Sabtu, 20 Juni 2015

Do'a Seorang Pemburu

Suatu pagi, seorang laki-laki pergi hendak berburu mencari rezeki yang halal. Namun sampai hampir malam, ia belum mendapatkan satupun binatang buruan. Ia lalu berdo'a sepenuh hati, "Ya Allah, anak-anakku menunggu kelaparan di rumah, berilah aku seekor binatang buruan."
Tidak lama setelah do'anya selesai ia panjatkan, Allah memberikannya rezeki, jala yang dibawa pemburu itu mengenai seekor ikan yang sangat besar. Ia pun bersyukur kepada Allah dan pulang ke rumah dengan penuh bahagia.
Di tengah perjalanan pulang, ia bertemu dengan kelompok raja yang hendak berburu juga. Raja heran dan takjub luar biasa begitu melihat ikan sebegitu besar yang dibawa pemburu itu. Lalu, ia menyuruh pengawal untuk mengambil ikan itu secara paksa dari tangan sang pemburu.
Dibawanya ikan itu pulang dengan bahagia. Ketika sampai di istana, ia keluarkan ikan itu dan bolak-balik sambil tertawa ria, tiba-tiba ikan itu menggigit jarinya dan mengakibatkan badannya jadi panas dingin, sehingga malam itu Raja tidak dapat tidur.
Dihadirkanlah seluruh dokter untuk mengobati sakitnya. Semua dokter menyarankan agar jarinya itu dipotong untuk menhindari tersebarnya racun ke anggota badan lainnya. Raja pun menyetujui nasehat mereka. Namun, setelah jarinya dipotong, ia tetap tidak dapat istirahat karena ternyata racun itu telah menyebar ke bagian tubuh lainnya.
Seluruh dokter akhirnya menyarankan agar tangan Raja sampai siku dipotong, Raja pun menyetujuinya. Setelah lengannya dipotong, sakit jasmaninya kini telah hilang, tetapi diri dan jiwanya tetap belum tenang. Semua dokter akhirnya menyarankan, agar Raja dibawa ke seorang  dokter jiwa (ahli hikmah).
Dibawlah sang Raja menemui seorang dokter jiwa dan diceritakan seluruh kejadian seputar ikan yang ia rebut dari pemburu itu.
Mendengar itu, ahli hikmah berkata, "Jiwa Tuan tetap tidak akan tenang selamanya sampai pemburu itu memaafkan dosa dan kesalahan yang telah Tuan perbuat."
Dicarinya pemburu itu dan setelah didapatkan, Raja menceritakan kejadian yang dialaminya dan ia memohon agar si pemburu itu memaafkan semua kesalahannya. Si pemburu pun memaafkannya dan keduanya saling berjabat tangan.
Sang Raja penasaran ingin mengetahui apa yang dikatakan si Pemburu ketika Raja mengambil paksa ikannya, Ia bertanya, "Wahai pemburu, apa yang kau katakan ketika prajuritku merampas ikanmu itu?"
Pemburu itu menjawab, "Tidak ada kecuali aku hanya mengatakan, Ya Allah, sesungguhnya dia telah menampakkan kekuatannya kepadaku, perlihatkanlah kekuatan-Mu kepadanya."
Sungguh, do'a orang teraniaya sangat mustajab, maka berhati-hatilah dalam bertindak.
Jika ada yang mengancammu dengan kebinasaan, jawablah ancamannya dengan nasihat dan do'a.
(Ja'far Ash-Shadiq)

Jumat, 19 Juni 2015

Jamu Prabayar

Suatu malam, seorang penjual jamu yang telah lima tahun menjanda karena ditinggal mati suaminya didatangi oleh anak perempuannya yang sulung. Anak ini menyampaikan bahwa besok adalah hari terakhir pembayaran uang bangunan dan SPP.
Jika sampai besok tunggakan uang bangunan dan sekolah tidak dilunasi, dia akan dikeluarkan dari sekolah. Ibu penjual jamu ini terkejut mendengarnya. Sesaat, seolah dunia menjadi gelap. Dia kebingungan dan tak tahu harus berbuat apa. Ketika keterkejutan mulai mereda, dia diempaskan lagi oleh gelombang kekagetan berikutnya ketika si anak menyebutkan sejumlah angka sebagai total tunggakannya.
Nafas sang Ibu segera saja menderu, keringat dingin mulai meleleh di keningnya, tangannya gemetar, dan suaranya jadi lirih terputus-putus. Yang dapat ia ucapkan hanya mengulang nilai uang yang sudah disebutkan anaknya.
Tanpa bisa memberikan janji muluk-muluk kepada anaknya, wanita penjual jamu itu beranjak ke tempat tidur untuk beristirahat sejenak. Akan tetapi, alih-alih dapat tidur dengan nyenyak, semakin dia mencoba memejamkan mata, semakin gelisah pula dia dibuatnya.
Ketika matanya rapat menutup, silih berganti bayangan yang menakutkan dan lintasan kejadian pada masa depan yang suram tergambar di benaknya bak sebuah film horor yang terus-menerus menghantui.
Dia pun berusaha menenangkan diri dan membetulkan posisi tubuhnya dan berkali-kali  dia menarik nafas dalam dan menghembuskannya panjang-panjang. Sedikit demi sedikit otaknya mulai dapat diajak berpikir.
Malangnya, setiap kali otaknya mengalkulasi, setiap kali itu pula dia merasa kepalanya dibenturkan ke sebuah dinding baja. Dengan segala macam tunggakan, utang di warung sebelah, bahan baku jamu yang belum terbayar semuanya, ketercukupan kebutuhan pangan hanya untuk sehari saja, dan beban harus membayar anaknya seolah melengkapi seluruh penderitaanya.
Hampir semalaman, dia tak dapat memicingkan matanya, kasur yang tipis terasa semakin tipis. Kamar yang pengan kini terasa semakin membekap. Memang, dunia tak pernah memberikan ampun kepada mereka-mereka yang kalah.
Sepertiga malam yang penghujung pun terlalui. Rasa letih pun pada akhirnya mengalahkan semuanya. Setelah gelombang kekalutannya beranjak surut, akhirnya dia sampai pada sebuah kesadaran bahwa kepasrahan adalah satu-satunya jalan untuk meringankan beban perasaan.
Apa sih, yang bisa dilakukan seorang wanita lemah semacam dirinya. Dia tidak punya apa-apa selain keinginan untuk keluar dari permasalahan tersebut. Dia pun sadar, hanya Allah lah satu-satunya yang dapat menolong. Ketika jalan sudah buntu, ke kiri jurang ke kanan jurang, tidak ada lagi yang bisa dimintai pertolongan selain Dzat yang mengatur segalanya.
Pada saat tetesan air mata yang jatuh dari pelupuk matanya, dia bergumam lirih, "Duh Gusti, hamba minta tolong dari segala kesulitan ini. Tidak ada yang bisa menjadi tempat bergantung selain pada-Mu."
Dibelainya kepala sang anak yang tertidur di sampingya perlahan. Damai terasa menyergap bersama dinginnya malam yang gelap. Dalam lelah, sang Ibu tertidur setengah bertelekan di tepian ranjang kayu. Tidur yang teramat singkat, tiga puluh menit saja mungkin lamanya.
Ketika adzan shubuh dari mushala sebelah berkumandang, sang Ibu merasa lebih segar. Pukul enam pagi, dia sudah berkemas dan siap memulai berjualan dengan berjalan kaki. Telombong segera dipondong, botol-botol yang semula kosong kini telah kembali tampil kinclong.
Dia telah membulatkan tekad untuk menawarkan sebuah opsi kepada seorang pelanggan setianya. Dia akan mengajukan sebuah proposal, suplai jamu terusan dengan setengah pembayaran di muka, tentu saja untuk membayar uang sekolah anaknya.
Singkat kata, dengan tutur kata yang halus, disampaikanlah maksudnya. Sayang, rencana manusia terkadang berjalan tak seirama dengan orkestrasi semula. Maksudnya itu dipahami, tetapi sang pelanggan tidak dapat membantunya. Lunglailah badan si Ibu penjual jamu itu.
Tak bersemangat lagi dia untuk menghadapi hari itu yang baginya terasa semakin mirip dengan neraka dunia. Rasa putus asa itu memang menghancurkan. Dia mengubah warna dari semula bak bianglala menjadi hegemoni tunggal hitam belaka.
Namun dengan sisa tenaga yang ada, dia terus mencoba, dan akhirnya pada rumah kelima, proposalnya diterima. Tepat pukul dua, dia sudah duduk di depan meja petugas tata usaha sekolah anaknya. Enam lembar uang lima puluh ribuan pun berpindah tangan dan segera bertukar dengan selembar kertas kuitansi. Selembar kertas kumal yang baginya tampak seindah pulau Bali.
Barang siapa hatinya dihadirkan oleh Allah kala berdo'a, niscaya do'a itu tidak akan ditolak.
(Yahya bin Muadz Ar-Razi)

Pelajaran Dari Ibrahim

Nabi Ibrahim Khalilullah pernah memanjatkan do'a di tempat penggembalaan ternaknya di sebuah bukit di Baitul Maqdis. Lalu, beliau bertemu dengan seorang laki-laki ahli ibadah. Kemudian, terjadilah dialog diantara keduanya.
Ibrahim bertanya, "Hari apakah yang paling mulia?"
Ahli ibadah itu menjawab, "Hari pembalasan, ketika manusia dibalas, antara yang satu dan sebagian yang lain."
"Apakah engkau bisa mengangkat tanganmu untuk berdo'a, sedangkan aku sendiri juga mengangkat tangan mengaminkan do'amu agar kita dihindarkan dari kesengsaraan hari itu?" Ungkap Ibrahim.
"Janganlah engkau mengaharapkan do'aku. Demi Allah, aku pernah berdo'a sejak tiga puluh tahun silam, tetapi sampai sekarang do'aku belum dikabulkan, "Jawabnya.
"Apakah engkau mau kuberitahu tentang sesuatu yang mengekang do'amu?"
Ahli ibadah itu menjawab, "Ya".
"Sesungguhnya jika Allah mencintai seorang hamba, niscaya Dia akan menahan do'anya agar dia selalu bermunajat, mengiba, dan memohon kepada-Nya. Sementara, jika Dia marah kepada seorang hamba, niscaya Dia akan cepat mengabulkan do'anya atau menghujamkan keputusasaan di dalam hatinya."
Jika do'a seorang hamba selalu dikabulkan setiap kali dia meminta, ketahuilah dia bukanlah hamba lagi. Dia diperintahkan berdo'a karena dia seorang hamba dan Allah melakukan apa saja yang Dia kehendaki. 
(Al-Syaikh Al-Baha'i)

Sabtu, 06 Juni 2015

Merindukan Mati Syahid

Menjelang Shubuh, Khalifah Umar bin Al-Khathab berkeliling kota membangunkankaum muslimin untuk shalat shubuh. ketika waktu shalat tiba, beliau sendiri yang mengatur saf (barisan) dan mengimami para jamaah.
Pada shubuh itu, tragedi besar dalam sejarah terjadi. Saat Khalifah mengucapkan takbiratul ihram, tiba-tiba seorang lelaki bernama Abu Lu'luah menikamkan sebilah pisau ke bahu, pinggang, dan ke bawah pusar beliau. Darah pun menyembur.
Namun, Khalifah yang berjuluk "Singa Padang Pasir" ini bergeming dari kekhusyukannya memimpin shalat. Padahal, waktu shalat masih bisa ditangguhkan beberapa saat sebelum terbitnya matahari. Sekuat apapun Umar, akhirnya ambruk juga. Walau demikian beliau masih sempat memerintahkan Abdurrahman bin 'Auf untuk menggantikan posisinya sebagai imam.
Beberapa saat setelah ditikam, kesadaran dan ketidaksadaran silih berganti mendatangi Khalifah Umar. Para sahabat yang mengelilinginya demikian cemas akan keselamatan Khalifah.
Salah seorang di antara mereka berkata, "Kalau beliau masih hidup, tidak ada yang bisa menyadarkannya selain kata-kata shalat!"
Lalu yang hadir serentak berkata, "Shalat, wahai Amirul Mukminin. Shalat telah hampir dilaksanakan."
Beliau langsung tersadar, "Shalat? Kalau demikian di sanalah Allah. Tiada keberuntungan dalam Islam bagi yang meninggalkan shalat." Lalu, beliau melaksanakan shalat dengan darah bercucuran. Tak lama kemudian, sahabat terbaik Rasulullah SAW ini pun wafat.
Sebenarnya, apa yang terjadi pada Umar Al-Faruq ini adalah buah dari do'a yang beliau panjatkan kepada Allah SWT. Alkisah, suatu ketika, saat sedang wukuf di Arafah, beliau membaca do'a, "Ya Allah, aku mohon mati syahid di jalan-Mu dan wafat di negeri Rasul-Mu (Madinah)." (HR Malik)
Sepulangnya dari menunaikan ibadah haji, Umar pun menceritakan soal do'anya itu kepada salah seorang sahabatnya di Madinah. Sahabat itu pun berkomentar, "Wahai Khalifah, jika engkau berharap mati syahid, tidak mungkin disini. Pergilah keluar untuk berjihad, niscaya engkau bakal menemuinya."
Dengan ringan, Umar menjawab, "Aku telah mengajukannya kepada Allah, terserah Allah."
Keesokan harinya, saat Umar mengimami shalat shubuh di masjid, seorang pengkhianat Majusi bernama Abu Lu'luah itu menghunuskan pisaunya ke tubuh Umar yang menyebabkan beliau mendapat tiga tusukan dalam dan tubuhnya pun roboh di samping mihrab.
Seperti itulah, Allah telah mengabulkan do'a Umar bin Al-Khathab untuk bisa syahid di Madinah dan dimakamkan berdampingan dengan Rasulullah SAW dan Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Kamis, 04 Juni 2015

Tertundanya Kematian

Suatu ketika, Nabi Daud AS duduk di suatu tempat. Di sampingnya, ada seorang pemuda saleh duduk dengan tenang tanpa banyak bicara. Tiba-tiba, datang Malaikat Maut yang mengucapkan salam kepada Nabi Daud. Anehnya, Malaikat Maut terus memandang pemuda itu dengan serius.
Nabi Daud berkata kepadanya, "Mengapa engkau memandang dia?"
Malaikat Maut menjawab, "Aku diperintahkan untuk mencabut nyawanya tujuh hari lagi di tempat ini!"
Nabi Daud merasa iba dan kasihan kepada pemuda itu. Beliau pun berkata kepadanya, "Wahai anak muda, apakah engkau mempunyai isteri?"
"Tidak, saya belum pernah menikah," jawabnya.
"Datanglah engkau kepada si Fulan- seseorang yang sangat dihormati di kalangan Bani Israil, dan katakan kepadanya, "Daud menyuruhmu untuk mengawinkan anakmu denganku." Lalu, kau bawa perempuan itu malam ini juga. Bawalah bekal yang engkau perlukan dan tinggallah bersamanya. Setelah tujuh hari, temuilah aku di tempat ini."
Pemuda itu pergi dan melakukan apa yang dinasihatkan Nabi Daud kepadanya. Dia pun dinikahkan oleh orang tua si Gadis. Dia tinggal bersama isterinya selama tujuh hari. Pada hari kedelapan pernikahannya, dia menepati janjinya untuk bertemu dengan Daud.
"Wahai pemuda, bagaimana engkau melihat peristiwa itu?"
"Seumur hidpku, aku belum pernah merasakan kenikmatan dan kebahagiaan seperti yang kualami beberapa hari ini," jawabnya.
Kemudian, Nabi Daud memerintahkan pemuda itu untuk duduk di sampingnya guna menunggu kedatangan malaikat yang hendak menjemput kematiannya. Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Nabi Daud berkata, "Pulanglah kepada keluargamu dan kembalilah ke sini untuk menemuiku di tempat ini delapan hari setelah ini."
Pemuda itu pun pergi meninggalkan tempat itu menuju rumahnya. Pada hari kedelapan, dia menemui Nabi Daud di tempat tersebut dan duduk di sampingnya. Kemudian, kembali lagi pada minggu berikutnya, dan begitu seterusnya. Setelah sekian lama, datanglah Malaikat Maut kepada Nabi Daud.
"Bukankah engkau pernah mengatakan kepadaku bahwa engkau akan mencabut nyawa pemuda ini dalam waktu tujuh hari ke depan?"
Malaikat itu menjawab, "Ya."
Nabi Daud berkata lagi, "Telah berlalu delapan hari, delapan hari lagi, delapan hari lagi, dan engkau belum juga mencabut nyawanya."
"Wahai Daud, sesungguhnya Allah SWT merasa iba kepadanya lalu dia menunda ajalnya sampai tiga puluh tahun yang akan datang."
Pemuda dalam kisah ini adalah seseorang yang taat beribadah, ahli munajat, gemar berbuat kebaikan, dan sangat penyayang kepada keluarganya. Boleh jadi, karena amal saleh dan do'a-do'anyalah, Allah SWT berkenan menunda kematian sang pemuda hingga tiga puluh tahun lamanya.
Sungguh, suatu kaum akan ditimpa azab oleh Allah sebagai suatu ketetapan yang pasti. Namun, kemudian seorang anak di antara mereka membaca, "Alhamdulillahi Rabbil Alamin." Ucapan itu didengar Allah dan Dia mengangkat azab-Nya dari mereka karena bacaan itu selama 40 tahun.
(Fakhruddin Ar-Razi)

Selasa, 02 Juni 2015

Cinta Seorang Anak Gembala

Pada zaman dahulu, hidup seorang gembala yang bersemangat bebas. Ia tidak punya uang dan tidak punya keinginan untuk memilikinya. Yang ia miliki hanyalah hati yang lembut dan penuh keikhlasan, hati yang berdetak dengan kecintaan kepada Tuhan.
Sepanjang hari ia menggembalakan ternaknya melewati lembah dan ladang melagukan jeritan hatinya kepada Tuhan yang dicintainya, 'Duhai Pangeran tercinta, dimanakah Engkau, supaya aku dapat persembahkan seluruh hidupku kepada-Mu? Dimanakah Engkau, supaya aku dapat menghambakan diriku pada-Mu? Wahai Tuhan, untuk-Mu aku hidup dan bernafas. Karena berkat-Mu aku hidup. Aku ingin mengorbankan dombaku kehadapan kemuliaan-Mu.
Suatu hari, Nabi Musa melewati padang gembalaan tersebut. Ia memperhatikan sang gembala tersebut. Ia Memperhatikan sang gembala yang sedang duduk di tengah ternaknya dengan kepala yang mendongkak ke langit. Sang gembala menyapa Tuhan, 'Ah, dimanakah Engkau, supaya aku dapat menjahit baju-Mu, memperbaiki kasur-Mu, dan mempersiapkan ranjang-Mu? Dimanakah Engkau, supaya aku dapat menyisir rambut-Mu dan mencium kaki-Mu? Dimanakah Engkau, supaya aku dapat mengkilapkan sepatu-Mu dan membawakan air susu untuk minuman-Mu?'
Nabi Musa mendekati gembala itu dan bertanya, 'Dengan siapa kamu berbicara?'
Gembala menjawab, 'Dengan Dia yang telah menciptakan kita. Dengan Dia yang menjadi Tuhan yang  menguasai siang dan malam, bumi dan langit.
Nabi Musa murka mendengar jawaban gembala itu, 'Betapa beraninya kamu bicara kepada Tuhan seperti itu ! Apa yang kamu ucapkan adalah kekafiran. Kamu harus menyumbat mulutmu dengan kapas supaya kamu dapat mengendalikan lidahmu. Atau paling tidak, orang yang mendengarmu tidak menjadi marah dan tersinggung dengan kata-katamu yang telah meracuni seluruh angkasa ini. Kau harus berhenti bicara seperti itu sekarang juga karena nanti Tuhan akan menghukum seluruh penduduk bumi ini akibat dosa-dosamu!'
Sang gembala segera bangkit setelah mengetahui bahwa yang mengajaknya bicara adalah seorang nabi. Ia bergetar ketakutan.
Dengan air mata mengalir membasahi pipinya, ia mendengarkan Nabi Musa yang  terus berkata, 'Apakah Tuhan adalah seorang manusia biasa sehingga Ia harus memakai sepatu dan alas kaki? Tentu saja tidak. Tuhan Maha sempurna di dalam diri-Nya. Tuhan tidak memerlukan siapapun. Dengan berbicara kepada Tuhan seperti yang telah engkau lakukan, engkau bukan saja telah merendahkan dirimu, tetapi kau juga telah merendahkan seluruh ciptaan Tuhan. Kau tidak lain dari seorang penghujat agama. Ayo, pergi dan minta maaf, kalau kau masih memiliki otak yang sehat!'
Gembala yang sederhana itu tidak mengerti bahwa apa yang dia sampaikan kepada Tuhan adalah kata-kata yang kasar. Dia juga tak mengerti mengapa Nabi yang mulia telah memanggilnya sebagai seorang musuh, tetapi ia tahu betul bahwa seorang nabi pastilah lebih mengetahui dari siapapun. Ia hampir tak dapat menahan tangisnya.
Ia berkata kepada Nabi Musa, 'Kau telah menyalakan api di dalam jiwaku. Sejak ini, aku berjanji akan menutup mulutku untuk selamanya.' Dengan keluhan yang panjang, ia berangkat meninggalkan ternaknya menuju padang pasir.
Dengan perasaan bahagia karena telah meluruskan jiwa yang tersesat, Musa melanjutkan perjalanannya menuju kota. Tiba-tiba Allah Yang Maha Kuasa menegurnya, 'Mengapa engkau berdiri diantara Kami dengan kekasih Kami yang setia? Mengapa engkau pisahkan pecinta dari yang dicintai-Nya? Kami telah mengutus engkau supaya engkau dapat menggabungkan kekasih dengan kekasihnya, bukan memisahkan ikatan diantaranya.'
Musa mendengarkan kata-kata langit itu dengan penuh kerendahan dan rasa takut.
Tuhan berfirman, 'Kami tidak menciptakan dunia supaya Kami memperoleh keuntungan darinya. Seluruh makhluk diciptakan untuk kepentingan makhluk itu sendiri. Kami tidak memerlukan pujian atau sanjungan. Kami tidak memerlukan ibadah atau pengabdian. Orang-orang yang beribadah itulah yang mengambil keuntungan dari ibadah yang mereka lakukan. Ingatlah, bahwa didalam cinta, kata-kata hanyalah bungkus luar yang tidak memiliki makna apa-apa. Kami tidak memperhatikan keindahan kata-kata atau komposisi kalimat. Yang Kami perhatikan adalah lubuk hati yang paling dalam dari orang itu. Dengan cara itulah Kami mengetahui ketulusan makhluk Kami walaupun kata-kata mereka bukan kata-kata yang indah. Buat mereka yang di bakar dengan api cinta, kata-kata tidak mempunyai makna.'
Suara dari langit terus berkata, 'Mereka yang ter-ikat dengan basa-basi bukanlah mereka yang terikat dengan cinta dan umat yang beragama bukanlah umat yang mengikuti cinta karena cinta tidak mempunyai agama selain kekasihnya sendiri.' Tuhan kemudian mengajarinya rahasia cinta.
Setelah memperoleh pelajaran itu, Nabi Musa mengerti kesalahannya. Sang Nabi pun merasa menderita penyesalan yang luar biasa. Dengan segera, ia berlari mencari gembala itu untuk meminta maaf. Berhari-hari, ia berkelana di padang rumput dan gurun pasir, menanyakan orang-orang apakah mereka mengetahui penggembala yang dicarinya.
Setiap orang yang ditanyainya menunjuk arah yang berbeda. Hampir, ia kehilangan harapan, tetapi akhirnya Allah SWT mempertemukannya dengan gembala itu. Ia tengah duduk di dekat mata air. Pakaiannya compang-camping, rambutnya kusut masai. Ia berada di tengah tafakur yang dalam sehingga ia tidak memeperhatikan Musa yang telah menunggunya cukup lama.
Akhirnya, gembala itu mengangkat kepalanya dan melihat Nabi Musa.
Musa berkata, 'Aku punya pesan penting untukmu. Tuhan telah berfirman kepadaku bahwa tidak diperlukan kata-kata yang indah bila kita ingin berbicara kepada-Nya. Kamu bebas berbicara kepada-Nya dengan cara apapun yang kamu sukai, dengan kata-kata apapun yang kamu pilih. Apa yang aku duga sebagai kekafiranmu ternyata adalah ungkapan dari keimanan dan kecintaan yang menyelamatkan dunia.'
Sang gembala hanya menjawab sederhana, 'Aku sudah melewati tahap kata-kata dan kalimat. Hatiku sekarang dipenuhi dengan kehadiran-Nya. Aku tak dapat menjelaskan keadaanku padamu dan kata-kata pun tak dapat melukiskan pengalaman ruhani yang ada dalam hatiku.' Kemudian, ia bangkit dan meninggalkan Nabi Musa.
Utusan Allah ini menatap sang gembala sampai ia tak terlihat lagi. Setelah itu, ia kembali berjalan ke kota terdekat, merenungkan pelajaran berharga yang didapatnya dari seorang gembala sederhana yang tidak berpendidikan.
Do'a sejati yang paling tinggi adalah perenungan Tuhan dengan kalbu yang murni, yang terlepas dari semua hasrat keduniawian, tidak terpaku pada sikap-sikap jasmaniah, tetapi dengan gerak-gerik jiwa.
(Ibnu Sina)

Jumat, 15 Mei 2015

Upaya Terakhir Syaitan Menyesatkan Manusia

Sudah menjadi kehendak Allah SWT sejak zaman azali bahwa iblis dan bala tentaranya para syaitan menjadi musuh manusia. Musuh dalam arti hakiki, yang akan menyengsarakan manusia dalam kehidupan yang sebenarnya, kehidupan akhirat yang kekal abadi. Tetapi dalam kehidupan dunia yang sementara ini, jika kita tidak waspada dan hati-hati, bisa jadi syaitan menjadi temandan sahabat-sahabat kita yang sangat membantu, mendukung dan memudahkan kehidupan kita sehari-harinya. Baik syaitan dari kalangan jin ataupun manusia, baik dengan jalan yang nyata ataupun yang ghaib. Tidak tanggung-tanggung, upaya syaitan untuk menyesatkan ini dilakukan hingga titik terakhir kehidupan manusia, yakni ketika sakaratul maut.

Ketika manusia sedang menghadapi sakaratul maut, salah satu kesulitan atau kesakitan yang dihadapi adalah rasa haus yang tidak tertahankan sehingga seolah-olah membakar hati, tidak hanya rasa haus secara fisik, tetapi bisa juga yang bersifat ghaib. Mungkin orang-orang yang menjaga di sekitarnya telah memberinya minuman, tetapi rasa haus tidak serta-merta hilang. Dalam keadaan seperti inilah biasanya syaitan datang membawa minuman yang tampak sangat menggoda dan menyegarkan, khususnya terhadap kaum muslimin, terlebih kaum mukminin yang keimanannya sangat kuat. Sungguh mereka (para syaitan) itu sangat tidak rela jika seseorang itu meninggal dengan memperoleh keridhaan Allah SWT.

Pada puncak kehausan yang seolah tidak tertahankan itu, syaitan akan datang dengan satu gelas minuman yang sangat segar, dan ia berdiri di sisi kepala seorang mukmin. Sang mukmin yang tidak menyadari kalau ia adalah syaitan, akan berkata, "Berilah aku air itu !"
Syaitan berkata, "Baiklah, tetapi katakan terlebih dahulu bahwa dunia ini tidak ada yang menciptakan, maka aku akan memberikan air ini kepadamu !"
Dalam riwayat lain disebutkan, syaitan akan berkata, "Tinggalkanlah agamamu ini, dan katakan bahwa Tuhan itu ada dua, maka engkau akan selamat dari kepedihan sakaratul maut ini !"

Jika ia mempunyai keimanan yang cukup kokoh, ia akan menyadari kalau sosok pembawa air itu adalah syaitan, maka ia akan berpaling. Tetapi syaitan tidak berhenti dan putus asa, ia akan berdiri di arah kakinya dengan penampilan yang lain, masih dengan membawa minuman yang amat segar menggoda. Sang mukmin yang masih dilanda kehausan akan berkata kepadanya, "Berilah aku miniuman itu !"
Syaitan dalam penampilan itu berkata, "Baiklah, tetapi katakanlah bahwa Muhammad (Rasulullah SAW) itu adalah seorang pendusta, maka aku akan memberikan air ini kepadamu !"
Setelah mendengar jawaban seperti itu, sang mukmin akan menyadari kalau syaitan tidak akan berhenti menggodanya hingga terlepas imannya. Maka ia akan bersabar dalam kehausan yang seakan membakar hati itu dan tidak akan meminta lagi. Ia akan menyibukkan diri dengan mengingat Allah memohon pertolongan dan keselamatan dari sisi-Nya.

Suatu kisah tentang seorang guru dan ulama yang sangat zuhud bernama Abu Zakaria, ketika sedang sakaratul maut, beberapa orang sahabat dan muridnya menunggu beliau. Ketika Abu Zakaria tampak dalam kepayahan, seorang sahabatnya mengajarkan kalimat thayyibah, "Katakanlah : Laa ilaaha illallah !"
Tetapi diluar dugaan, Abu Zakaria memalingkan wajahnya. Sahabat di sisi lainnya juga berkata, "Katakanlah Laa ilaaha illallah !"
Lagi-lagi Abu Zakaria memalingkan wajah, bahkan ketika untuk ketiga kalinya mereka memintanya membaca kalimat thayyibah, Abu Zakaria berkata, "Aku tidak akan mengucapkan kalimat itu !"
Setelah itu ia jatuh pingsan. Para sahabat dan murid-muridnya menangis sedih melihat keadaan itu, sungguh mereka tidak mengerti mengapa hal itu bisa terjadi ?
Tetapi satu jam kemudian Abu Zakaria siuman dalam keadaan yang lebih segar. Ia berkata kepada sahabatnya, "Apakah tadi kalian mengucapkan sesuatu kepadaku ?"
"Benar, tiga kali kami meminta engkau membaca syahadat, tetapi dua kali engkau berpaling dan ketiga kalinya engkau berkata : Aku tidak akan mengucapkannya ! Karena itulah kami bersedih.

Abu Zakaria berkata, "Sikap dan perkataanku itu bukanlah kutujukan kepada kalian."
Kemudian Abu Zakaria menceritakan kalau iblis mendatanginya dengan membawa semangkuk air yang tampak segar, sementara ia merasa sangat hausnya. Iblis berdiri di sisi kanannya sambil menggerakkan mangkuknya, sehingga kesegaran air itu makin menggoda, dan berkata, "Tidakkah engkau membutuhkan air ?"
Ia tidak menjawab, tetapi matanya tidak bisa menyembunyikan rasa haus, dan tertariknya dengan kesegaran air itu, maka iblis berkata lagi, "Katakanlah bahwa Isa adalah anak Allah !"
Abu Zakaria berpaling dari iblis, yang saat bersamaan dengan sahabatnya yang meminta ia mengucap kalimat thayyibah untuk pertama kalinya. Tetapi iblis masih menghampiri dari arah yang lain, dan berdiri di dekat kakinya sambil mengatakan seperti sebelumya. Maka ia berpaling lagi, yang bersamaan dengan sahabatnya yang memintanya membaca kalimat thayyibah untuk kedua kalinya. Belum putus asa juga, iblis menghampiri lebih dekat dengan bujuk rayunya yang memikat, mengiming-iminginya dengan minuman yang begitu segarnya, sambil berkata, "Katakanlah bahwa Allah itu tidak ada !"
Maka dengan tegas Abu Zakaria berkata, "Aku tidak akan mengatakannya !"
Saat yang bersamaan, sahabatnya sedang meminta dia mengucapkan kalimat thayyibah itu untuk yang ketiga kalinya.

Abu Zakaria mengakhiri penjelasannya, "Seketika itu mangkuk yang dibawa iblis jatuh dan pecah berantakan, kemudian ia lari terbirit-birit. Tetapi rasa haus itu begitu menggigit dan tidak tertahankan sehingga aku jatuh pingsan. Jadi, sikap dan perkataanku itu bukan untuk kalian, tetapi untuk menolak iblis. Dan sekarang kalian saksikan semua : Ashadu an-laa ilaaha illallah wa asyhadu anna muhammad ar rasulullah !"
Setelah itu tubuh Abu Zakaria melemah, dan ia meninggal dunia dalam keadaan khusnul khotimah.

Kamis, 14 Mei 2015

Ketika Nabi Khidr Menjadi Budak

Suatu ketika Nabi Khidr AS berjalan di pasar dan bertemu dengan seorang budak mukatab. Melihat penampilannya yang saleh, walau tidak mengenalnya sebagai Nabi Khidr AS, budak itu berkata, "Bersedekahlah padaku, semoga Allah memberkahi engkau !"
Tanpa memperkenalkan diri atau membuka identitas dirinya, Nabi Khidr AS berkata, "Aku percaya bahwa apa yang dikehendaki Allah pasti akan terjadi, tetapi aku tidak memiliki sesuatu apapun yang bisa kuberikan kepadamu !"
 
Sang budak berkata, "Aku meminta kepadamu bi-wajhillah, bersedekahlah kepadaku, karena aku melihat wajahmu sebagai orang yang baik (saleh), karena itu aku mengharap berkah darimu !"
Beliau berkata, "Akku beriman kepada Allah, tetapi aku tidak memiliki sesuatu yang bisa kuberikan kepadamu, kecuali jika engkau ingin menjual diriku sebagai budak !"
Budak itu terpana memandang Nabi Khidr seolah tidak percaya, dirinya sendiri sebagai budak, bagaimana mungkin bisa menjual orang merdeka sebagai budak ? Kemudian ia berkata, "Apakah hal itu boleh dilakukan ?"

Beliau berkata, "Engkau telah meminta kepadaku dengan atas nama Allah Yang Maha Agung, dan aku tidak bisa mengecewakan engkau demi Wajah Tuhanku. Juallah aku, dan pergunakanlah hasilnya untuk memenuhi kebutuhanmu !"

Budak tersebut adalah budak mukatab, atau disebut juga budak kitabah, yakni yang dijanjikan oleh tuannya untuk dimerdekakan jika bisa membayar harganya walau dengan mengangsur. Ia juga tidak dibebani pekerjaan tuannya, dan bebas berusaha untuk memperoleh uang penebusan dirinya.
Mendengar penuturan Nabi Khidr AS tersebut, sang budak sangat gembira. Ia segera membawa beliau ke tempat penjualan budak, dan terjual seharga 400 dirham, cukup untuk membayar penebusan dirinya. Tinggallah Nabi Khidr AS bersama 'tuannya' yang membelinya, tetapi selama beberapa hari lamanya beliau tidak diperintahkan apa-apa. Tampaknya orang yang membeli beliau itu orang yang baik, ia tidak tega 'membebani' beliau dengan pekerjaan karena beliau kelihatan sangat lemah dan berusia sangat tua !"
Beliau berkata, "Tidak ada sesuatu yang memberatkan diriku !"
Baiklah kalau engkau memaksa, "Kata orang itu, "Pindahkanlah batu-batu di halaman ini ke belakang !"

Di halaman rumah itu memang banyak berserak batu-batu yang cukup besar, yang membutuhkan beberapa hari untuk dipindahkan ke belakang rumahnya. Jika dipindahkan dalam satu hari, membutuhkan setidaknya 6 orang yang cukup kuat dan kekar. Belum setengah hari, orang itu telah kembali ke rumah dan batu-batu itu telah dipindahkan semuanya ke belakang. Orang itu berkata kepada Nabi Khidr AS, "Baik sekali pekerjaanmu, sungguh engkau mempunyai kekuatan yang tidak kusangka-sangka !"

Suatu ketika orang itu memanggil Nabi Khidr AS dan berkata, "Aku akan pergi beberapa hari lamanya, jagalah keluargaku dengan baik !"
Beliau berkata, "Baiklah, tetapi perintahkanlah pula aku mengerjakan sesuatu !"
Orang itu berkata, "Aku khawatir akan memberatkan dirimu !"
Beliau berkata lagi, "Tidak ada sesuatu yang akan memberatkan diriku !"
Orang itu terdiam sejenak, ia sungguh tidak tega memberi beban pekerjaan kepada orang yang telah tampak sangat tua tersebut, tetapi karena memaksa ia berkata, "Jika demikian, buatlah batu bata, aku akan membuat rumah setelah pulang dari perjalanan ini !"

Tentu saja pekerjaan yang amat mudah bagi Nabi Khidr AS, bahkan lebih dari itupun beliau bisa melakukannya, karena beliau memang dikaruniai Allah SWT berbagai macam karamah. Beberapa hari berlalu, orang itu pulang kembali, tetapi  ia tidak menemukan tumpukan batu bata, sebaliknya ia melihat suatu rumah cukup megah, sesuai dengan yang direncanakannya, pada tempat yang disiapkannya. Ia tidak mengerti, padahal ia tidak pernah menceritakan gambaran rumah yang ingin dibangunnya kepada siapapun.

Orang itu segera menemui Nabi Khidr AS di tempatnya dan berkata, "Aku akan bertanya kepadamu Bi-Wajhillah, siapakah sebenarnya engkau ini ?"
Nabi Khidr AS berkata, "Engkau telah bertanya kepadaku dengan kata Bi-Wajhillah, dan kata Bi-Wajhillah itulah yang menjadikan aku sebagai budak. Aku sesungguhnya Khidr yang namanya telah sering engkau dengar !"

Kemudian Nabi Khidr AS menceritakan peristiwa yang beliau alami sehingga menjadi budak, dan beliau menutup ceritanya dengan berkata, "Barang siapa yang diminta dengan perkataan Bi-Wajhillah, lalu menolak permintaan orang itu padahal ia mampu memberi, maka pada hari kiamat ia akan datang dengan jasad tanpa daging, dan nafasnya akan terengah-engah tanpa henti !"

Perasaan orang itu bercampur baur antara senang, takut, khawatir, dan berbagai perasaan lainnya. Siapakah orang saleh di masa itu yang tidak ingin bertemu dengan Nabi Khidr AS ?
Siapapun pasti menginginkannya, dan tanpa menyadarinya ia telah tinggal bersama beliau selama berhari-hari. Ia berkata, "Aku beriman kepada Allah SWT, dan aku telah menyusahkan dirimu, wahai Nabiyallah, andaikata aku tahu tidak perlu terjadi peristiwa seperti ini !"
Nabi Khidr berkata, "Tidak mengapa, engkau adalah orang yang baik !"
Orang itu berkata, "Wahai Nabiyallah, silahkan engkau mengatur rumah dan keluargaku sesuka engkau, atau bila ingin bebas dari perbudakan ini, aku akan memerdekakan !"
Nabi Khidr berkata, "Aku ingin engkau memerdekakan aku, agar aku bisa bebas beribadah kepada Allah !"

Maka orang itu memerdekakan beliau tanpa syarat apapun, dan Nabi Khidr berkata, "Maha Terpuji Engkau ya Allah, yang telah mengikat aku dalam perbudakan, kemudian menyelamatkan aku darinya. Ya Allah, semoga Engkau menjadikan kami sebagai orang-orang yang berakhlak baik dan membantu saudara-saudara kami lainnya mencapai surga. "

Kecintaan Hamba Allah Yang Sebenarnya

Junaid bin Muhammad Al-Baghdadi, atau lebih dikenal sebagai Junaid Al-Baghdadi adalah seorang ulama Sufi yang dianggap sebagai para penghulu kaum Auliya di zamannya, yakni pada abad ke-2 Hijriah atau abad 9 Masehi. Sejak masih kecil ia telah mendalami dan mempraktekkan kehidupan Sufi dibawah bimbingan guru, yang juga pamannya sendiri, Sariy As-Saqthi.
Suatu malam menjelang Subuh, ketika tidur di rumah paman dan gurunya tersebut, Sariy As-Saqhti membangunkannya dan berkata, "Wahai Junaid, bangunlah karena engkau akan memperoleh pelajaran sangat berharga malam ini !"
Kemudian Sariy As-Saqthi menceritakan kalau ia bermimpi seolah-olah berhadapan dengan Allah, dan berkata kepadanya, "Wahai Sariy, ketika Aku menjadikan makhluk, maka mereka semua mengaku cinta kepada-Ku. Tetapi ketika Aku menciptakan dunia, maka larilah dari Aku sembilan dari sepuluh (90%-nya) kepada dunia, tinggallah satu dari sepuluh (10%-nya) saja yang tetap mengaku cinta kepada-Ku !"
Sariy melanjutkan ceritanya kepada Junaid, bahwa Allah menghadapkan Diri-Nya kepada hamba yang mencintai-Nya itu, yang tinggal 10%-nya. Kemudian Allah menciptakan surga, maka larilah sembilan dari sepuluh (90%-nya) untuk mengejar kenikmatan surga, tinggal satu dari sepuluh (10%-nya, atau seper-seratus dari seluruh makhluk) yang tetap berkhidmat dan mengaku tetap mencintai Allah, tidak tergiur surga dan kenikmatannya.
Allah menghadapkan Diri-Nya kepada hamba yang mencintai-Nya itu, yang tinggal 10% dari sisanya (seper-seratus dari seluruh makhluk). Kemudian Allah menciptakan neraka, maka larilah sembilan dari sepuluh (90%-nya) untuk menghindari pedihnya siksa neraka, tinggal satu dari sepuluh (10%-nya, atau seper-seribu dari seluruh makhluk) yang tetap berkhidmat dan mengaku tetap mencintai Allah. Tidak takut akan neraka dan kepedihan siksaan di dalamnya, tetapi hanya takut kepada Allah, yang dilandasi rasa cinta.
Allah menghadapkan Diri-Nya kepada hamba yang mencintai-Nya itu, yang tinggal 10% dari sisanya (seper-seribu dari seluruh makhluk). Kemudian Allah menciptakan atau menurunkan bala atau musibah, maka larilah sembilan dari sepuluh (90%-nya) untuk menghindari atau sibuk menghadapi musibah tersebut, tinggal satu dari sepuluh (10%-nya, atau seper-sepuluhribu dari seluruh makhluk) yang tetap berkhidmat dan mengaku tetap mencintai Allah. Tidak mau disibukkan dengan bala tersebut, dan menerimanya dengan tawakal yang dilandasi rasa cinta kepada Allah.
Maka Allah menghadapkan Diri-Nya pada mereka yang tetap mengaku mencintai-Nya, yang tinggal seper-sepuluhribu dari seluruh makhluk, dan berfirman, "Wahai hamba-hamba-Ku, kalian ini tidak tergiur dengan dunia, tidak terpikat dengan kenikmatan surga, tidak takut dengan siksaan neraka dan tidak juga lari dari kepedihan bala musibah, apakah sebenarnya yang kalian inginkan ?"
Tentu saja sebenarnya Allah telah mengetahui jawaban atau keinginan mereka, dan mereka itu memang hamba-hamba Allah yang ma'rifat (sangat mengenal) kepada-Nya. Maka mereka berkata, "Ya Allah, Engkau sangat mengetahui apa yang tersimpan pada hati kami !"
Allah berfirman lagi, "Kalau memang demikian, maka Aku akan menuangkan bala ujian kepada kalian, yang bukit yang sangat besar-pun tidak akan mampu menanggungnya, apakah kalian akan sabar ?"
Mereka yang memang hanya mencintai Allah itu berkata, "Ya Allah, apabila memang Engkau yang menguji, maka terserah kepada Engkau !"
Diakhir mimpinya itu, Allah berkata, Wahai Sariy, mereka itulah hamba-hamba-Ku yang sebenarnya !"

Rabu, 13 Mei 2015

Api Dunia Dan Api Neraka

Ketika Nabi Adam AS diturunkan ke bumi, beliau tidak lagi memperoleh makanan secara mudah seperti di  surga. Beliau harus bekerja keras untuk memperoleh buah-buahan atau daging untuk dimakan. Ketika beliau memperoleh binatang buruan dan menyembelihnya, ternyata tidak bisa langsung dimakan begitu saja karena masih mentah dan tentunya tidak enak. Karena itu beliau berdo'a kepada Allah SWT agar ditunkan api untuk memasak.
Maka Allah SWT mengutus Malaikat Jibril meminta sedikit api kepada Malaikat Malik di neraka, untuk keperluan Nabi Adam AS tersebut. Malaikat Malik berkata, "Wahai Jibril, berapa banyak engkau menginginkan api??"
Jibril berkata, "Aku menginginkan api neraka itu seukuran buah kurma!!"
Malik berkata, "Jika aku memberikan api neraka itu seukuran buah kurma, maka tujuh langit dan seluruh bumi akan hancur meleleh karena panasnya!!"
Jibril berkata, "Kalau begitu berikan saja kepadaku separuh buah kurma saja!!"
Malik berkata lagi, "Jika aku memberikan seperti apa yang engkau inginkan, maka langit tidak akan menurunkan air hujan setetespun, dan semua air di bumi akan mengering sehingga tidak ada satupun tumbuhan yang hidup!!"
Malaikat Jibril jadi kebingungan, sebanyak apa api neraka yang 'aman' untuk kehidupan di bumi?? Karena itu ia berdo'a, "Ya Allah, sebanyak apa api neraka yang harus aku ambil untuk kebutuhan Adam di bumi??"
Allah SWT berfirman, "Ambilkan api dari neraka sebesar zarrah (satuan terkecil, atom)!!"
Maka Malaikat Jibril meminta api neraka kepada Malaikat Malik sebesar zarrah dan membawanya ke bumi. Tetapi setibanya di bumi, Jibril merasakan api yang sebesar zarrah itu masih terlalu panas, maka beliau mencelupkan (membasuhnya) sebanyak 70x ke dalam 70 sungai yang berbeda. Baru setelah itu Beliau membawanya kepada Nabi Adam, dan meletakannya di atas gunung yang tinggi.
Tetapi begitu api tersebut diletakkan, gunung tersebut hancur berantakan. Tanah, batuan, besi dan semua saja yang ada di sekitar api itu menjadi bara yang sangat panas, dan mengeluarkan asap. Bahkan api yang sebesar zarrah itu terus masuk menembus bumi, dan hal itu membuat Malaikat Jibril khawatir. Karena itu ia segera mengambil api tersebut dan membawabya kembali ke neraka. Bara terbakar yang ditinggalkan itulah yang sampai sekarang ini menjadi megma-magma di semua gunung berapi di bumi ini.
Tidak bisa dibayangkan bagaimana panasnya api neraka tersebut. Kalau bara api dunia itu umumnya berwarna merah, maka bara api neraka itu berwarna hitam kelam, seperti hitamnya gelap malam. Nabi SAW pernah menanyakan tentang keadaan api neraka itu, maka Malaikat Jibril berkata, "Sesungguhnya Allah SWT menciptakan neraka, lalu menyalakan api neraka itu selama 1000 tahun sehingga (baranya) berwarna merah. Kemudian (Allah SWT) menyalakannya (menambah panasnya) selama 1000 tahun lagi sehingga (baranya) berwarna putih, dan (Dia) menyalakannya (menambah panasnya) selama 1000 tahun lagi sehingga (baranya) berwarna hitam. Maka neraka itu hitam kelam seperti hitamnya malam yang sangat gelap pekat, tidak pernah tenang kobaran apinya dan tidak pernah padam (berkurang) bara apinya!!"

Keberkahan Dari Penguasa Yang Adil

Suatu masa sebelum diutusnya Nabi SAW, salah seorang Kisra (Raja) Persia yang adil dan bijaksana sedang berburu di hutan belantara. Karena asyiknya mengejar buruan, sang Raja terpisah dari pasukannya, padahal saat itu hujan mulai turun. Ia melihat sebuah gubug sederhana dan minta izin berteduh, yang segera saja diizinkan. Penghuni gubug itu, seorang wanita tua dan anak gadisnya tidak mengenal sang Raja karena saat itu tidak memakai pakaian kebesarannya.
Di salah satu sudut gubug itu ada seekor lembu, sang gadis memerah susunya dan memperoleh hasil yang melimpah (banyak sekali), untuk menjamu tamunya tersebut. Sang Raja minum dan ia langsung merasakan kesegarannya. Melihat keadaan itu, terbesit dalam hati sang Raja untuk menerapkan aturan pemungutan cukai (pajak) bagi pemilik lemb. Hal itu akan menjadi sumber pemasukan (PAD) yang sangat lumayan bagi kerajaan.
Ketika malam menjelang, sang gadis akan memerah susu lembu seperti biasanya, tetapi ia tidak mendapatkan setetespun, maka ia berseru, "Wahai ibu, sepertinya raja mempunyai niat jahat terhadap rakyatnya!!"
Ibunya berkata, "Mengapa engkau berkata seperti itu??"
Sang gadis berkata, "Karena lemb ini tidak mengeluarkan susunya walau hanya setetes!!"
Sang ibu berkata, "Sabarlah, ini masih malam, nanti menjelang subuh, cobalah lagi untuk memerahnya!!"
Sang Raja yang tengah beristirahat di atas tumpukan jerami itu dengan jelas mendengar pembicaraan ibu dan anak tersebut. Ia berkata pada dirinya sendiri, "Begitu besarkah pengaruhnya dari apa yang aku putuskan??"
Ia berkutat dengan pikirannya sendiri, dan akhirnya membatalkan keinginannya untuk menarik pajak (cukai) bagi pemilik lembu, yang kehidupan mereka umumnya sangat sederhana. Menjelang subuh, sang gadis mencoba memerah susu lembunya, dan ia memperoleh susu yang melimpah seperti sebelumnya. Maka ia berseru, "Wahai ibu, rupanya niat jahat sang raja telah hilang, lembu ini telah mengeluarkan susunya lagi!!"
Sang ibu mengucap syukur, begitu juga dengan sang Raja yang ikut mendengarnya. Ketika hari telah terang, sang Raja berpamitan dan mengucap terima kasih, tetapi tetap tidak membuka jati dirinya. Tidak lama berselang, datang serombongan pasukan yang membawa ibu dan anak penghuni gubugsederhana itu ke kota kerajaan. Mereka diperlakukan dengan hormat dan penuh penghargaan.
Ketika mereka dihadapkan kepada sang Raja, barulah mereka menyadari kalau tamunya semalam adalah penguasa yang sempat 'dirasaninya' (dibicarakan, dighibah). Mereka berdua meminta maaf, tetapi Raja yang bijaksana itu berkata, "Tidak mengapa, tetapi bagaimana engkau bisa mengetahui hal itu??"
Sang ibu berkata, "Kami telah tinggal puluhan tahun lamanya di tengah hutan itu. Jika Raja yang memerintah berlaku adil dan baik, maka bumi kami ini subur, kehidupan kami luas dan lapang, serta ternak kami banyak menghasilkan. Tetapi jika raja yang memerintah berlaku kejam dan buruk, maka bumi kami ini kering, tanah dan ternak kami tidak menghasilkan apa-apa, sehingga kehidupan kami menjadi sempit!!"

Minggu, 10 Mei 2015

Tidak Bersekutu Dalam Kedzaliman

Suatu ketika dua orang ulama dari kalangan Tabiin (atau mungkin Tabiit-tabiin), Ibnu Thawus dan Malik bin Anas dipanggil untuk menghadap Khalifah Abu Ja'far Al-Manshur. Khalifah kedua dari Daulah Bani Abbasiah ini terkenal dengan kekejamannya dalam menegakkan kekuasaannya, tetapi pada waktu itu ilmu-ilmu keislaman juga mulai berkembang dengan pesatnya, baik itu fikih, Hadist, Tafsir, dan lain-lainnya. Sebenarnya dua ulama itu kurang senang dengan panggilan tersebut, tetapi mengingat kekejamannya, mereka berdua mendatanginya juga.

Mereka masuk ke majelis Al-Manshur, dan di persilakan duduk pada tempat yang telah disediakan. Ternyata saat itu sang Khalifah tengah bersiap mengeksekusi (menghukum mati) seseorang, sang algojo dengan pedang yang terasah tajam siap menerima perintah. Al-Manshur tampak terpekur beberapa saat, kemudian menoleh dan berkata kepada ibnu Thawus, "Ceritakan kepadaku sesuatu tentang ayahmu!!"
Tanpa rasa takut tedeng aling-aling, Ibnu Thawus berkata, "Aku mendengar ayahku berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya orang yang paling keras siksaannya pada hari kiamat adalah orang yang menyekutukan Allah dalam hukum-Nya, lalu memasukkan ketidak-adilan dalam keadilan-Nya!!"

Tentu saja Ibnu Thawus sangat tah apa yang dikatakannya, dan resikonya karena dikatakan di hadapan penguasa yang sangat terkenal kekejamannya. Tetapi seperti yang pernah disabdakan Nabi SAW, bahwa jihad terbesar adalah kalimat yang benar (haq), yang disampaikan di hadapan penguasa yang dzalim. Malik bin Anas (yakni Imam Malik, yang 'menyusun' mahdzab Maliki dan kitab hadist yang pertama Al-Muwaththa') juga khawatir dengan perkataannya itu, jangan-jangan Al-Manshur memerintahkan algojonya untuk membunuh Ibnu Thawus. Karena itu ia menutupi dirinya dengan jubahnya agar tidak terpercik darah Ibnu Thawus.

Tetapi beberapa saat berlalu, ternyata Al-Manshur hanya diam terpekur, kemudian berkata lagi, "Wahai Ibnu Thawus, berilah aku nasehat!!"
"Baiklah," kata Ibnu Thawus lagi, "Tidaklah engkau mendengar Firman Allah SWT :
Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum Ad ? Penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu di negeri-negeri yang lain, dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah, dan kaum Fir'aun yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak), yang berbuat sewenang-wenang dalam negerinya, lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu, karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab (yakni siksa yang sepedih-pedihnya), sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi!!"

Kekhawatiran Imam Malik makin meningkat saja. Kalau tadi Ibnu Thawus 'mengancam' sang Khalifah dengan hadist Nabi SAW, kini meningkatkan 'ancamannya' dengan Firman-Firman Allah yang tercantum dalam QS Al-Fajr ayat 6-14. Lagi-lagi Imam Malik menangkupkan jubahnya kalau-kalau terjadi sesuatu dengan Ibnu Thawus, yakni dibunuh dan darahnya akan memercik pada dirinya.
Tetapi seperti sebelumnya, Khalifah Al-Manshur hanya terpekur mendengar perkataan Ibnu Thawus tersebut, yang jelas-jelas mengkritisi, bahkan mencela 'kebijakan tangan besi' yang telah dilakukannya. Ia seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri, kemudian berkata, "Wahai Ibnu Thawus berikanlah (pinjamkanlah) tinta (pena/pulpen) kepadaku!!"

Mungkin maksud Al-Manshur akan mencatat perkataan atau nasehatnya tersebut, tetapi lagi-lagi Ibnu Thawus menolak memberikannya. Maka sang Khalifah berkata, "Apa yang menghalangimu untuk memberikan tinta it kepadaku??"
Walau nilai atau harga tinta tidak seberapa, bahkan mungkin tidak ada nilainya sama sekali bagi Al-Manshur, tetapi Ibnu Thawus punya alasan sendiri. Ia berkata, "Aku khawatir kamu menuliskan perintah kemaksiatan (kedzaliman), maka aku bersekutu (terlibat) denganmu dalam kemaksiatan itu!!"

Al-Manshur tampak jengkel dengan perkataan Ibnu Thawus itu, tetapi entah mengapa ia tidak bisa atau tidak berani bersikap kejam kepadanya. Ia berkata, "Pergilah kalian dariku!!"
Maka Ibnu Thawus berkata, "Itulah yang memang kami harapkan!!"

Karena Kesabaran Menghadapi Istrinya

Seorang yang saleh mempunyai saudara yang tempat tinggalnya sangat jauh, karena itu jarang sekali ia bisa mengunjunginya. Setelah beberapa tahun tidak bertemu, ia datang mengunjunginya. Tetapi tampak rumahnya tertutup, maka ia mengetuk pintunya dan mengucap salam. Terdengar suara ketus seorang wanita dari dalam rumah, yang mungkin istrinya, "Siapa??"
Ia berkata, "Aku saudara suamimu, datang dari jauh untuk menjenguknya!!"
Tanpa membuka pintu, terdengar suaranya yang ketus lagi, "Ia masih pergi mencari kayu, semoga saja Allah tidak mengembalikannya lagi kesini..."

Kemudian masih diteruskan dengan berbagai macam caci-maki kepada saudaranya itu. Ia hanya bisa geleng-geleng kepala mendengarnya. Ia tahu betul bahwa saudaranya itu juga saleh seperti dirinya, karena memang begitulah kedua orang tuanya dahulu mendidiknya. Segala macam umpatan dan cacian itu mungkin salah sasaran kalau ditujukan kepada saudaranya itu.

Ia memutuskan untuk menunggu dan tidak berapa lama saudaranya itu datang. Saudaranya itu memang mencari kayu, tetapi ia tidak membawanya sendiri, seekor harimau yang cukup besar berjalan di belakangnya sambil 'menggendong' kayu tersebut. Setelah kayu diturunkan dari punggung sang harimau, saudaranya itu berkata, "Pergilah semoga Allah memberkahi dirimu!!"
Harimau itu berlalu pergi dangan patuhnya, dan pemandangan itu membuatnya terkagum-kagum. Tampaknya saudaranya itu telah mencapai maqam yang cukup tinggi di sisi Allah, hingga mempunyai 'karamah' bisa memerintah binatang buas.

Saudaranya itu mengajaknya masuk, dan meminta dengan lemah lembut kepada istrinya untuk menyiapkan makanan bagi mereka. Sang istri memenuhi perintahnya dengan sikap yang kasar, dan mulutnya tidak henti-hentinya mengomel. Sebaliknya, ia melihat saudaranya itu hanya diam dan terlihat sangat lapang, tidak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Sama sekali tidak ada sikap marah dan tersinggung dengan perkataan istrinya yang sangat menusuk perasaan, bahkan tampak sekali saudaranya itu nyaman dan bahagia dengan keadaannya. Karena itu ia urung untuk menanyakan keadaan rumah tangganya, seperti keinginannya semula.
Dengan keadaan seperti itu, ia tidak ingin berlama-lama untuk tinggal. Ia pamit pulang, tetapi sepanjang perjalanan tidak habis-habisnya ia memikirkan keadaan saudaranya itu. Di satu sisi ia mempunyai 'karamah' yang begitu mengagumkan, tetapi di sisi lainnya, ia menghadapi sikap istrinya yang begitu buruk.

Beberapa tahun berlalu dan tidak bertemu, ia datang lagi mengunjungi saudaranya itu. Sampai di rumahnya yang tampak tertutup, ia mengetuk pintunya dan mengucap salam. Maka terdengar suara seorang wanita, yang mungkin adalah istri saudaranya itu, "Siapa??"
Kali ini suara itu begitu lembut dan santun, sangat berlawanan suara wanita bertahun-tahun sebelumnya. Ia berkata, "Aku adalah saudara suamimu, datang dari jauh untuk menjenguk keadaannya!!"

Suara santun wanita itu terdengar lagi, "Selamat datang, suamiku sedang mencari kayu di hutan. Silahkan untuk menunggu, tetapi mohon maaf aku tidak bisa membukakan pintu hingga suamiku pulang!!"
Ia berkata, "Tidak mengapa, biar saja aku menunggu di luar!!"
Kemudian ia terlibat pembicaraan singkat lewat pintu yang tertutup, dan istri saudaranya itu memuji-muji kebaikan dan kesalehan suaminya itu setinggi langit, dan menyatakan rasa syukurnya karena bisa menjadi istrinya.

Tidak lama kemdian saudaranya itu datang, tetapi yang mengherankannya tidak ada harimau yang membawakan kayunya seperti dahulu. Ia memikul sendiri tumpukan kayu tersebut, tampak kelelahan dan keringat mengalir di wajahnya, tetapi masih dengan kelapangan dan rasa bahagia yang sama seperti bertahun sebelumnya. Mendengar suaranya itu, sang istri langsung membuka pintu dan menyambut kedatangannya dengan santun dan hormatnya.

Saudaranya itu mengajaknya masuk, dan ternyata makanan telah terhidang, maka mereka langsung menyantap makanan yang disediakan istrinya tersebut. Sambil makan ia berkata, "Wahai saudaraku, apakah yang terjadi? Apakah engkau telah kehilangan 'karamah'mu yang dahulu?"

Masih dengan kelapangan hati dan pancaran rasa bahagia yang sama seperti bertahun sebelumnya, saudaranya itu berkata, "Wahai saudaraku, dahulu itu Allah SWT memberikan istri yang cerewet dan rendah akhlaknya kepadaku, dan aku ikhlas menerimanya. Karena kesabaranku menghadapinya, maka Allah mendatangkan harimau untuk membantuku. Beberapa bulan yang lalu istriku yang cerewet itu meninggal, dan sejak itu pula harimau itu tidak membantuku lagi, dan aku harus memikul sendiri kayu-kayu itu. Namun demikian, Allah tetap memberikan 'karamah' lainnya kepadaku, yakni istri yang cantik dan masih muda, serta sangat baik akhlaknya dan tekun ibadahnya!!"

Dalam riwayat lain disebutkan, saudaranya yang saleh itu adalah seorang pandai besi. Ia mencari kayu untuk membakar besi-besi yang diolahnya. Ketika ia masih beristri yang cerewet dan ia bersabar atasnya, bukan hanya harimau yang membawakan kayunya, tetapi ia memegang besi yang dibakarnya langsung dengan tangannya. Tetapi ketika Allah menggantinya dengan istri yang salehah, cantik, masih muda dan berakhlakul karimah, ia harus memegang besi yang dibakarnya dengan penjepit, kalau tidak tangannya akan melepuh.

Jumat, 08 Mei 2015

Ketika Manusia Mengabaikan

Sudah menjadi 'hukum sosial' bahwa seseorang yang perbuatannya jelek dan sering menjadi gangguan bagi masyarakat, ia tidak akan diperdulikan lingkungannya ketika ia mengalami kesulitan atau bahkan meninggal. Padahal yang namanya manusia, tidak selalu dan selamanya seluruh catatannya hitam kelam, bisa jadi ada yang baik dan bermanfaat walau hanya sepele. Tetapi hal yang kecil dan sepele itulah yang kadang mengundang rahmat dan ampunan Allah.

Pernah terjadi di Bashrah, seorang pemabuk yang sangat buruk moralnya meninggal dunia. Istrinya memberitahukan hal itu kepada para tetangganya, tetapi mereka sama sekali tidak memperdulikan dan tidak mau merawatnya. Karena itu ia memanggil empat orang buruh upahan untuk merawat jenazahnya dan kemudian membawanya ke mushala.
Tetapi sesampainya disana tidak ada seorang pun yang hadir untuk menyalatkannya. Beberapa orang yang mengetahui hanya melihat dan membiarkannya setelah tahu siapa gerangan jenazah itu. Empat buruh itupun tidak bisa melaksanakan shalat jenazah. Karena tidak tahu harus bagaimana, istrinya itu memerintahkan orang-orang upahan itu untuk membawanya ke pinggiran hutan dan menguburkannya disana.

 Tidak jauh dari hutan tersebut ada sebuah bukit, yang disana ada seseorang yang saleh dan sangat zuhud menyendiri untuk beribadah kepada Allah. Ia tidak pernah turun dan berkumpul di masyarakat kecuali untuk shalat Jum'at. Entah bagaimana asal-muasalnya, tiba-tiba orang itu turun gunung dan mendatangi jenazah sang pemabuk yang tengah digali kuburannya itu, dan ia menyalatkannya. Setelah itu ia duduk menunggu untuk memakamkannya.

Peristiwa turunnya sang saleh dan zuhud dari 'pertapaannya' di atas bukit itu menjadi berita menggemparkan bagi masyarakat sekitarnya. Mereka merasa takjub dan keheranan sehingga datang berduyun-duyun ke pinggiran hutan tersebut. Salah satu dari tokoh masyarakat tersebut menghampiri orang saleh tersebut dan berkata, "Wahai Tuan, mengapa engkau menyalatkan jenazah orang ini sedangkan ia orang yang sangat buruk dan banyak sekali berbuat dosa kepada Allah??"
Orang saleh itu berkata, "Aku diperintahkan (tentunya melalui ilham) turun ke tempat ini karena ada jenazah seseorang yang telah di ampuni oleh Allah, sedangkan tidak seorangpun disana kecali hanya istrinya!!"

Orang-orang jadi keheranan mendengar jawaban tersebut, bertahun-tahun mereka tinggal bersama orang itu dan sama sekali tidak pernah melihat dan mengetahui kebaikan yang dilakukan olehnya. Sang Zahid tampaknya mengetahui kebingungan masyarakat, karena itu ia memanggil istrinya dan berkata, "Bagaimana sebenarnya keadaan dan perilaku suamimu itu??"
Sang istri berkata, "Seperti yang diketahui banyak orang, sepanjang hari ia hanya sibuk minum-minuman keras (khamr) di kedai-kedai. Pulangnya di malam hari dalam keadaan mabuk dan tidak sadarkan diri. Seringkali ketika ia tersadar di waktu fajar, ia mandi dan wudhu kemudian shalat subuh. Tetapi di pagi harinya ia kembali ke kedai-kedai untuk minum khamr seperti biasanya. Hanya saja di rumah kami tidak pernah kosong dari satu atau dua orang anak yatim, yang ia sangat menyayanginya melebihi anaknya sendiri. Dan di waktu sadarnya, ia selalu bermunajat sambil menangis sesenggukan : Ya Allah, di bagian jahanam yang manakah akan engkau tempatkan penjahat (yakni dirinya sendiri) ini??"

Sang Zahid berkata, "Sungguh Maha Luas Kasih Sayang Allah, mungkin karena sangat sedikitnya kebaikan yang dilakukannya sehingga merasa rendah dan hina di hadapan Allah. Dan juga kesabarannya menanggung kehinaan dan cibiran sinis dari lingkungannya, yang mengundang rahmat dan ampunan Allah!!"
Mendengar penjelasan itu, anggota masyarakat yang hadir segera ikut menyalatkan jenazah pemabuk tersebut, dan ikut serta menguburkannya.

Kamis, 07 Mei 2015

Keadilan Lebih Baik Daripada Keindahan

Anu Sirwan adalah salah satu Kisra (Kaisar) Persia yang cukup terkenal karena keadilan dan kearifan (kebijaksanaan)-nya kepada rakyatnya. Ia hidup jauh sebelum diutusnya Nabi SAW, tetapi kisah-kisah keadilannya cukup terkenal dan menyebar di kalangan masyarakat Arab, walau sebenarnya ia dan rakyatnya adalah penyembah api, yakni beragama Majusi.

Salah satu kisahnya adalah ketika Anu Sirwan akan melakukan pembangunan untuk meluaskan istananya. Ketika ia melakukan penggusuran dan pembebasan tanah beberapa orang rakyatnya, ternyata ada seorang wanita tua dengan gubug reotnya yang menolak untuk menjual. Berbagai upaya, ancaman dan rayuan, cara halus hingga keras dilakukan tetapi wanita tua itu tetap bertahan. Wanita itu berkata, "Saya tidak akan menjual walau akan dibayar dengan sekeranjang uang emas. Tetapi kalau dia (yakni Kisra Anu Sirwan) akan menggusurnya, dan dia memang mampu melakukannya, maka terserah saja!!"

Para pelaksana pembangunan perluasan istana itu melaporkan hal itu kepada Anu Sirwan, dan berencana menggusur gubug reot wanita tua itu, karena posisinya memang tepat di tengah-tengah istana itu, di bagian depan pula. Tetapi Anu Sirwan berkata, "Jangan lakukan itu, biarkan saja gubug itu di tempatnya, tetapi tetap laksanakan perluasan pembangunan!!"

Pembangunan terus dilaksanakan, hanya saja ada pembengkokan untuk menghindari gubug wanita tua. Ketika telah selesai dan tamu-tamu datang untuk menghadiri undangan Kisra Anu Sirwan dalam suatu acara di istana, banyak sekali yang berkomentar, "Alangkah indahnya istana ini jika saja tidak ada bengkoknya (yakni gubug wanita tua itu)!!"
Mendengar komentar-komentar seperti itu, Anu Sirwan berkata, "Justru dengan kebengkokan itulah perkaranya menjadi lurus, dan keindahannya semakin sempurna!!"
Walau secara penampilan memang 'kurang indah', tetapi itulah memang yang benar dan lurus. Keadaan dan 'keindahan'-nya menjadi sempurna karena memang tidak ada satu pihakpun, walau sangat lemah dan tidak berdaya, yang merasa di dzalimi dengan sikap sang penguasa.

Peristiwa yang hampir sama terjadi ketika Mesir masuk menjadi wilayah Islam setelah terlepas dari Romawi pada masa khalifah Umar bin Khattab. Gubernur Mesir saat itu, Amr bin Ash bermaksud mendirikan sebuah masjid (yang kini dikenal dengan nama Masjid Amr bin Ash), tetapi seorang wanita Qhibti beragama Nashrani menolak ketika gubug reotnya akan dibeli/diganti dengan harga berapapun. Hanya saja Amr bin Ash tetap memerintahkan untuk menggusur rumah wanita Qhibti itu agar pembangunan masjid nya segera selesai.

Wanita Qhibti yang merasa di dzalimi oleh tindakan sang gubernur itu berjalan kaki menuju Madinah untuk mengadukan persoalannya kepada khalifah. Mendengar pengaduan itu, Umar mengambil pecahan tembikar, dan menulis dengan pedangnya, "Kita lebih berhak (wajib) berbuat keadilan daripada Kisra Anu Sirwan!!"

Umar memerintahkan wanita Qhibti itu menyerahkan 'surat' pecahan tembikar itu kepada gubernur Amr bin Ash. Ia juga memberikan perbekalan yang berlebih kepada wanita beragama Nashrani itu, agar bisa sampai kembali ke Mesir dengan selamat. Ketika Amr bin Ash menerima 'surat' dari Umar itu, ia langsung meletakkan pecahan tembikar tersebut di atas kepalanya, sambil menangis memohon ampunan kepada Allah. Ia memerintahkan para pelaksana pembangunan untuk mendirikan kembali gubug wanita itu, dan membelokkan bangunan Masjid, sehingga bentuknya membengkok.

Karena Tidak Menunaikan Zakat

Sekelompok tabi'in (mereka yang berguru pada sahabat Nabi SAW) mengunjungi seorang tabi'in lainnya yang bernama Abu Sinan. Tetapi belum sempat berbincang, Abu Sinan berkata, "Mari ikut bersamaku bertakziah pada tetanggaku yang saudaranya meninggal!!"
Mereka Segera beranjak ke rumah tetangga Abu Sinan, dan mendapati lelaki itu menangis mengeluhkan keadaan saudaranya yang telah meninggal dan dimakamkan. Para tabi'in itu berusaha menghibur dan menyabarkannya dengan berkata, "Tidakkah engkau tahu bahwa kematian itu adalah sebuah jalan dan kepastian yang tidak bisa dihindarkan??"
Lelaki itu berkata, "Memang benar, tetapi aku menangisi saudaraku yang kini menghadapi siksa kubur!!"

Sesaat mereka saling berpandangan, kemudian berkata, "Apakah Allah memperlihatkan kepadamu tentang berita ghaib??"
Ia berkata, "Tidak, tetapi saat selesai memakamkannya dan orang-orang meninggalkan kuburnya, aku duduk sendirian meratakan tanah kuburan sambil mendo'akannya. Tiba-tiba terdengar suara dari dalam tanah : ...aahhhh, mereka meninggalkan aku sendirian menghadapi siksa ini, padahal aku telah benar-benar berpuasa, aku benar-benar telah melaksanakan shalat..."

Sesaat lelaki itu terdiam berusaha menahan isak tangisnya, lalu berkata lagi, "Mendengar perkataan itu, aku jadi menangis dan menggali lagi kuburannya untuk melihat apa yang sedang dihadapinya. Aku melihat api menjilat-jilat di sana, dan dan di lehernya melingkar sebuah kalung dari api. Rasa sayang dan kasihan membuatku ingin mengurangi deritanya, maka aku mengulurkan tangan untuk melepas kalung api itu, tetapi tangan dan jari-jemariku justru tersambar api sebelum sempat menyentuhnya...!!"
Ia menunjukan tangannya yang tampak menghitam bekas terbakar, dan berkata lagi, "Aku segera menutup kembali kuburnya dan terus menerus bersedih, menangis dan menyesali keadaan dirinya...!!"

Mereka berkata, "Sebenarnya apa yang telah dilakukan saudaramu di dunia hingga mendapat siksa kubur seperti itu??"
Ia berkata, "Dia tidak mengeluarkan zakat hartanya!!"
Salah seorang dari para tabiin itu yang bernama Muhammad bin Yusuf al-Qiryabi berkata, "Peristiwa itu membenarkan firman Allah SWT :

Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Ali Imran 180)
Sedangkan saudaramu itu disegerakan siksanya di alam kubur hingga hari kiamat tiba..."

Para tabiin itu berpamitan, dan mereka mengunjungi sahabat Nabi SAW, Abu Dzarr al-Ghifari. Mereka menuturkan kisah lelaki tetangga Abu Sinan itu, dan menutup ceritanya dengan pertanyaan, "...Kami telah banyak melihat orang-orang Yahudi, Nashrani dan Majusi mati, tetapi kami tidak pernah mendengar cerita yang seperti ini!!"

Abu Dzarr berkata, "Mereka (kaum Yahudi, Nashrani dan Majusi) telah jelas tempatnya di neraka, adapun Allah memperlihatkan keadaan orang-orang yang beriman (yang mengalami siksa) itu kepada kalian, agar kalian dapat mengambil ibarat (pelajaran).
Bukankah Allah SWT telah berfirman :
Sesungguhnya telah datang dari Tuhanmu bukti-bukti yang terang, maka barangsiapa melihat (kebenaran itu), maka (manfaatnya) bagi dirinya sendiri, dan barangsiapa buta (tidak melihat kebenaran itu), maka kemudaratannya kembali kepadanya. Dan aku (Muhammad) sekali-kali bukanlah pemelihara kamu. (QS Al-An'am 104)...!!!

Tidak Berputus Asa Dari Rahmat Allah

Jauh Sebelum diutusnya Nabi SAW, pernah ada seseorang yang luar biasanya 'prestasi' kejahatannya, ia telah membunuh 99 orang tanpa alasan yang benar. Namun demikian, tiba-tiba tergerak dalam hatinya untuk bertaubat, hanya saja ia bimbang apakah masih ada peluang baginya untuk kembali ke jalan kebaikan. Orang-orang di sekitarnya menyarankan agar menemui seorang rahib untuk menanyakan hal itu.

Ketika tiba di tempat kediaman sang rahib, ia menceritakan kegundahan hatinya dan keinginannya untuk bertaubat. Sang rahib bertanya, "Apakah kesalahanmu itu?"
Ia berkata, "Saya telah membunuh 99 orang tanpa alasan yang benar!!"
"Apa??" Seru sang rahib penuh kekagetan, "membunuh 99 orang? Tidak ada jalan bagimu!! Tempat yang tepat bagimu adalah neraka!!"

Lelaki itu sangat kecewa sekaligus marah. Ia sadar bahwa kesalahannya memang begitu besarnya. Tetapi cara sang rahib menyikapi dan 'memvonis' itu sangat melukai perasaanya. Walau hatinya mulai melembut dengan keinginannya untuk taubat, tetapi jiwa jahatnya belum benar-benar menghilang. Tanpa banyak bicara, ia mengambil pisaunya dan membunuh sang rahib. Genap sudah 100 nyawa tidak bersalah yang melayang di tangannya, tetapi 'panggilan' Ilahiah untuk bertaubat terus mengganggu perasaanya, hanya saja ia tidak tahu harus bagaimana?

Suatu ketika ada seorang menyarankan untuk menemui seseorang yang alim di suatu tempat, dan ia segera menuju kesana. Ketika tiba di tempat tinggal sang alim, ia menceritakan jalan hidupnya, termasuk ketika ia menggenapkan pembunuhannya yang ke 100 pada diri sang rahib, dan tentu saja keinginannya untuk bertaubat. Sang alim yang bijak itu berkata "Tentu saja bisa, dan tidak ada seorangpun yang bisa menghalangi keinginanmu untuk bertaubat. Tetapi tinggalkanlah tempat tinggalmu itu karena disana memang kota maksiat. Pergilah ke kota A (kota lainnya) karena disana banyak orang yang beribadah kepada Allah, beribadahlah engkau bersama mereka, dan jangan pernah kembali ke kotamu itu. Insyaallah engkau akan memperoleh ampunan Allah dan dimudahkan jalan kepada kebaikan!!"

Lelaki itu segera berangkat ke kota yang dimaksudkan sang alim, tetapi di tengah perjalanan kematian menjemputnya. Datanglah 2 Malaikat untuk menjemput jiwa lelaki itu, satu Malaikat Rahmat dan satunya Malaikat Azab (Siksa). 2 Malaikat itu bertengkar dan masing-masing merasa berhak untuk membawa jiwa lelaki itu.
Sang Malaikat Rahmat berkata, "Ia telah berjalan kepada Allah dengan sepenuh hatinya!!"
Malaikat Azab berkata, "Ia tidak pernah berbuat kebaikan sama sekali, justru kejahatannya yang bertumpuk-tumpuk!!"

Mereka berdua terus beradu argumentasi, sampai akhirnya Allah mengutus Malaikat yang ketiga dalam bentuk manusia untuk menjadi 'hakim' bagi keduanya. Setelah masing-masing mengajukan pendapatnya, ia berkata, "Ukurlah jarak 2 kota itu dari tempat kematiannya ini, mana yang lebih dekat, maka ia termasuk golongannya!!"
Mereka mengukur jaraknya, dan ternyata kota yang dituju (kota tempat ibadah dan kebaikan) lebih dekat sejengkal daripada kota maksiat yang ditinggalkannya. Maka jiwanya dibawa oleh Malaikat Rahmat, dan ia memperoleh ampunan Allah.

Dalam riwayat lainnya disebutkan, sebenarnya lelaki itu belum jauh meninggalkan kota maksiat tersebut. Tetapi Allah memang berkehendak untuk mengampuninya, maka dari tempat kematiannya itu, kota kebaikan dan ibadah dipanggil mendekat dan kota maksiat 'dihalau' menjauh hingga jarak keduanya hanya selisih sejengkal tangan, lebih dekat kepada kota kebaikan.
Wallahu'alam bishawab