaskannya juga. Begitu juga dengan segala janji keindahan dan kenikmatanya, pada hakekatnya hanya tipuan semata. Karena itu, berupayalah dengan sungguh-sungguh untuk meraih sesuatu yang engkau tidak akan pernah terlepas darinya, dan sesuatu yang kenikmatannya akan selalu engkau rasakan tanpa akhir!!"

Selasa, 10 Mei 2016

Karena Do'a Kedua Orang Tua

Suatu ketika Nabi Sulaiman bin Daud AS memperoleh wahyu Allah, yang memerintahkan agar segera pergi ke suatu pantai karena Allah akan menunjukkan sesuatu yang ajaib. Maka beliau segera berangkat ke pantai dimaksud dengan seluruh bala tentaranya, baik dari kalangan jin atau manusia, dan juga sebagian bala tentara lainnya dari kalangan binatang.
Tetapi sesampainya di sana beliau tidak menemukan yang aneh atau ajaib, hanya hamparan pantai yang memanjang dan laut yang tebentang luas seolah tanpa batas. Nabi Sulaiman AS segera memerintahkan salah satu jin untuk menyelam di lautan dan membawa keluar sesuatu yang tampak ajaib, jika menemukannya. Jin tersebut segera menyelam sedalam yang ia mampu sambil memperhatikan sekelilingnya. Setelah beberapa waktu lamanya, ia muncul di permukaan dan berkata, "Wahai Nabi Sulaiman, aku telah menyelam sejauh yang aku mampu, sampai sekian ribu meter dalamnya, tetapi aku tidak melihat sesuatu yang ajaib dan istimewa yang bisa aku tunjukkan kepadamu!!"
Nabi Sulaiman tidak puas dengan laporan jin tersebut, Allah SWT telah memfirmankan dan itu pasti adanya, hanya jin itu saja yang mungkin tidak mampu menemukannya. Karena itu beliau memerintahkan jin Ifrit, yang mempunyai kemampuan jauh lebih hebat dari kebanyakan bangsa jin, untuk melakukan tugas tersebut.
Jin Ifrit segera menerjunkan diri ke samudera, menjelajah ke segala arah dan sedalam yang ia mampu, dengan kecepatan yang jauh lebih mengagumkan. Tetapi setelah beberapa waktu lamanya, ia muncul di permukaan tanpa membawa apa-apa dan berkata, "Wahai Nabi Sulaiman, aku telah menyelam sejauh yangn aku mampu, sampai sekian ribu meter dalamnya (dua kali dalamnya dari yang diselami jin sebelumnya), tetapi aku tidak melihat sesuatu yang ajaib dan istimewa yang bisa aku tunjukkan kepadamu!!"
Lagi-lagi Nabi Sulaiman tidak puas dengan hasil yang dilaporkan Jin Ifrit itu. Karena itu beliau berpaling kepada salah seorang punggawanya, Ashif bin Barkhiya, seseorang yang sangat ahli dan menguasai Kitab Taurat, bahkan Allah menganugerahinya ilmu secara langsung dari sisi-Nya (Ilmu Ladunni). Nabi Sulaiman berkata, "Wahai Ashif, bawakanlah (tunjukkanlah) kepadaku, keajaiban apa yang disembunyikan Allah di dalam lautan ini."
Tidak seperti dua bangsa jin yang segera menceburkan diri ke samudera dan menyelam, Ashif hanya diam sesaat, kemudian menadahkan tangannya ke atas dan berdo'a kepada Allah. Tidak lama kemudian air laut tersibak dan muncul sebuah kubah besar berwarna putih dengan pintu di 4 penjurunya. Pintu pertama terbuat dari intan permata, pintu kedua dari yaqut, pintu ketiga dari mutiara dan pintu keempat dari zabarjud yang berwarna hijau. Ashif berkata, "Wahai Nabiyallah, inilah keajaiban yang ingin ditunjukkan Allah kepada engkau, ia berada di dasar lautan dengan kedalaman tiga kali yang diselami jin pertama!!"
Nabi Sulaiman memandang dengan penuh kekaguman kepada kubah putih yang perlahan menepi dengan sendirinya. Kemudian pintu-pintu itu terbuka dan tidak ada setetes air pun yang membasahi bagian dalam kubah tersebut. Beliau masuk dan menemukan seorang pemuda sedang beribadah di dalamnya. Beliau mengucap salam dan berkata, "Wahai pemuda, mengapa engkau tinggal di dasar lautan di dalam kubah ini??"
Setelah menjawab salam beliau, pemuda itu menceritakan bahwa dahulunya ia merawat dan melayani kedua orang tuanya yang cacat, ibunya dalam keadaan buta sedang ayahnya lumpuh, selama hampir 70 tahun. Ketika sang ibu akan meninggal, ia berdo'a, "Ya Allah, lanjutkan (panjangkan) umur anakku dalam ketaatan kepada-Mu!!"
Kemudian ketika sang ayah akan meninggal, ia berdo'a, "Ya Allah, jadikanlah anakku tetap dalam ketaatan kepada-Mu di tempat yang tidak dapat diketahui oleh para syaitan!!"
Setelah kewafatan kedua orang tuanya, pemuda itu berjalan-jalan ke tepi pantai dan mellihat kubah tersebut yang dalam keadaan terbuka. Ia masuk karena ingin mengetahui keadaan di dalamnya, tetapi tiba-tiba kubah tersebut tertutup dan dibawa malaikat ke dasar lautan yang terdalam. Maka ia menghabiskan waktu hanya dengan beribadah kepada Allah di dalam kubah tersebut.
Nabi Sulaiman berkata, "Pada masa siapakah engkau hidup saat itu?"
Pemuda itu berkata, "Masa Nabi Ibrahim AS."
Berarti pemuda itu telah tinggal di kubah itu selama sekitar 1.400 tahun, tetapi sama sekali tidak tampak ketuaan di wajah pemuda tersebut, bahkan satu uban pun tidak tampak di rambutnya.
Nabi Sulaiman berkata lagi, "Bagaimana dengan makan minummu?"
Pemuda itu berkata, "Setiap harinya kubah ini naik ke permukaan, dan seekor burung membawakan makanan dan minuman sebesar kepala orang dewasa. Saya bisa merasakan semua jenis makanan di dunia ini, yang membuat saya selalu puas dan kenyang, hilang semua rasa haus dan lapar, panas dan dingin, jemu dan malas, bahkan tidak ada rasa kantuk dan ingin tidur sehingga saya bisa menghabiskan waktu untuk beribadah kepada Allah..!!"
Nabi Sulaiman memandang pemuda itu penuh kekaguman. Walaupun segala mukjizat dan kelebihan yang diberikan Allah kepadanya sangat mengagumkan, tetapi bagi Nabi Sulaiman, apa yang dialami pemuda itu jauh lebih mengagumkan lagi. Apalagi pemuda itu bukan seorang nabi dan rasul, tetapi seorang yang berbakti kepada kedua orang tuanya, yang memperoleh kemuliaan (karamah) itu karena do'a kedua orang tuanya.
Nabi Sulaiman berkata, "Maukah engkau tinggal bersama kami??"
Pemuda itu berkata, "Kembalikanlah saya ke tempat semula, dan biarkanlah saya terus beribadah kepada Allah sampai waktu yang dikehendaki Allah!!"
Nabi Sulaiman keluar dari kubah tersebut dan memerintahkan Ashif untuk mengembalikan kubah itu ke tempat semulan. Ashif menadahkan tangan dan berdo'a, maka perlahan kubah itu masuk ke dalam air, dan pemandangan kembali seperti semula, hanya hamparan air dan pasir yang seolah tidak terbatas.
Wallahu 'Alam.

Kasih Sayang Allah Kepada Hamba-Nya

Nabi Ibrahim AS adalah salah satu dari Nabi Ulul Azmi yang juga digelari dengan Kholilullah, kekasih Allah. Suatu ketika Allah membukakan 'hijab' bagi beliau dan menunjukkan kepadanya berbagai kerajaan langit dan bumi. Beliau sangat kagum melihat pemandangan, dimana semua makhluk Allah dari berbagai lapisan langit sibuk berdzikir (bertasbih) dan beribadah kepada Allah dengan caranya masing-masing, begitu juga dengan makhluk-makhluk di bumi.
Setelah beberapa waktu lamanya 'menikmati' pemandangan yang begitu menyejukkan hati, dan mendengarkan 'simphoni' dzikir dari berbagai makhluk yang begitu harmonisnya, tiba-tiba pandangan Nabi Ibrahim jatuh pada seorang manusia yang tengah melakukan kemaksiatan kepada Allah. Hati beliau begitu terusik, dan beliau mengetahui bahwa untuk kemaksiatan yang dilakukannya itu, secara syariat patut diberikan hukuman atau qishash berupa kematian. Karena itu beliau berdo'a, "Ya Allah, binasakanlah orang (yang berbuat maksiat) itu!!"
Sebagai Kholilullah yang do'anya makbul, Allah mengabulkan do'a Nabi Ibrahim tersebut, dan seketika orang yang berbuat maksiat itu  mati.
Nabi Ibrahim masih 'meneruskan' penjelajahannya ke penjuru bumi lainnya, dan lagi-lagi beliau melihat seseorang yang berbuat maksiat. Seperti sebelumnya, beliau mendo'akan kebinasaan dan Allah mengabulkan do'a beliau tersebut.
Hal itu berulang hingga 4 kali, dan akhirnya Allah berfirman, "Hai Ibrahim, berhentilah (mendo'akan kebinasaan bagi pelaku maksiat)!! Jika Aku selalu membinasakan (mematikan) seorang pelaku maksiat yang engkau lihat, niscaya tidak ada seorangpun yang akan tersisa. Sesungguhnya karena (sifat) Khalim-Ku maka tidaklah aku menyegerakan siksa bagi mereka. Salah satu dari dua kemungkinan, mereka akan bertobat atau mereka akan terus menerus melakukan kemaksiatan itu hingga menghadap-Ku (yakni mati). Dan setelah mereka berada di hadapan-Ku, terserah Aku, apakah Aku akan mengampuni atau mengazab mereka!!"
Al-Khalim adalah salah satu dari Asmaul Husna yang jumlahnya 99 itu, yang dapat diartikan sebagai : Yang Maha Tetap dapat Menahan Amarah. Atau juga berarti : Yang Dapat Mengundurkan / Menunda Siksa atas Hamba-Nya yang sepantasnya mendapat siksa karena maksiat-maksiat yang dilakukannya. Secara ringkas biasanya diartikan sebagai Yang Maha Penyantun atau Yang Maha Belas Kasih.
Junjungan kita, Rasulullah SAW juga pernah mengalami hal yang kurang lebih sama, walaupun kondisinya berbeda. Ketika masih melaksanakan dakwah Islamiyah di Mekkah, beliau dan kaum muslimin lainnya pernah mengalami siksaan dan penghinaan yang tidak terkirakan dari tokoh-tokoh kaum kafir Quraisy, yakni Harits bin Hisyam, Suhail bin Amr dan Shafwan bin Umayyah, atau Amr bin Ash dalam riwayat lainnya.
Bukannya mendapat pengabulan, tetapi justru turun wahyu Allah yang menegur Rasulullah SAW karena do'a beliau tersebut, yakni QS Ali Imran ayat 128 :
Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu, atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang dhalim.
Ternyata kemudian, tokoh-tokoh yang dido'akan laknat oleh Nabi SAW itu memeluk islam, ada yang setelah dikukuhkannya Perjanjian Hudaibiyah, ada juga setelah Fathul Makkah, begitu juga dengan tokoh-tokoh Quraisy lainnya. Dan setelah keislamannya itu, mereka benar-benar membaktikan hidupnya untuk dakwah dan jihad di jalan Allah, dan tidak sedikit dari mereka mendapat rizki kesyahidan.
Peristiwa yang kurang lebih sama juga terjadi pada Nabi SAW saat Perang Uhud dan Peristiwa Bi'r Ma'unah.
Karena itu ada sebagian ulama yang memfatwakan larangan, atau bahkan mengharamkan kita untuk melaknat atau mengkafirkan seseorang yang berbuat dhalim kepada kita, sekalipun orang itu benar-benar kafir atau musyrik (tidak memeluk islam), kecuali orang tersebut telah mati dalam kemusyrikatannya, seperti halnya Abu Jahal, Abu Lahab dan lain-lainnya. Bisa jadi Allah akan memberikan hidayah-Nya dan mereka akan memeluk Islam sebelum maut menjemputnya.
Wallahu A'lam.

Senin, 02 Mei 2016

Karunia Allah Di Akhirat

Ada seorang lelaki ahli ibadah (abid) telah menghabiskan waktunya selama 40 tahun hanya beribadah kepada Allah tanpa sedikitpun melakukan kemaksiatan. Bahkan ia tidak pernah berfikir meminta sesuatu kepada Allah dengan ibadahnya itu, karena ia melaksanakannya benar-benar ikhlas karena Allah. Tetapi di suatu malam, tiba-tiba saja muncul suatu keinginan untuk meminta, dan ia langsung berkata dalam munajatnya, "Ya Allah, tunjukkanlah kepadaku bidadari yang telah Engkau sediakan (janjikan) untukku di akhirat kelak!!"
Tiba-tiba dinding mihrabnya (tempat ibadahnya) terbelah dan muncul seorang wanita yang sangat cantik memikat, begitu cantiknya sehingga akan menjadi fitnah jika wanita ini (yang sebenarnya adalah bidadari) muncul di tengah-tengah masyarakat manusia di dunia ini. Tiba-tiba wanita itu berkata, "Wahai hamba Allah, engkau mengeluh kepada Tuhanmu sedangkan Dia telah mengetahui keluhanmu (tanpa engkau mencakapnya). Dan Tuhanmu telah memenuhi harapanmu dan menghalaukan ujian-ujian untukmu. Dan Allah mengutusku menemuimu untuk menjinakkan hatimu. Tahukah engkau, bahwa setiap harinya sepanjang malam engkau beribadah, aku berbisik kepadamu. Jika saja engkau bisa mendengar bisikanku, pastilah malam-malammu menjadi mengasyikan!!"
Lelaki ahli ibadah itu berkata, "Wahai wanita, siapakah engkau ini?"
Wanita itu berkata, "Aku adalah bidadari yang disediakan Allah untukmu di akhirat kelak!"
Lelaki itu berkata lagi, "Berapa banyak istriku yang seperti engkau ini??"
"Seratus orang, dan setiap orangnya mempunyai seratus pelayan.!!"
Tampak sekali lelaki ahli ibadah itu terkagum-kagum, kemudian berkata, "Apakah ada orang yang diberi lebih banyak daripada aku ini??"
Bidadari itu tersenyum dan berkata, "Wahai orang yang miskin, tentu saja ada dan banyak sekali!! Pemberian yang diberikan kepadamu ini adalah pemberian bagi seseorang yang banyak berbuat dosa, kemudian membaca istighfar, dan Allah memberikan ampunan kepadanya. Dan ia terus menerus membaca istighfar setiap terbenamnya matahari sehingga Allah tak henti-hentinya melimpahkan ampunan kepadanya!!"
Tiba-tiba bidadari itu lenyap dari pandangannya dan dinding mihrabnya kembali seperti sediakala. Lelaki itu makin meningkatkan ibadahnya kepada Allah dan tidak henti-hentinya membaca istighfar. Karena ternyata keinginannya yang sekali itu telah dianggap sebagai keluhan, dan menjadikan dirinya 'sejajar' dengan orang-orang yang banyak berdosa dan diterima taubatnya oleh Allah, walau selama ini ia tidak banyak berbuat maksiat.

Minggu, 01 Mei 2016

Penampilan Kebaikan Yang Bisa Mencelakakan

Seorang guru dan ulama bernama Hariri selalu menjaga akhlak dan tingkah lakunya agar menjadi teladan bagi murid-murid dan orang-orang di sekitarnya. Hal itu menjadikan dirinya terkenal dan dianggap sebagai orang yang terpercaya. Tetapi tanpa disadarinya, sikap 'jaim' Hariri agar menjadi teladan masyarakat itu hampir saja mencelakakan dirinya.
Suatu ketika ada seorang pedagang yang akan bepergian jauh. Ia mempunyai budak wanita sangat cantik yang sangat disayanginya, karena khawatir akan keselamatan budaknya itu jika diajak serta dalam perjalanannya, ia menitipkan pada 'pondoknya' Hariri. Ia beranggapan, di bawah pengawasan dan penjagaan Hariri yang begitu baik akhlaknya, budak kesayangannya itu akan selamat hingga ia kembali lagi.
Tetapi namanya bersama-sama dengan wanita yang begitu rupawannya, sedikit demi sedikit muncul perasaan cinta pada diri Hariri. Dalam pepatah Jawa dikatakan : Rasa cinta itu muncul karena sering bertemu dan bersama (Trisno jalaran saka kulino), hal inilah yang terjadi pada diri Hariri. Terjadi pertentangan dalam jiwanya, antara menuruti gairah cinta yang muncul, atau menjaga akhlak dan sikap amanat yang telah dipupuknya selama ini.
Ketika pertentangan jiwanya makin memuncak, Hariri mendatangi gurunya di bidang sufi, Syaikh Al-Haddad. Setelah menceritakan semua yang dialaminya, Al-Haddad hanya berkata, "Pergilah kamu menghadap Yusuf bin Husein!!"
Berbeda dengan dirinya yang mempunyai nama harum dan terjaga, nama Yusuf bin Husein mempunyai 'cacat' di masyarakat. Tetapi karena gurunya yang memerintahkan, Hariri tetap berangkat ke tempat tinggalnya. Orang-orang yang bertemu dengannya selalu mengucap salam penuh hormat dan menanyakan kepergiannya. Begitu dijawab kalau ia mencari Yusuf bin Husein, mereka selalu berkata, "Wahai orang yang saleh, janganlah engkau mendekati Ibnu Husein, karena ia orang yang sangat nista. Ia orang yang suka membuat bid'ah dan minum anggur (khamr)!!"
Walau mengucapkan terima kasih atas nasehat mereka itu, Hariri tetap menuju rumahnya. Tetapi ketika ia telah berdiri di pintu rumahnya, dan melihat Yusuf bin Husein tengah duduk dengan seorang pemuda menghadapi sebotol anggur di meja, ia berkata keras, "Apakah artinya tingkah lakumu ini??"
Hariri lupa bahwa maksud kedatangannya adalah atas perintah gurunya, Al-Haddad karena permasalahan yang tengah dihadapinya. Perasaannya sebagai teladan dan tokoh masyarakat langsung mengemuka ketika melihat 'kemaksiatan' di depan matanya. Tetapi Yusuf bin Husein tetap tenang dan hanya memandangnya sesaat, kemudian berkata, "Sengaja aku memilih sikap yang seperti ini, sehingga orang-orang tidak akan pernah mengamanatkan budak-budaknya yang cantik rupawan kepadaku!!"
Hariri tersentak kaget, ia belum menceritakan apapun, dan tidak mungkin gurunya Al-Haddad telah menceritakan keadaan jiwanya kepada Ibnu Husein karena ia langsung berangkat setelah dari rumah gurunya itu. Sadarlah ia kalau Yusuf bin Husein ini bukan orang sembarangan, hanya saja ia 'menyembunyikan' hakikat dirinya dari masyarakat umum. Segera saja Hariri meminta maaf, dan meminta nasehat lebih lanjut tentang permasalahannya.
Setelah pertemuannya dengan Ibnu Husein tersebut, Hariri tidak lagi menyibukkan diri menjaga nama dan image dirinya. Tetapi ia lebih memfokuskan diri untuk melatih dan menjaga hawa nafsunya agar tidak terjebak dalam perangkap dan tipuan syaitan terkutuk, khususnya atas nama ketinggian akhlak dan kebaikan amal-amal ibadahnya.
Wallahu 'Alam